PENGAGUM RAHASIA
PENGAGUM
RAHASIA
‘Kamu sedang apa?’ Sebuah pertanyaan yang seketika
membuatku panik. Bukan hanya panik, wajah ketakutan juga muncul dari dalam
diriku. Tak tau kenapa, namun itulah yang aku rasakan. Memang seorang pecandu
selalu dihantui rasa takut jika ketahuan orang lain. Aku paham sekali dengan
itu, karena itulah yang sempat aku rasakan.
‘Kamu makek narkoba?’ lagi-lagi dia bertanya semakin
membuatku kebingungan. Aku gak percaya jika waktu itu ada yang melihatku sedang
ngisap ganja di belakang kampus yang lokasinya sangat rahasia dan jarang ada
mahasiswa yang kesana. Karena selain lokasinya yang kotor, disana juga banyak
sekali tikus, kecoak dan serangga kotor lainnya yang sangat dibenci oleh
manusia. Tapi, entah siapa yang kurang kerjaan datang kesana kali ini.
Suara itu terdengar jelas ditelinga, bukan suara
laki-laki atau anak kecil. Tapi ini suara lembut seorang perempuan yang kurang
kerjaan ngeceng di belakang kampus yang sangat bauk. Aku belum sempat menoleh
kearahnya, aku masih tertunduk ketakutan mencoba untuk membuang selinting ganja
yang berada disela-sela jari manis yang baru saja hendak ku isep. Namun suara
itu menggagalkannya, suara yang hanya mengganggu saja menurutku.
Suara itu membuat aku takut, takut dia melapor ke
orang-orang atau ke rektor bahkan ke kantor polisi. Aku takut dipenjara, belum
siap jika harus mendekam dalam jeruji besi, aku takut di bully karena ketauan “makek,” aku juga takut
di DO dari kampus. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menoleh kebelakang
mencoba untuk melihat siapa sebenarnya disana. Tubuhku mulai terasa dingin,
tangan gemetaran serta bibir yang semakin gemetar juga dan perlahan pandangan
mata setengah kosong.
Setelah aku menoleh ke belakang betapa kagetnya aku
melihat sosok perempuan dengan kulit yang sangat putih, rambut ical yang
terurai indah menambah ayu perempuan itu. Dia berdiri diam bak sebuah patung
yang sedang dipajang disebuah museum antik. Dia masih belum berkata-kata,
begiupun aku. Aku masih setengah gak percaya jika dia yang telah memergokiku.
Perlahan dia melangkah mendekat, memastikan jika yang ia lihat itu tidak benar.
Dan apa yang ada dalam pikirannya itu salah. Namun, tidak ada salah, semua yang
ia lihat dan yang ia pikirkan itu benar! Ia menatapku tajam. Dari sorot matanya
terlihat rasa simpati yang sangat dalam. Mungkin dia tau kalo aku sedang
merasakan dingin yang sangat. Mungkin juga dia tau, kalo aku sedang tersiksa
dan butuh bantuan.
‘STOP!’ Aku mencoba menahan langkah kakinya yang
semakin dekat denganku. Aku gak mau dia menyentuhku. Aku tak ingin tangan
mulusnya harus menyentuh pecandu sepertiku. Aku masih menunduk, malu untuk
menatap matanya.
‘Jangat dekati aku. Menjaulah saja,’ dia terlihat
sangat kecewa, matanya menciut penuh tanda tanya, bibirnya melengok seperti
orang yang sedang berempati, serta nafasnya yang semakin terdengar kencang
seperti orang yang baru saja menyelesaikan 5 kali putaran lapangan bola.
Kenapa harus dia?
kenapa dia yang harus mergokin, Ya-Tuhan?
Dalam hati aku terus saja bertanya-tanya. Hal yang gak pernah aku harapkan kini telah terjadi. Kini nasi telah menjadi bubur, tak bisa diubah menjadi nasi kembali. Semuanya telah terjadi, dan dia telah mengetahui siapa sesungguhnya aku. Aku sangat kalud sekali waktu itu. Sedangkan perempuan itu masih saja berdiam berdiri seakan ingin mengatakan sesuatu, namun tak bisa karena takut.
kenapa dia yang harus mergokin, Ya-Tuhan?
Dalam hati aku terus saja bertanya-tanya. Hal yang gak pernah aku harapkan kini telah terjadi. Kini nasi telah menjadi bubur, tak bisa diubah menjadi nasi kembali. Semuanya telah terjadi, dan dia telah mengetahui siapa sesungguhnya aku. Aku sangat kalud sekali waktu itu. Sedangkan perempuan itu masih saja berdiam berdiri seakan ingin mengatakan sesuatu, namun tak bisa karena takut.
Akan kuceritakan siapa dia dan bagaimana kami bisa
kenal.
Dia adalah Asta. Perempuan yang sangat aku kagumi
selama ini. Asta adalah cinta keduaku dan mungkin akan menjadi cinta terakhir,
namun itu masih berupa angan-angan, karena aku masih merahasiakan perasaan itu
terhadapnya. Hany aku dan Tuhan yang tau, tak ada lagi.
Asta adalah mahasiswi UDY (Universitas Darma
Yogyakarta) se-angkatan dengan ku, bedanya dia masuk fakultas kedokteran sedangkan
aku masuk fakultas ekonomi. Kecerdasannya tidak dapat diragukan lagi, beberapa
kali dia memenangkan lomba yang berkaitan dengan jurusannya. Untuk diluar
jurusan, gadis satu ini juga sangat pandai membuat puisi. Semua puisi yang ia
buat mengalir begitu saja. Bagi siapa yang membaca atau mendengarkannya pasti
akan langsung terhipnotis, larut dalam indahnya syair demi syair puisi itu. Puisinya
mengalir dari jiwa, jiwa yang sangat tenang, dan dia selalu menghayati setiap
puisi yang ia ciptakan.
Sejak memasuki semester tiga aku mulai memperhatikan
dia. Diam-diam, setiap selesai mata kuliah aku langsung nongkrong di taman
fakultas kedokteran, tujuannya hanya satu, yaitu melihat senyuman indah yang
terpancar dari bibir gadis sederhana dan cerdas seperti Asta. Meskipun aku sering
nongkrong dan memperhatian dia, namun nampaknya Tuhan belum mau untuk sekedar
mempertemukan kami. Karena sampai satu bulan aku hanya menjadi pengagum rahasia.
Artinya, selama satu bulan aku belum penah bertegur sapa, apa lagi sampai
berkenalan. Masalahnya bukan ada pada waktu atau tempat. Masalahnya ada pada
diriku sendiri. Minder? Tentu. Siapa yang gak
minder kenalan dengan gadis ayu, lembut, berwibawa, cerdas pula. Apa lagi
laki-laki kampret seperti aku, mana mungkin berani. Menjadi pengagum rahasia
yang berada dalam radius 20 meter dari asta saja sudah syukur banget. Apa lagi
sampai kenalan, mungkin aku akan pingsan belum sempet menyebutkan nama. Banyak
sekali laki-laki yang mendekati dia, dari yang tertapan sampai yang paling
jelek. Dari yang paaling putih sampai yang paling hitam. Dari yang tinggi
sampai yang terpendek sekalipun. Sungguh, sungguh kau ciptaannya yang mendekati
sempurna. Sayang, aku hanya menjadi pengagum rahasiamu.
Setelah 3 bulan lebih hanya menjadi pengagum
rahasia, akhirnya Tuhan menjawab penantianku. Aku gak tau, apakah harus bahagia
atau sedih saat asta terjatuh di tangga pintu keluar fakultasnya. Namun, karena
kejadian itu aku bisa berada dalam jarak yang sangat dekat dengannya. Dan satu
yang harus kalian tau, ternyata aku gak pingsan!
Saat itu, seperti biasa aku menunggu asta keluar
dari fakultasnya. Kali ini aku mencoba
lebih dekt, gak hanya di taman yang berjarak 50 meter dari gerbang fakultas.
Aku duduk sambil maen HP di samping sebuah tangga keluar. Gak lama kemudian,
asta terlihat sedang menuju keluar dan kerepotan membawa setumpuk buku di
tangannya. Tampak jelas muka kesusahan, kedua tangannya ia gunakan untuk
memopang buku sampai untuk sekedar membersihkan keringat di keningnya saja ia
mengusapkannya ke tumpukan buku. Bibirnya melengos-lengos karena tumpukan buku
goyang-goyang seperti mau jatuh.
Aku terus saja memperhatikannya dengan seksama.
Ingin sekali waktu itu aku berdiri dan menjadi pahlawan kesorean untuk asta.
Namun, aku sangat gerogi, tubuhku gemetaran gak karuan. Setiap asta
melangkahkan kakinya satu persatu menurui anak tangga aku selalu dilanda rasa
khawatir, aku mencemaskan pijakan kakinya meleset, namun apalah daya si bodoh
ini, aku hanya bisa menelan ludah menyaksikan gadis cantik kesusahan sendirian.
Aku memang laki-laki paling bodoh waktu itu. Bahkan
mungkin, aku adalah laki-laki paling kejam terhadap seorang wanita. Namun, ini
bukan mauku dan inginku. Aku juga sama, ingin terlahir menjadi laki-laki
pemberani, bukan hanya menjadi pengecut yang berlindung dibalik lintingan
ganja. Tanpa itu aku hanya laki-laki cemen yang takut dengan orang. Aku memang
pengecut!
Kecemasanku benar adanya, asta terjatu dari tangga
karena pijakannya meleset. Tumpukan buku yang tertata rapi di atas tangannya,
melayang ke atas bak sebuah kertas-kertas kecil yang beterbangan terbawa angin.
Melihat gadis yang aku cinta terjatuh, dengan sigap aku langsung menolongnya.
Dia tampak meringis-meringis kesakitan sambil megangin tangan sebelah kirinya.
Tak kuasa menahan sedih aku langsung mengangkat dan membawanya ke klinik kampus
yang lokasinya tidak jau dari fakultas kedokteran.
Bukan hanya buku-buku yang melayang seperti kertas,
tapi hatiku juga melayang-layang di atas awan. Entah keajaiban apa yang datang
padaku sore itu, yang jelas, bisa menggendong gadis yang selama ini di cinta
secara rahasia telah menjadi kado yang sangat berharga bagiku. Aku tak
berhenti-hentinya tersenyum waktu itu. Bukan. Bukan senyum bahagia karena asta
terjatuh. Tapi ini senyum cinta. Cinta yang berada semakin dekat, cinta yang
sudah berada di depan pintu dan menunggunya untuk memasuki pintu itu, dan
mengisi ruang yang masih kosong ini.
Merasa bahagia, sampai aku gak sadar terhanyut dalam
lamunan. Berada di Pntai Parang Tritis berdua dengan asta, di sana kami
kejar-kejaran menyisiri pantai, sambil menyaksikan hamparan pasir putih yang
bersinar terang serta ombak yang terombang-ambing kesana kemari dan dihiasi
dengan pantulan sinar matahari yang menari indah di atas ombak membuat
pemandangan jadi semakin indah. Ya, seindah hatiku saat ini. Air yang terbawa
ombak sampai tepi pantai membasahi kaki kami, keromantisan pun terjadi senja
itu. Di tepi pantai yang terhias ombak, aku meminta satu permintaan, “aku
berharap kamu wanita satu-satunya yang mampu mengisi hatiku, aku akan
membahagiakanmu wahai wanitaku.” Sambil ku bentangkan kedua tangan menatap jauh
ketengah laut. Dari belakang asta memelukku erat, ia merebahkan kepalanya
kepunggungku sambil berkata, “hey... heyyy... kamu.’ Telingaku bergemang dan
tangan serasa seperti ada yang menyolek-nyolek.
Seketika aku merontak, tersadar dari sebuah lamunan.
Ternyata asta sudah siuman, dan barusan dia yang memanggil. Sepertinya cinta
telah membawaku pada khayalan tingkat tinggi. Indah jika itu semua terjadi,
tapi sakit jika semua itu hanya sebuah lamunan dan akan tetap menjadi sebuah
lamunan.
Aku terkejut saat ia menatap dengan tatapan aneh,
terlihat alisnya menekuk, namun bibirnya
tersenyum. Nampaknya ia masih bingung, siapa gerangan laki-laki yang berada
dihadapannya ini. Wajar, selama ini aku hanya menjadi pengagum rahasia.
Bertatap muka aja baru kali ini. Jujur, saat asta menatap mata ku, tubuh semua
dingin, urat nadi berhenti berfungsi sampai aku mengedipkan mata baru berfungsi
kembali. Suhu tubuhku berubah sampai minus 35 derajat celcius, bahkan jika ada
air yang ditempelkan ke badanku pasti langsung beku, beku bak sebuah es balok.
‘Kamu siapa?’ Asta kembali bertanya. Dia mengedipkan
mata, dan membenarkan selang inpus yang melilit jarinya. Mukanya masih polos,
senyum indahnya pun tak pernah luput dari pandanganku.
Aku masih terdiam, tak punya cukup tenaga untuk
menjawab. Mata asta semakin tajam, seperti menunggu sebuah jawaban yang
menjawab semua rasa penasarannya. Tentang siapa aku? Kenapa aku ada
dihadapannya? Dan kenapa aku bisa menolongnya? Karena perasaan dia tidak ada
teman satu jurusan atau satu kampus sepertiku. Maksutnya, bukan karena aku
jelek, tapi karena dia belum pernah jumpa dengan aku sebelumnya, begitu.
Matanya masih menunggu jawaban yang akan keluar dari
mulutku. Tatapannya pun semakin tajam. ‘Kenapa kamu gak jawab?’ Wajah kecewa
tampak terlihat dari wajahnya. Mata yang tadinya bersemangat menantikan
jawaban, kini sayub bebarengan dengan wajahnya yang juga lesu.
Akhirnya, aku mencoba untuk menjawab pertanyaan asta
karena aku gak mau melihat gadis yang aku cinta murung. Berkali-kali aku
menelan ludah, dan menarik napas
dalam-dalam mencoba untuk mengilangkan rasa gerogi. Asta semakin antusian untuk
mendengar jawaban yang keluar dari mulut kaku ini. Matanya kembali terbuka
lebar, bibirnya terbuka seperti menunggu datangnya Martabak Bangka. Maksutnya
menunggu jawaban.
‘Aku Ales, anak fakultas ekonomi yang kebetulan
lewat dan melihat kamu terjatuh,’ dengan mengeluarkan seluruh tenaga akhirnya
aku bisa berkata-kata. Aku menutupi perasaan, kalo sebenarnya aku bukan
kebetulan lewat, tapi memang setiap hari selalu menunggu dia keluar dari
kampus. Aku belum berani untuk berkata jujur kepadanya. Aku takut kejujuran
bakalan merusak semua impian untuk mendapatkan cintanya.
Cinta memang gila, cinta dapat memperbudak siapa
saja, bahkan sang Raja sekalipun. Kenapa? Kenapa cinta begitu?! Ya, aku tidak
tau, yang aku tau cinta itu Abstrak, cinta itu gak masuk akal!
Asta mengeluarkan napas yang telah beberapa detik ia
tahan untuk mendengarkan jawabanku. Perasaan lega kini ia rasakan, sudah tidak
ada lagi rasa penasaran yang menyelimuti hatinya. Dia tersenyum sambil menatap
mata ku, tak ingin kalah aku turut membalasnya dengan senyuman indah yang aku
miliki.
‘Aku Asta.
Terimakasih ya, kamu sudah menolongku. Aku tidak tau apa jadinya aku
jika gak ada kamu di sana.’ Tiba-tiba asta mengulurkan tangan yang masih
tertancap jarum inpus. Aku mencoba untuk membantunya dengan megangin selang
inpus agar tida melilit lengannya yang sakit. Aku tersenyum sambil berjabat
tangan dengannya, entah kenapa tiba-tiba hati-ku terasa sangat damai ketika
tangan bersentuhan dengan tangan asta. Ketahuilah, ini bukan sebuah kata-kata
kosong atau sebuah rekayasa, tapi ini asli, asli dari hati yang paling dalam
dan ketulusan cinta.
Sejak saat itu, aku jadi sering berkomunikasi dengan
asta lewat sms. Jujur, ingin rasanya menelpon dan ngobrol dengannya meskipun
hanya via suara, namun ini lah yang terjadi, aku masih belum pede untuk ngobrol
dengannya. Menerima sms darinya saja aku sudah melayang sampai ke kayangan,
kemudian bertemu dengan awan kumolonimbus yang hendak menghantam sebuah pesawat
kecil. Kemudian aku terjatuh, dan tersadar dari sebuah lamunan.
Sesaat awan kumolonimbus berubah menjadi awan kinton
yang siap membawaku ke kayangan untuk bertemu dengan bidadari. Aku beranjak
dari tempat duduk, dan segera berdiri di atas awan kinton. Aku dibawa melayang
ke atas awan kemudian sampai lah di kayangan. Bidadari cantik berambut ical
panjang telah menungguku dengan anggun di depan gerbang. Ditangannya ia
memegang sebuah jas sutra yang berkilau terbalut emas. Ketahuilah, itu semua
hanya sebuah khayalan saja ketika aku menerima sms dari asta. Sangat teringat
jelas dikepalaku isi sms itu, “aku mau kita ketemu, bersediakah kamu menerima
ajakan ku ini?” kalimatnya seperti berharap agar aku membalas dengan cepat
“baik, aku telah lama menunggu momen seperti ini. Aku pasti datang untu
menemuimu wahai bidadariku,” Sembari mengandai-andai, mata merem-melek merem-melek.
Uh, nampaknya aku terlalu lebay.
Entah dapat wahyu apa semalam waktu aku tidur,
tiba-tiba gadis secantik asta menginginkan untuk bertemu denganku. Baru membca
smsnya pun aku udah salah tingkah, apalagi sampai ketemu? Terus sampai ngobrol
lagi. Sepertinya aku harus menyiapkan celana dalam tambahan untu mengantisipasi
terjadinya banjir alias Ngompol!
Sumpah! Aku dibuat kalud hari itu. Aku bingung mau
berpakaian seperti apa untuk bertemu dengan asta. Padahal, hanya sekedar untuk
ngobrol. Baju seisi lemari aku keluarin, berantakan di atas kasur. Aku masih
saja mencoba satu-persatu baju yang aku punya sambil berdiri didepan kaca besar
yang sengaja aku tempel di dinding kamar. Tujuannya hanya satu, untuk ngaca
memastikan kalo muka ini gak jelek-jelek amat.
Bagus yang entah darimana tiba-tiba datang dan
berdiri didepan pintu sambil menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah dia tidak
percaya dengan apa yang terlihat dihadapannya. Matanya terpancar menatap aneh,
masih belum percaya dengan yang ia lihat. Aku masih saja memutar-mutar kan
badan didepan kaca sambil memastikan jika baju yang aku pilih adalah baju yang
terbaik. Bagus mencoba untuk memanggil, namun aku menghiraukannya. Cinta memang
dapat membuat tuli telinga, bahkan sampai Amnesia. Mukanya semakin gak karuan,
ia semakin penasaran dengan sikapku yang tiba-tiba perduli dengan pession.
Bagus mendekat dan duduk dikasur sambil
memilah-milah setumpuk baju yang berceceran di kasur. Banyak sekali pertanyaan
dikepalanya. Bukan hanya itu, banyak juga opini yang siap menghantamku di
kepalanya bagus. Dari mulai kesambet setan toilet, sampai gila karena jatuh
dari angkot. Sesekali aku melirik bagus yang sedang duduk ternganga menyaksikan
tingkahku yang seperti ABG baru bisa manstrubasi. Yah, seperti yang udah aku
bilang berulang-ulang, cinta memang bisa membuat gila dan membutakan mata.
‘Kamu teh kesambet setan apa? Mani siga jelma gelok
kitu?’ Bagus memberanikan diri untuk bertanya. Namun, salahnya ia bertanya
menggunakan bahasa sunda, bahasa daerahnya sendiri yang aku juga gak ngerti apa
artinya. Jadi, bukan salahku jika hanya menjawab dengan senyuman lebar. Kalo
gak ngerti artinya mau jawab apa coba? Masak aku harus jungkir balik sambil
bilang “WOWWW..” Gak lucu kan?!
‘Eh, kamu teh kalo ditanya ngejawab ngapa? Malah
senyum-senyum aja, udah kayak yang paling imut saja sih kamu!’ bagus terlihat
kesel dengan senyumanku, padahal senyumku manis banget. Aku gak perduli, hari
ini nampaknya aku jadi laki-laki sombong yang menghiraukan setiap ada orang
yang ngajak bicara. Pahamlah, kalo orang sedang jatuh cinta gimana, hihiii.
Bagus masih terheran-heran. Dia sangat antusias
untuk kembali bertanya, ‘kamu sebenernya lagi kenapa? Jawab dong!’ Aku menoleh
kearah bagus, hanya memberi senyum lagi dan kembali sibuk didepan kaca. Bagus
menggemuruh, dia jengkel dengan sikapku siang itu. Tak biasanya aku seperti
ini.
‘Kamu mau tau aku kenapa?’ Aku membalik badan dan
menatap mata bagus. Saking antusiasnya, bagus sampai harus melotot menunggu
cerita sesungguhnya yang mungkin bisa membuat dia gak bisa tidur jika dia tidak
mengetahuinya.
‘Aku sedang jatuh cinta!’ kataku tepat di depan
wajah bagus, dengan mantab sampai membuat bagus kaget dan terhelai di atas
kasur. Masih belum percaya, bagus menekuk wajahnya seolah-olah menggambarkan
kekesalan karena dia menganggap aku hanya membual.
Ini sungguhan! Ini bukan hanya bualan. Aku memang
sedang jatuh cinta, jatuh cinta dengan gadis tercantik versi majalah ku. Bukan
versi majalah Kompas atau majalah Tempo.
‘Kamu teh sungguhan?’ bagus kembali memastikan jika
perkataan-ku bukan hanya bualan semata. Dan benar adanya. Didekatkannya wajah
yang hanya pas-pasan itu dihadapanku, lalu perlahan dia melirik-lirih wajahku dengan
kedua matanya. Nampaknya dia memastikan jika tidak ada kebohongan dalam diriku.
Sekiranya beberapa detik bagus melirik-lirk wajahku
dengan seksama, kemudian ia mengangguk-ngagguk, nampaknya ia percaya dengan apa
yang aku ucapkan. Aku memang pembual, tapi kalo urusan cinta, tidak ada bualan
dalam diriku, ehm.
‘Sungguh kamu sahabatku yang sangat hebat,’ bagus
mengacungkan jempolnya tepat dihidungku. Tak tau apa maksutnya, yang jelas
jempolnya terasa bauk sekali, seperti bau telur busuk. Dan benar saja, karena
sebelum masuk kamarku, bagus masak telor ceplok (telor mata sapi) namun gagal
karena ternyata telurnya sudah busuk.
Berbagai persiapan telah berjalan dengan baik, baju
yang cocok pun telah aku dapatkan.
Solusinya ada pada bagus, karena dia adalah laki-laki penggemar passion, jadi
bajunya bagus-bagus sesuai dengan namnya dan yang jelas ber lebel kelas atas.
Aku pinjem salah satu kemeja milik bagus, katanya sih itu kemeja terbaik
miliknya sekaligus kemeja kesayangannya. Tapi, apakah aku perduli? Tidak! Yang
aku perdulikan hanya memakai kemeja itu dan kencan dengan asta.
Malam pun tiba. Sedan jenis Toyota Vios pemberian
Ayah angkatku telah terparkir rapih dihalaman rumah. Maksudnya bukan rumah
dengan banyak dapur dan ruang tamu, tapi rumah yang hanya satu ruangan, yaitu
kamar kost. Dengan lagak sombong aku jalan begitu saja dihadapan bagus yang
masih melongo melihat ku malam itu. Mungkin bagus terpesona dengan
ketampananku. Dia gak percaya jika dandan rapih ternyata ketampanannya kalah
dengan ketampananku. Mungkin juga, dia merasa berat atau tidak iklas kemeja
kesayangannya aku pinjam untuk kencan.
Sungguh kamu sahabat yang pelit!
Pintu mobil aku buka, perlahan kaki kiri masuk
kedalam dan dengan gamblang aku duduk.
Perlahan kontak aku puter, mobil pun telah aku nyalakan, pedal gas aku gas-gas
dengan tujuan memberi kode kepada bagus, bahwa aku telah mengalahkannya. Bagus
masih garuk-garuk kepala sambil berdiri didepan pintu tanpa sepatah kata pun. Aku yakin, lidahnya telah membeku seperti
patung sehingga sulit untuk berucap. Kasian sekali kau sobat.
Sesekali aku melirik bagus sambil mengedipkan mata,
lalu mobil aku kemudi keluar pagar kost. Malam ini adalah malam special, malam
yang gk pernah aku dapatkan. Malam yang sangat berkesan. Ramainya jalanan
jogja, warna-warni lampu hias disepanjang jalan Gejayan menambah warna dalam
hatiku. Sinar bulan yang terang menari-nari diatas kaca mobil, seakan
menyerukan bahwa ia menyambutku dengan gembira. Sangat indah, indah sekali
malam ini. Aku tersenyum-senyum sambil perlahan menginjak pedal gas. Siul-siul
bak burung kenari yang menyambut mentari dipagi hari.
Pede? Jelas! 15 menit sebelum aku berangkat menemui
asta, aku sudah membuat lintingan ganja dan kemudian aku isep di kamar tanpa sepengetahuan
bagus. Satu lintingan cukup untuk membuat pede diriku selama ngobrol dengan
asta. Ya, hanya sekedar melancarkan obrolan saja.
Hampir setengah jam bergumul dengan ramainya jalan
Gejayan, akhirnya aku sampai juga di tempat tujuan yaitu Milk Coffe. Kabarnya,
Coffe ini adalah coffe favorit untuk anak-anak yang nge-date dengan pacarnya,
aku sendiri kurang paham, karena aku baru kali ini juga nongkrong di sini.
Wajar, biasanya di Boshe (tempat dugem) atau tempat karaoke sambil pesta dengan
anak-anak.
Turunku dari mobil sambil merapihkan baju celana dan
yang gak kalah harus rapih adalah rambut. Ku sisir rapih rambut ini bak seorang
mafia. Kali ini aku jadi mafia cinta. Setelah semua terasa rapih, aku melangkah
memasuki coffe. Terlihat oleh mata telanjangku betapa ramainya coffe itu. Mobil
terparkir berjejer memadati tempat parkir, serta motor yang gak kalah banyak
juga ikut mewarnai lahan parkir coffe ini. Terfikir olehku untuk menjadi tukang
parkir saja disini, mungkin akan menambah penghasilanku. Kadang memang aku suka
gila. Yah, cinta memang membuat aku gila!
Mataku melirk kanan dan kiri, semua kursi telah
terisi, terisi oleh pasangan kekasih yang sedang memadu kasih. Atau sepasang
pasangan homo yang sedang asyik suap-suapan di meja sebelah kiri ku. Geli
memang melihatnya, tapi itulah yang aku lihat. Beberapa meja terisi dengan 3
sampai 5 orang yang sedang bercanda tawa sambil merokok dengan enjoynya. Namun,
tak terlihat asta oleh mataku kala itu.
Dimana dia? Pikirku dalam hati, apa dia belum
datang? Atau bahkan tidak datang? Ah, sepertinya aku mulai dilanda cemas. Cemas
yang berlebihan, faktor jatuh cinta.
Namun, seketika pandanganku tertuju pada sebuah meja
yang berada disudut kanan. Mataku tak berkedip saat melihat wanita dengan gaun
hitam duduk manis disana. Rambutnya yang indah, serta kulitnya yang putih
berpadu cantik dengan gaun yang ia kenakan. Benar, dia adalah asta. Asta yang
aku cari-cari. Ia mengisyaratkan bahwa aku harus kesana. Tangannya melambai.
Awalny aku bingung, apakah dia melambai untuk ku atau utuk orang lain, namun
setelah aku menoleh-noleh dan gak ada lagi orang yang berdiri dan hanya aku
satu-satunya yang berdiri, bisa disimpulkan bahwa akulah yang ia maksut.
Aku duduk tepat dihadapannya. Oh Ya-Tuhan, bidadari
mana yang engkau berikan kepadaku. Paras cantiknya telah menghipnotisku, tak
kuasa aku memandangi wajah ayunya. Ingin rasanya aku pulang langsung tidur,
agar aku segera bisa bermimpi untuk duduk dipelaminan dengannya. Tuhan, terlalu
jauhkah lamunanku ini?
Semua mata tertuju pada meja kami, pergerakan
menjadi lambat, tak ada mata yang tak tertuju kepada kami, seolah mereka ingin
mengatakan “ayo cium gadis itu!” Oh, sungguh harapan yang terlalu jauh.
Kami masih hanya berdiam-diaman saja, belum ada yang
berani memulai obrolan. Begitu pun aku, aku malah tak bisa apa-apa, kehabisan
darah sepertinya diriku saat itu. Beberapa menit hanyut dalam kesunyian yang
membelenggu, akhirnya asta memecah kesunyian itu.
‘Terimakasih ya, sudah mau datang menemuiku,’ lembut
tutur katanya membuat aku terpaku. Dia menebarkan senyuman indah, sedangkan aku
masih dalam posisi tegap seperti pasukan Paskibraka yang sedang mendengarkan
amanat dari Pembina Upacara.
‘Iya, sama-sama. Terimakasih juga, karena kamu telah
mengundangku untuk datang menemuimu. Ini adalah undangan yang sangat berharga
dalam hidupku. Asal kau jangan memberikan aku undangan pernikahanmu, karena aku
akan hancur oleh itu,’ aku mencob untuk merayu. Kalimat yang aku dapat setelah
membaca novel ramance milik salah satu penulis besar di indonesia.
Masih malu-malu, kami hanya mengeluarkan sepatah dua
patah kata saja, tanpa diembel-embeli kalimat yang membuat obrolan jadi lebih
panjang. Tak lama kemudian datang pelayan menawarkan menu minuman dan makanan.
Satu minuman yang aku pesan malam itu, ingat sekali yaitu Kopi Pait. Entah
kenapa aku bisa memesan kopi pait, yang jelas itu berlangsung begitu saja.
Merasa penasaran akhirnya asta bertanya, ‘kenapa
kamu pesen kopi pait? Sudah biasa ya minum kopi pait?’ pertanyaan yang sangat
aku tunggu-tunggu, sesuai dengan skenario.
‘Bukan, bukan karena biasa. Menurut aku, kopi pait
pun akan terasa manis jika minumnya sambil memandangi wajahmu nan ayu itu.’
Nampaknya aku sangat menikmati peran ini, aku sangat menjiwainya. Rayuanku
membuat asta hanya tersenyum-senyum malu, ingin ia membalas “kamu juga manis,”
namun tak mungkin, karena itu hanya harapan ku saja.
‘Ternyata, selain romantis, kamu juga pandai
merayu,’ asta mencoba untuk memujiku sambil tersenyum indah menatapku. Jujur,
kalimat itu yang sanggup membuat aku terbang ke angkasa dan memetik satu
bintang yang paling terang, kemudian aku letak ‘kan tepat di jantung asta.
Sungguh indah, sungguh! Tak kusangka aku bisa seperti ini. Oh Tuhan, berilah
hamba kekuatan untuk tetap kuat berada dihadapannya. Tak kuasa ku menahan
gejolak cinta yang semakin berkobar ini. Ingin rasanya aku mengungkapkannya
secara gamblang, namun tak mungkin terjadi, karena ini terlalu dini untuk
mengatakannya.
Dan sejak itu kami jadi sering bertemu, tempat dan
meja pun sama, selalu di milk coffe dan meja disudut kanan. Bagi kami, meja itu
adalah meja terindah, meja yang memiliki bnyak kenangan, kenangan yang tak bisa
untuk dilupakan begitu saja. Meja itu adalah saksi bisu dari bertemunya dua
sejoli yang sedang bergejolak dibalik gengsinya masing-masing. Malu dan malu,
itulah kata yang tepat bagi kami. Namun, setelah beberapa tahun kami dekat,
kami malah semakin akrab dan semakinn terbuka satu sama lain. Semua itu
berjalan dengan sendirinya, tak ada scenario yang telah diatur oleh penulis.
Aku sendiri tidak tau hubungan ini bisa dikatakan pacaran atau hanya sahabat?
Yang jelas kami sangat dekat sekali, bahkan sangat dekat. Dekat sekali!
Namun, sepertinya kedekatan ini harus berakhir. Ya,
asta telah mengetahui jika ternyata aku adalah seorang pecandu. Pecandu yang
sembunyi dibalik kepolosan. Kenapa asta? Kenapa harus dia yang mergokin aku?!
Kenapa bukan yang lain? Harus kurelakan semuanya sirna dalam hidupku jika
memang harus, karena ini juga memang kesalahanku. Kebodohanku karena bisa terjerumus
dalam jerataan narkoba yang sangat dibenci.
Komentar
Posting Komentar