PENGAGUM RAHASIA


PENGAGUM RAHASIA
‘Kamu sedang apa?’ Sebuah pertanyaan yang seketika membuatku panik. Bukan hanya panik, wajah ketakutan juga muncul dari dalam diriku. Tak tau kenapa, namun itulah yang aku rasakan. Memang seorang pecandu selalu dihantui rasa takut jika ketahuan orang lain. Aku paham sekali dengan itu, karena itulah yang sempat aku rasakan.
‘Kamu makek narkoba?’ lagi-lagi dia bertanya semakin membuatku kebingungan. Aku gak percaya jika waktu itu ada yang melihatku sedang ngisap ganja di belakang kampus yang lokasinya sangat rahasia dan jarang ada mahasiswa yang kesana. Karena selain lokasinya yang kotor, disana juga banyak sekali tikus, kecoak dan serangga kotor lainnya yang sangat dibenci oleh manusia. Tapi, entah siapa yang kurang kerjaan datang kesana kali ini.
Suara itu terdengar jelas ditelinga, bukan suara laki-laki atau anak kecil. Tapi ini suara lembut seorang perempuan yang kurang kerjaan ngeceng di belakang kampus yang sangat bauk. Aku belum sempat menoleh kearahnya, aku masih tertunduk ketakutan mencoba untuk membuang selinting ganja yang berada disela-sela jari manis yang baru saja hendak ku isep. Namun suara itu menggagalkannya, suara yang hanya mengganggu saja menurutku.
Suara itu membuat aku takut, takut dia melapor ke orang-orang atau ke rektor bahkan ke kantor polisi. Aku takut dipenjara, belum siap jika harus mendekam dalam jeruji besi, aku takut di  bully karena ketauan “makek,” aku juga takut di DO dari kampus. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menoleh kebelakang mencoba untuk melihat siapa sebenarnya disana. Tubuhku mulai terasa dingin, tangan gemetaran serta bibir yang semakin gemetar juga dan perlahan pandangan mata setengah kosong.
Setelah aku menoleh ke belakang betapa kagetnya aku melihat sosok perempuan dengan kulit yang sangat putih, rambut ical yang terurai indah menambah ayu perempuan itu. Dia berdiri diam bak sebuah patung yang sedang dipajang disebuah museum antik. Dia masih belum berkata-kata, begiupun aku. Aku masih setengah gak percaya jika dia yang telah memergokiku. Perlahan dia melangkah mendekat, memastikan jika yang ia lihat itu tidak benar. Dan apa yang ada dalam pikirannya itu salah. Namun, tidak ada salah, semua yang ia lihat dan yang ia pikirkan itu benar! Ia menatapku tajam. Dari sorot matanya terlihat rasa simpati yang sangat dalam. Mungkin dia tau kalo aku sedang merasakan dingin yang sangat. Mungkin juga dia tau, kalo aku sedang tersiksa dan butuh bantuan.
‘STOP!’ Aku mencoba menahan langkah kakinya yang semakin dekat denganku. Aku gak mau dia menyentuhku. Aku tak ingin tangan mulusnya harus menyentuh pecandu sepertiku. Aku masih menunduk, malu untuk menatap matanya.
‘Jangat dekati aku. Menjaulah saja,’ dia terlihat sangat kecewa, matanya menciut penuh tanda tanya, bibirnya melengok seperti orang yang sedang berempati, serta nafasnya yang semakin terdengar kencang seperti orang yang baru saja menyelesaikan 5 kali putaran lapangan bola.
Kenapa harus dia?
kenapa dia yang harus mergokin, Ya-Tuhan?
Dalam hati aku terus saja bertanya-tanya. Hal yang gak  pernah aku harapkan kini telah terjadi. Kini nasi telah menjadi bubur, tak bisa diubah menjadi nasi kembali. Semuanya telah terjadi, dan dia telah mengetahui siapa sesungguhnya aku. Aku sangat kalud sekali waktu itu. Sedangkan perempuan itu masih saja berdiam berdiri seakan ingin mengatakan sesuatu, namun tak bisa karena takut.
Akan kuceritakan siapa dia dan bagaimana kami bisa kenal.
Dia adalah Asta. Perempuan yang sangat aku kagumi selama ini. Asta adalah cinta keduaku dan mungkin akan menjadi cinta terakhir, namun itu masih berupa angan-angan, karena aku masih merahasiakan perasaan itu terhadapnya. Hany aku dan Tuhan yang tau, tak ada lagi.
Asta adalah mahasiswi UDY (Universitas Darma Yogyakarta) se-angkatan dengan ku, bedanya dia masuk fakultas kedokteran sedangkan aku masuk fakultas ekonomi. Kecerdasannya tidak dapat diragukan lagi, beberapa kali dia memenangkan lomba yang berkaitan dengan jurusannya. Untuk diluar jurusan, gadis satu ini juga sangat pandai membuat puisi. Semua puisi yang ia buat mengalir begitu saja. Bagi siapa yang membaca atau mendengarkannya pasti akan langsung terhipnotis, larut dalam indahnya syair demi syair puisi itu. Puisinya mengalir dari jiwa, jiwa yang sangat tenang, dan dia selalu menghayati setiap puisi yang ia ciptakan.
Sejak memasuki semester tiga aku mulai memperhatikan dia. Diam-diam, setiap selesai mata kuliah aku langsung nongkrong di taman fakultas kedokteran, tujuannya hanya satu, yaitu melihat senyuman indah yang terpancar dari bibir gadis sederhana dan cerdas seperti Asta. Meskipun aku sering nongkrong dan memperhatian dia, namun nampaknya Tuhan belum mau untuk sekedar mempertemukan kami. Karena sampai satu bulan aku hanya menjadi pengagum rahasia. Artinya, selama satu bulan aku belum penah bertegur sapa, apa lagi sampai berkenalan. Masalahnya bukan ada pada waktu atau tempat. Masalahnya ada pada diriku sendiri. Minder? Tentu. Siapa yang gak  minder kenalan dengan gadis ayu, lembut, berwibawa, cerdas pula. Apa lagi laki-laki kampret seperti aku, mana mungkin berani. Menjadi pengagum rahasia yang berada dalam radius 20 meter dari asta saja sudah syukur banget. Apa lagi sampai kenalan, mungkin aku akan pingsan belum sempet menyebutkan nama. Banyak sekali laki-laki yang mendekati dia, dari yang tertapan sampai yang paling jelek. Dari yang paaling putih sampai yang paling hitam. Dari yang tinggi sampai yang terpendek sekalipun. Sungguh, sungguh kau ciptaannya yang mendekati sempurna. Sayang, aku hanya menjadi pengagum rahasiamu.
Setelah 3 bulan lebih hanya menjadi pengagum rahasia, akhirnya Tuhan menjawab penantianku. Aku gak tau, apakah harus bahagia atau sedih saat asta terjatuh di tangga pintu keluar fakultasnya. Namun, karena kejadian itu aku bisa berada dalam jarak yang sangat dekat dengannya. Dan satu yang harus kalian tau, ternyata aku gak pingsan!
Saat itu, seperti biasa aku menunggu asta keluar dari  fakultasnya. Kali ini aku mencoba lebih dekt, gak hanya di taman yang berjarak 50 meter dari gerbang fakultas. Aku duduk sambil maen HP di samping sebuah tangga keluar. Gak lama kemudian, asta terlihat sedang menuju keluar dan kerepotan membawa setumpuk buku di tangannya. Tampak jelas muka kesusahan, kedua tangannya ia gunakan untuk memopang buku sampai untuk sekedar membersihkan keringat di keningnya saja ia mengusapkannya ke tumpukan buku. Bibirnya melengos-lengos karena tumpukan buku goyang-goyang seperti mau jatuh.
Aku terus saja memperhatikannya dengan seksama. Ingin sekali waktu itu aku berdiri dan menjadi pahlawan kesorean untuk asta. Namun, aku sangat gerogi, tubuhku gemetaran gak karuan. Setiap asta melangkahkan kakinya satu persatu menurui anak tangga aku selalu dilanda rasa khawatir, aku mencemaskan pijakan kakinya meleset, namun apalah daya si bodoh ini, aku hanya bisa menelan ludah menyaksikan gadis cantik kesusahan sendirian.
Aku memang laki-laki paling bodoh waktu itu. Bahkan mungkin, aku adalah laki-laki paling kejam terhadap seorang wanita. Namun, ini bukan mauku dan inginku. Aku juga sama, ingin terlahir menjadi laki-laki pemberani, bukan hanya menjadi pengecut yang berlindung dibalik lintingan ganja. Tanpa itu aku hanya laki-laki cemen yang takut dengan orang. Aku memang pengecut!
Kecemasanku benar adanya, asta terjatu dari tangga karena pijakannya meleset. Tumpukan buku yang tertata rapi di atas tangannya, melayang ke atas bak sebuah kertas-kertas kecil yang beterbangan terbawa angin. Melihat gadis yang aku cinta terjatuh, dengan sigap aku langsung menolongnya. Dia tampak meringis-meringis kesakitan sambil megangin tangan sebelah kirinya. Tak kuasa menahan sedih aku langsung mengangkat dan membawanya ke klinik kampus yang lokasinya tidak jau dari fakultas kedokteran.
Bukan hanya buku-buku yang melayang seperti kertas, tapi hatiku juga melayang-layang di atas awan. Entah keajaiban apa yang datang padaku sore itu, yang jelas, bisa menggendong gadis yang selama ini di cinta secara rahasia telah menjadi kado yang sangat berharga bagiku. Aku tak berhenti-hentinya tersenyum waktu itu. Bukan. Bukan senyum bahagia karena asta terjatuh. Tapi ini senyum cinta. Cinta yang berada semakin dekat, cinta yang sudah berada di depan pintu dan menunggunya untuk memasuki pintu itu, dan mengisi ruang yang masih kosong ini.
Merasa bahagia, sampai aku gak sadar terhanyut dalam lamunan. Berada di Pntai Parang Tritis berdua dengan asta, di sana kami kejar-kejaran menyisiri pantai, sambil menyaksikan hamparan pasir putih yang bersinar terang serta ombak yang terombang-ambing kesana kemari dan dihiasi dengan pantulan sinar matahari yang menari indah di atas ombak membuat pemandangan jadi semakin indah. Ya, seindah hatiku saat ini. Air yang terbawa ombak sampai tepi pantai membasahi kaki kami, keromantisan pun terjadi senja itu. Di tepi pantai yang terhias ombak, aku meminta satu permintaan, “aku berharap kamu wanita satu-satunya yang mampu mengisi hatiku, aku akan membahagiakanmu wahai wanitaku.” Sambil ku bentangkan kedua tangan menatap jauh ketengah laut. Dari belakang asta memelukku erat, ia merebahkan kepalanya kepunggungku sambil berkata, “hey... heyyy... kamu.’ Telingaku bergemang dan tangan serasa seperti ada yang menyolek-nyolek.
Seketika aku merontak, tersadar dari sebuah lamunan. Ternyata asta sudah siuman, dan barusan dia yang memanggil. Sepertinya cinta telah membawaku pada khayalan tingkat tinggi. Indah jika itu semua terjadi, tapi sakit jika semua itu hanya sebuah lamunan dan akan tetap menjadi sebuah lamunan.
Aku terkejut saat ia menatap dengan tatapan aneh, terlihat alisnya menekuk,  namun bibirnya tersenyum. Nampaknya ia masih bingung, siapa gerangan laki-laki yang berada dihadapannya ini. Wajar, selama ini aku hanya menjadi pengagum rahasia. Bertatap muka aja baru kali ini. Jujur, saat asta menatap mata ku, tubuh semua dingin, urat nadi berhenti berfungsi sampai aku mengedipkan mata baru berfungsi kembali. Suhu tubuhku berubah sampai minus 35 derajat celcius, bahkan jika ada air yang ditempelkan ke badanku pasti langsung beku, beku bak sebuah es balok.
‘Kamu siapa?’ Asta kembali bertanya. Dia mengedipkan mata, dan membenarkan selang inpus yang melilit jarinya. Mukanya masih polos, senyum indahnya pun tak pernah luput dari pandanganku.
Aku masih terdiam, tak punya cukup tenaga untuk menjawab. Mata asta semakin tajam, seperti menunggu sebuah jawaban yang menjawab semua rasa penasarannya. Tentang siapa aku? Kenapa aku ada dihadapannya? Dan kenapa aku bisa menolongnya? Karena perasaan dia tidak ada teman satu jurusan atau satu kampus sepertiku. Maksutnya, bukan karena aku jelek, tapi karena dia belum pernah jumpa dengan aku sebelumnya, begitu.
Matanya masih menunggu jawaban yang akan keluar dari mulutku. Tatapannya pun semakin tajam. ‘Kenapa kamu gak jawab?’ Wajah kecewa tampak terlihat dari wajahnya. Mata yang tadinya bersemangat menantikan jawaban, kini sayub bebarengan dengan wajahnya yang juga lesu.
Akhirnya, aku mencoba untuk menjawab pertanyaan asta karena aku gak mau melihat gadis yang aku cinta murung. Berkali-kali aku menelan ludah,  dan menarik napas dalam-dalam mencoba untuk mengilangkan rasa gerogi. Asta semakin antusian untuk mendengar jawaban yang keluar dari mulut kaku ini. Matanya kembali terbuka lebar, bibirnya terbuka seperti menunggu datangnya Martabak Bangka. Maksutnya menunggu jawaban.
‘Aku Ales, anak fakultas ekonomi yang kebetulan lewat dan melihat kamu terjatuh,’ dengan mengeluarkan seluruh tenaga akhirnya aku bisa berkata-kata. Aku menutupi perasaan, kalo sebenarnya aku bukan kebetulan lewat, tapi memang setiap hari selalu menunggu dia keluar dari kampus. Aku belum berani untuk berkata jujur kepadanya. Aku takut kejujuran bakalan merusak semua impian untuk mendapatkan cintanya.
Cinta memang gila, cinta dapat memperbudak siapa saja, bahkan sang Raja sekalipun. Kenapa? Kenapa cinta begitu?! Ya, aku tidak tau, yang aku tau cinta itu Abstrak, cinta itu gak masuk akal!
Asta mengeluarkan napas yang telah beberapa detik ia tahan untuk mendengarkan jawabanku. Perasaan lega kini ia rasakan, sudah tidak ada lagi rasa penasaran yang menyelimuti hatinya. Dia tersenyum sambil menatap mata ku, tak ingin kalah aku turut membalasnya dengan senyuman indah yang aku miliki.
‘Aku Asta.  Terimakasih ya, kamu sudah menolongku. Aku tidak tau apa jadinya aku jika gak ada kamu di sana.’ Tiba-tiba asta mengulurkan tangan yang masih tertancap jarum inpus. Aku mencoba untuk membantunya dengan megangin selang inpus agar tida melilit lengannya yang sakit. Aku tersenyum sambil berjabat tangan dengannya, entah kenapa tiba-tiba hati-ku terasa sangat damai ketika tangan bersentuhan dengan tangan asta. Ketahuilah, ini bukan sebuah kata-kata kosong atau sebuah rekayasa, tapi ini asli, asli dari hati yang paling dalam dan ketulusan cinta.
Sejak saat itu, aku jadi sering berkomunikasi dengan asta lewat sms. Jujur, ingin rasanya menelpon dan ngobrol dengannya meskipun hanya via suara, namun ini lah yang terjadi, aku masih belum pede untuk ngobrol dengannya. Menerima sms darinya saja aku sudah melayang sampai ke kayangan, kemudian bertemu dengan awan kumolonimbus yang hendak menghantam sebuah pesawat kecil. Kemudian aku terjatuh, dan tersadar dari sebuah lamunan.
Sesaat awan kumolonimbus berubah menjadi awan kinton yang siap membawaku ke kayangan untuk bertemu dengan bidadari. Aku beranjak dari tempat duduk, dan segera berdiri di atas awan kinton. Aku dibawa melayang ke atas awan kemudian sampai lah di kayangan. Bidadari cantik berambut ical panjang telah menungguku dengan anggun di depan gerbang. Ditangannya ia memegang sebuah jas sutra yang berkilau terbalut emas. Ketahuilah, itu semua hanya sebuah khayalan saja ketika aku menerima sms dari asta. Sangat teringat jelas dikepalaku isi sms itu, “aku mau kita ketemu, bersediakah kamu menerima ajakan ku ini?” kalimatnya seperti berharap agar aku membalas dengan cepat “baik, aku telah lama menunggu momen seperti ini. Aku pasti datang untu menemuimu wahai bidadariku,” Sembari mengandai-andai, mata merem-melek merem-melek. Uh, nampaknya aku terlalu lebay.
Entah dapat wahyu apa semalam waktu aku tidur, tiba-tiba gadis secantik asta menginginkan untuk bertemu denganku. Baru membca smsnya pun aku udah salah tingkah, apalagi sampai ketemu? Terus sampai ngobrol lagi. Sepertinya aku harus menyiapkan celana dalam tambahan untu mengantisipasi terjadinya banjir alias Ngompol!
Sumpah! Aku dibuat kalud hari itu. Aku bingung mau berpakaian seperti apa untuk bertemu dengan asta. Padahal, hanya sekedar untuk ngobrol. Baju seisi lemari aku keluarin, berantakan di atas kasur. Aku masih saja mencoba satu-persatu baju yang aku punya sambil berdiri didepan kaca besar yang sengaja aku tempel di dinding kamar. Tujuannya hanya satu, untuk ngaca memastikan kalo muka ini gak jelek-jelek amat.
Bagus yang entah darimana tiba-tiba datang dan berdiri didepan pintu sambil menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah dia tidak percaya dengan apa yang terlihat dihadapannya. Matanya terpancar menatap aneh, masih belum percaya dengan yang ia lihat. Aku masih saja memutar-mutar kan badan didepan kaca sambil memastikan jika baju yang aku pilih adalah baju yang terbaik. Bagus mencoba untuk memanggil, namun aku menghiraukannya. Cinta memang dapat membuat tuli telinga, bahkan sampai Amnesia. Mukanya semakin gak karuan, ia semakin penasaran dengan sikapku yang tiba-tiba perduli dengan pession.
Bagus mendekat dan duduk dikasur sambil memilah-milah setumpuk baju yang berceceran di kasur. Banyak sekali pertanyaan dikepalanya. Bukan hanya itu, banyak juga opini yang siap menghantamku di kepalanya bagus. Dari mulai kesambet setan toilet, sampai gila karena jatuh dari angkot. Sesekali aku melirik bagus yang sedang duduk ternganga menyaksikan tingkahku yang seperti ABG baru bisa manstrubasi. Yah, seperti yang udah aku bilang berulang-ulang, cinta memang bisa membuat gila dan membutakan mata.
‘Kamu teh kesambet setan apa? Mani siga jelma gelok kitu?’ Bagus memberanikan diri untuk bertanya. Namun, salahnya ia bertanya menggunakan bahasa sunda, bahasa daerahnya sendiri yang aku juga gak ngerti apa artinya. Jadi, bukan salahku jika hanya menjawab dengan senyuman lebar. Kalo gak ngerti artinya mau jawab apa coba? Masak aku harus jungkir balik sambil bilang “WOWWW..” Gak lucu kan?!
‘Eh, kamu teh kalo ditanya ngejawab ngapa? Malah senyum-senyum aja, udah kayak yang paling imut saja sih kamu!’ bagus terlihat kesel dengan senyumanku, padahal senyumku manis banget. Aku gak perduli, hari ini nampaknya aku jadi laki-laki sombong yang menghiraukan setiap ada orang yang ngajak bicara. Pahamlah, kalo orang sedang jatuh cinta gimana, hihiii.
Bagus masih terheran-heran. Dia sangat antusias untuk kembali bertanya, ‘kamu sebenernya lagi kenapa? Jawab dong!’ Aku menoleh kearah bagus, hanya memberi senyum lagi dan kembali sibuk didepan kaca. Bagus menggemuruh, dia jengkel dengan sikapku siang itu. Tak biasanya aku seperti ini.
‘Kamu mau tau aku kenapa?’ Aku membalik badan dan menatap mata bagus. Saking antusiasnya, bagus sampai harus melotot menunggu cerita sesungguhnya yang mungkin bisa membuat dia gak bisa tidur jika dia tidak mengetahuinya.
‘Aku sedang jatuh cinta!’ kataku tepat di depan wajah bagus, dengan mantab sampai membuat bagus kaget dan terhelai di atas kasur. Masih belum percaya, bagus menekuk wajahnya seolah-olah menggambarkan kekesalan karena dia menganggap aku hanya membual.
Ini sungguhan! Ini bukan hanya bualan. Aku memang sedang jatuh cinta, jatuh cinta dengan gadis tercantik versi majalah ku. Bukan versi majalah Kompas atau majalah Tempo.
‘Kamu teh sungguhan?’ bagus kembali memastikan jika perkataan-ku bukan hanya bualan semata. Dan benar adanya. Didekatkannya wajah yang hanya pas-pasan itu dihadapanku, lalu perlahan dia melirik-lirih wajahku dengan kedua matanya. Nampaknya dia memastikan jika tidak ada kebohongan dalam diriku.
Sekiranya beberapa detik bagus melirik-lirk wajahku dengan seksama, kemudian ia mengangguk-ngagguk, nampaknya ia percaya dengan apa yang aku ucapkan. Aku memang pembual, tapi kalo urusan cinta, tidak ada bualan dalam diriku, ehm.
‘Sungguh kamu sahabatku yang sangat hebat,’ bagus mengacungkan jempolnya tepat dihidungku. Tak tau apa maksutnya, yang jelas jempolnya terasa bauk sekali, seperti bau telur busuk. Dan benar saja, karena sebelum masuk kamarku, bagus masak telor ceplok (telor mata sapi) namun gagal karena ternyata telurnya sudah busuk.
Berbagai persiapan telah berjalan dengan baik, baju yang cocok  pun telah aku dapatkan. Solusinya ada pada bagus, karena dia adalah laki-laki penggemar passion, jadi bajunya bagus-bagus sesuai dengan namnya dan yang jelas ber lebel kelas atas. Aku pinjem salah satu kemeja milik bagus, katanya sih itu kemeja terbaik miliknya sekaligus kemeja kesayangannya. Tapi, apakah aku perduli? Tidak! Yang aku perdulikan hanya memakai kemeja itu dan kencan dengan asta.
Malam pun tiba. Sedan jenis Toyota Vios pemberian Ayah angkatku telah terparkir rapih dihalaman rumah. Maksudnya bukan rumah dengan banyak dapur dan ruang tamu, tapi rumah yang hanya satu ruangan, yaitu kamar kost. Dengan lagak sombong aku jalan begitu saja dihadapan bagus yang masih melongo melihat ku malam itu. Mungkin bagus terpesona dengan ketampananku. Dia gak percaya jika dandan rapih ternyata ketampanannya kalah dengan ketampananku. Mungkin juga, dia merasa berat atau tidak iklas kemeja kesayangannya aku pinjam untuk kencan.
Sungguh kamu sahabat yang pelit!
Pintu mobil aku buka, perlahan kaki kiri masuk kedalam dan dengan  gamblang aku duduk. Perlahan kontak aku puter, mobil pun telah aku nyalakan, pedal gas aku gas-gas dengan tujuan memberi kode kepada bagus, bahwa aku telah mengalahkannya. Bagus masih garuk-garuk kepala sambil berdiri didepan pintu tanpa sepatah kata pun.  Aku yakin, lidahnya telah membeku seperti patung sehingga sulit untuk berucap. Kasian sekali kau sobat.
Sesekali aku melirik bagus sambil mengedipkan mata, lalu mobil aku kemudi keluar pagar kost. Malam ini adalah malam special, malam yang gk pernah aku dapatkan. Malam yang sangat berkesan. Ramainya jalanan jogja, warna-warni lampu hias disepanjang jalan Gejayan menambah warna dalam hatiku. Sinar bulan yang terang menari-nari diatas kaca mobil, seakan menyerukan bahwa ia menyambutku dengan gembira. Sangat indah, indah sekali malam ini. Aku tersenyum-senyum sambil perlahan menginjak pedal gas. Siul-siul bak burung kenari yang menyambut mentari dipagi hari.
Pede? Jelas! 15 menit sebelum aku berangkat menemui asta, aku sudah membuat lintingan ganja dan kemudian aku isep di kamar tanpa sepengetahuan bagus. Satu lintingan cukup untuk membuat pede diriku selama ngobrol dengan asta. Ya, hanya sekedar melancarkan obrolan saja.
Hampir setengah jam bergumul dengan ramainya jalan Gejayan, akhirnya aku sampai juga di tempat tujuan yaitu Milk Coffe. Kabarnya, Coffe ini adalah coffe favorit untuk anak-anak yang nge-date dengan pacarnya, aku sendiri kurang paham, karena aku baru kali ini juga nongkrong di sini. Wajar, biasanya di Boshe (tempat dugem) atau tempat karaoke sambil pesta dengan anak-anak.
Turunku dari mobil sambil merapihkan baju celana dan yang gak kalah harus rapih adalah rambut. Ku sisir rapih rambut ini bak seorang mafia. Kali ini aku jadi mafia cinta. Setelah semua terasa rapih, aku melangkah memasuki coffe. Terlihat oleh mata telanjangku betapa ramainya coffe itu. Mobil terparkir berjejer memadati tempat parkir, serta motor yang gak kalah banyak juga ikut mewarnai lahan parkir coffe ini. Terfikir olehku untuk menjadi tukang parkir saja disini, mungkin akan menambah penghasilanku. Kadang memang aku suka gila. Yah, cinta memang membuat aku gila!
Mataku melirk kanan dan kiri, semua kursi telah terisi, terisi oleh pasangan kekasih yang sedang memadu kasih. Atau sepasang pasangan homo yang sedang asyik suap-suapan di meja sebelah kiri ku. Geli memang melihatnya, tapi itulah yang aku lihat. Beberapa meja terisi dengan 3 sampai 5 orang yang sedang bercanda tawa sambil merokok dengan enjoynya. Namun, tak terlihat asta oleh mataku kala itu.
Dimana dia? Pikirku dalam hati, apa dia belum datang? Atau bahkan tidak datang? Ah, sepertinya aku mulai dilanda cemas. Cemas yang berlebihan, faktor jatuh cinta.
Namun, seketika pandanganku tertuju pada sebuah meja yang berada disudut kanan. Mataku tak berkedip saat melihat wanita dengan gaun hitam duduk manis disana. Rambutnya yang indah, serta kulitnya yang putih berpadu cantik dengan gaun yang ia kenakan. Benar, dia adalah asta. Asta yang aku cari-cari. Ia mengisyaratkan bahwa aku harus kesana. Tangannya melambai. Awalny aku bingung, apakah dia melambai untuk ku atau utuk orang lain, namun setelah aku menoleh-noleh dan gak ada lagi orang yang berdiri dan hanya aku satu-satunya yang berdiri, bisa disimpulkan bahwa akulah yang ia maksut.
Aku duduk tepat dihadapannya. Oh Ya-Tuhan, bidadari mana yang engkau berikan kepadaku. Paras cantiknya telah menghipnotisku, tak kuasa aku memandangi wajah ayunya. Ingin rasanya aku pulang langsung tidur, agar aku segera bisa bermimpi untuk duduk dipelaminan dengannya. Tuhan, terlalu jauhkah lamunanku ini?
Semua mata tertuju pada meja kami, pergerakan menjadi lambat, tak ada mata yang tak tertuju kepada kami, seolah mereka ingin mengatakan “ayo cium gadis itu!” Oh, sungguh harapan yang terlalu jauh.
Kami masih hanya berdiam-diaman saja, belum ada yang berani memulai obrolan. Begitu pun aku, aku malah tak bisa apa-apa, kehabisan darah sepertinya diriku saat itu. Beberapa menit hanyut dalam kesunyian yang membelenggu, akhirnya asta memecah kesunyian itu.
‘Terimakasih ya, sudah mau datang menemuiku,’ lembut tutur katanya membuat aku terpaku. Dia menebarkan senyuman indah, sedangkan aku masih dalam posisi tegap seperti pasukan Paskibraka yang sedang mendengarkan amanat dari Pembina Upacara.
‘Iya, sama-sama. Terimakasih juga, karena kamu telah mengundangku untuk datang menemuimu. Ini adalah undangan yang sangat berharga dalam hidupku. Asal kau jangan memberikan aku undangan pernikahanmu, karena aku akan hancur oleh itu,’ aku mencob untuk merayu. Kalimat yang aku dapat setelah membaca novel ramance milik salah satu penulis besar di indonesia.
Masih malu-malu, kami hanya mengeluarkan sepatah dua patah kata saja, tanpa diembel-embeli kalimat yang membuat obrolan jadi lebih panjang. Tak lama kemudian datang pelayan menawarkan menu minuman dan makanan. Satu minuman yang aku pesan malam itu, ingat sekali yaitu Kopi Pait. Entah kenapa aku bisa memesan kopi pait, yang jelas itu berlangsung begitu saja.
Merasa penasaran akhirnya asta bertanya, ‘kenapa kamu pesen kopi pait? Sudah biasa ya minum kopi pait?’ pertanyaan yang sangat aku tunggu-tunggu, sesuai dengan skenario.
‘Bukan, bukan karena biasa. Menurut aku, kopi pait pun akan terasa manis jika minumnya sambil memandangi wajahmu nan ayu itu.’ Nampaknya aku sangat menikmati peran ini, aku sangat menjiwainya. Rayuanku membuat asta hanya tersenyum-senyum malu, ingin ia membalas “kamu juga manis,” namun tak mungkin, karena itu hanya harapan ku saja.
‘Ternyata, selain romantis, kamu juga pandai merayu,’ asta mencoba untuk memujiku sambil tersenyum indah menatapku. Jujur, kalimat itu yang sanggup membuat aku terbang ke angkasa dan memetik satu bintang yang paling terang, kemudian aku letak ‘kan tepat di jantung asta. Sungguh indah, sungguh! Tak kusangka aku bisa seperti ini. Oh Tuhan, berilah hamba kekuatan untuk tetap kuat berada dihadapannya. Tak kuasa ku menahan gejolak cinta yang semakin berkobar ini. Ingin rasanya aku mengungkapkannya secara gamblang, namun tak mungkin terjadi, karena ini terlalu dini untuk mengatakannya.
Dan sejak itu kami jadi sering bertemu, tempat dan meja pun sama, selalu di milk coffe dan meja disudut kanan. Bagi kami, meja itu adalah meja terindah, meja yang memiliki bnyak kenangan, kenangan yang tak bisa untuk dilupakan begitu saja. Meja itu adalah saksi bisu dari bertemunya dua sejoli yang sedang bergejolak dibalik gengsinya masing-masing. Malu dan malu, itulah kata yang tepat bagi kami. Namun, setelah beberapa tahun kami dekat, kami malah semakin akrab dan semakinn terbuka satu sama lain. Semua itu berjalan dengan sendirinya, tak ada scenario yang telah diatur oleh penulis. Aku sendiri tidak tau hubungan ini bisa dikatakan pacaran atau hanya sahabat? Yang jelas kami sangat dekat sekali, bahkan sangat dekat. Dekat sekali!
Namun, sepertinya kedekatan ini harus berakhir. Ya, asta telah mengetahui jika ternyata aku adalah seorang pecandu. Pecandu yang sembunyi dibalik kepolosan. Kenapa asta? Kenapa harus dia yang mergokin aku?! Kenapa bukan yang lain? Harus kurelakan semuanya sirna dalam hidupku jika memang harus, karena ini juga memang kesalahanku. Kebodohanku karena bisa terjerumus dalam jerataan narkoba yang sangat dibenci.





Komentar

Postingan Populer