Bandung vs Jogja

Bandung vs Jogja
Setahun yang lalu gue hijrah dari Lampung ke Bandung. Tujuannya untuk apa? Kuliah! Ya, tujuannya untuk kuliah. Apakah di Bandung gue kuliah? Tidak! Tidak ada kuliah di Bandung. Gue memanfaatkan kota sebesar Bandung untuk mencari pengalaman ketimbang mencari ilmu. Buat apa kuliah jika ujung-ujungnya untuk kerja? Buat apa buang uang untuk  bayar kuliah jika ujung-ujungnya ngeluarin uang lagi? Untuk apa jadi mahasiswa jika hanya menyusahkan orang tua? Oke, kalian jangan pada tiru prinsip sesat gue ini. Gue saranin jangan sampai. Jujur, gara-gara prinsip sesat ini penyesalan gue gak ada habisnya sampai detik ini. Gue menyesal!
Kehidupan di pelosok Lampung yang sangat kurang media untuk belajar membuat gue memutuskan untuk hijrah  ke Bandung. Banyak cerita yang beredar ditelinga gue mengenai Bandung. Sekilas tentang Bandung atau Kota Kembang. Banyak cewek cantik-cantik, orangnya ramah-ramah, tempat kuliah bagus-bagus, cari kerja gampang, murah-murah, dan yang pasti  apa-apa ada. Wajar, kota besar.
Satu hal yang membuat gue tertarik untuk hijrah ke Bandung yaitu karena ceweknya cantik-cantik. Katanya sih Bahenol-bahenol gitu. Karena itu gue jadi termotivasi  untuk mencicipi nikmatnya cewek Bandung. Eh salah, maksutnya mencicipi Kota Bandung.
Setelah lulus SMA gue langsung nelpon paman yang ada di bandung.  Tujuannya untuk minta tumpaangan gratis, hihiii.....Dan syukurlah, ternyata adik dari bokap mau menerima gue  untuk hidup gratis di rumahnya.
‘Kamu harus kuliah yang bener, jangan sampai macem-macem disana.’ Pinta nyokap dimalam sebelum gue berangkat ke Bandung. Keponakan-keponakan gue yaitu Aldo dan Zahra sedang asyik selfie-selfie ama adek gue yaitu Rina.
‘Iya, gak macem-macem kok. Kan niatnya buat kuliah,’ balas gue mencoba untuk meyakinkan nyokap yang terus saja mewanti-wanti agar anak laki-lakinya ini bisa menjaga amanah.
‘Om, gak usah pulang kesini lagi ya!’ Zahra menghardik gue. Senyumannya membuat gue ngerasa tak diharapkan lagi dalam keluarga besar Surahman. Surahman itu bokap gue. Udah ah, lebih baik kalian tau namanya saja, jangan lebih, entar juga pasti tau sendiri. Gue  takut dosa kalau jelasin panjang-panjang tentang bokap.
‘Iyaaaa, tenang aja. Gue juga males ketemu elo lagi. Kan gue bakalan hidup di kota, jadi gue pasti lebih betah. Daripada tinggal dipelosok kayak gini,’ bales gue dengan santainya. Zahra menegakkan kepala sambil memonyongkan bibir. Gue hanya tertawa kecil melihat keponakan gue yang paling kampret itu.
Pagi pun tiba, mobil dua roda warna merah keluaar dari garasi. Sanga  penunggang adalah bokap dengan rokok di mulutnnya. Kepulan asap mengalahkan kepulan asap kenalpot motor. Laki-laki berjaket kulit hitam itu ternyata telah siap  untuk menjadi tukang ojek gue. Bukan, egak sampai Bandung, cuma sampai loket bus saja. Wajar, pelosok mah jauh dari loket bus.
Sebelum berangkat tak hikmat rasanya jika tak ada momen peluk-pelukan perpisahan. Gue menjabat tangan adek gue yaitu Rina. Ia meneteskan air mata, seolah membuktikan bahwa betapa berartinya gue untuknya. Kakak paling ganteng satu-satunya. Gue tau itu hanya tangisan buaya. secara dengan kepergian gue dia bisa untung. Gak ada lagi yang ngerusuhin dia untuk pacaran dan gak ada lagi cucian gue yang harus ia cuci.
Selesai Rina, gue pamitan kepada nyokap. Perempuan dengan rambut masih terbalut handuk itu tampak sedih untuk melepasku. Belum gue memeluk beliau sudah menangis. Semakin gue  peluk semakin deras air mata yang keluar dari matanya. Gue paham, ini termasuk cara untuk membuat gue ngerasa dianggap anak. Padahal gue juga tau, dengan kepergian gue porsi nasi yang harus nyokap masak berkurang. Dan gak ada lagi si pemalas yang kerjaannya nonton tipi menghabiskan kuota listrik. Hah, gue sudah paham Ibu.
Ku-ucapkan “aku datang Bandung.” Ternyata Bandung indah banget. Gue turun di Jl. Moh Toha, dayeuhkolot. Satu hari satu malam gue berada dalam bus. Bokong rasanya udah kayak di open seperti zupa zoup. Berangkat pagi tiba lagi di bandung pagi. Udaranya dingin banget. Beda dengan di lampung. Udara panas, otak panas, pacaran panas, sekali senggol “Bacok!”
Laki-laki dengan gelagat mencurigakan gue lihat di ujung warung makan yang ada disebelah selokan jurusan Kali Citeureup. Matanya tertuju kepada gue, semakin gue menatapnya semakin tajam ia menatap. Gue tau, laki-laki itu pasti Paman gue. Gue lambaikan tangan dengan senyuman paling indah dari yang gue punya. Aha, ternyata benar itu adalah Paman Dudung. Gue masuk ke dalam rumah dan istirahat.
Dua hari sudah gue di bandung. Kalian tau apa yang gue rasakan? Sumpah, semua diluar dugaan. Gue pikir bandung seindah yang gue pikirkan, ternyata tidak. Dia hari di bandung tidak membuat gue bisa pergi jalan-jalan. Macet! Ya, macet dimana-mana. Pagi, siang, malam, gak ada kata gak macet. Angkot bertaburan dimana-mana udah seperti wabah. Tingkahnya yang kurang tertib menyebabkan kemacetan. Menaik-turunkan penumpang seenaknya terkadang membahayakan pengendara lain. Apalagi dengan sifat mereka yang gak sabaran, memaksakan untuk menerobos lampu merah.
Niat untuk kuliah pupus sudah. Gue gak mau kuliah. Bisa lo bayangin jika gue kuliah. Macet, bisa setiap hari terlambat datang ke kampus gue. Mungkin satu bulan kuliah 6 pertemuan gue bolos per mata kuliah. Belum lagi jika musim banjir datang, hah, lengkap sudah  penderitaan.
Satu bulan gue di Bandung memilih untu banting setir bekerja daripada kuliah. Gue memilih mencari pengalaman ketimbang harus kuliah berhadapan dengan kemacetan dan kebisingan lalulintas. Lebih bak bekerja dekat dengan rumah, jadi gak ada macet dan gak ada jalan jauh. Hanya butuh satu menit dan hanya butuh jalan kaki untuk sampai ditempat kerja. Gak butuh ongkos, gak butuh capek, dan gak perlu emosi karena macet.
Banjir pun datang. Penderitaan juga datang. Rumah paman yang ada di Kampung Gempol tergenang air. Ikan lele, nila, ikut masuk dalam rumah. Bahkan ada yang sampai asuk ke dalam lemari. Gue gak ngerti, mungkin tu ikan pengen curi kancut paman atau justru dia mau cari baju yang bagus.
Pokoknya gak enak banget! Banjir dan Macet, itulah yang menjadi problem kota Bandung. Setahunn sudah gue di Bandung. Semakin hari semakin banyak uang. Namun tetap saja, sekali dapat ya sekali habis. Gak bisa nabung apalagi sampai ngirim buat orang tua di rumah. Yah, taulah anak muda itu gimana. Semakin banyak uang bukannya semakin seneng justru gue semakin tau jika ternyata keputusan gue ini salah. Gue menyesal udah  berhenti kuliah. Ternyata kerja dengan modal ijaza SMA cukup untuk membuat badan remuk. Hampir setiap bulan gue sakit. Bukannya gemuk karena banyak uang justru badan makin kurus karena diporsir oleh pekerjaan. Apalagi gue kerja di pabrik textil, sangat menguras tenaga.
Meskipun menyesal namun gue juga mendapat berkah dari keputusan untuk bekerja. Gue jadi mendapat hikmahnya. Gue jadi tau bagaimana rasanya cari uang sendiri, gue jadi tau bagaimana kerja dengan orang lain, gue jadi tau bagaimana beritika dalam perusahaan, dan gue juga jadi tau jika ternyata ijaza SMA tak cukup baik untuk mencari pekerjaan.
Sadar akan keputusan yang gue ambil salah akhirnya gue mengambil keputusan lagi. Keputusan yang mungkin mengagetkan dan keputusan yang mungkin konyol. Gue berhenti bekerja dan memilih untuk melanjutkan Kuliah. Gue gak mau terus-terusan kerja kasar yang akan merusak badan.
Kan uangnya banyak, kenapa berhenti? Gays, kalian tau kan jika yang namanya bekerja itu pasti punya uang. Tapi apa kalian tau, kesehatan itu lebih penting? Kecerdasan itu lebih berguna? Dan apa kalian tau, sekarang bukan jamannya SMA tapi jamannya Sarjana. Maka dari itu gue lebih memilih melanjutkan kuliah dengan harapan menambah ilmu dan berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan modal gelar Sarjana.
Dimana gue kuliah? Gue gak kuliah di bandung. Gue gak mau terlambat karena macet dan banjir. Gue mau tenang. Gue mau yang nyaman dan gue mau yang bisa berkontribusi terhadap kecerdasan gue. Jakarta? Bukan juga. Kalian tau kan, bagaimana semerawutnya Ibu Kota tercinta Indonesia. Masak gue lepas dari kandang macan gue masuk kandang singa. Kan lucu. Jakarta macetnya lebih parah dari Bandung. Untuk menempuh jarak 2 kilometer saja kita membutuhkan waktu setengah jam bahkan bisa lebih jika di Jakarta.
Jika dari Lampung gue hijrah ke Bandung, maka dari Bandung gue hijrah ke Jogja. Di Jogja gue akan fokus Kuliah. Katanya kan Jogja kota pendidikan dan kota budaya. Apalagi dengan keramahan masyarakatnya, gue suka banget. Melihat gue berlatar belakang dari suku Jawa. Dan yang  lebih penting lagi, di Jogja gak ada macet katanya. Daerah Istimewa, jadi gak ada kebisingan dan gak ada kemacetan. Jogja kota yang indah. Itulah slogan yang sering gue baca saat searcing-searcing tentang kota jogja.
Lepas dari Bandung gue pindah Ke Jogja. Gue hidup sebatangkara di sana. Gak ada sodara atau pun sodara jauh. Gue daftar kuliah sendiri, jalan sendiri, dan semua gue kerjain sendiri, tapi tetep, uang minta orang tua, hihii.....
Gue sangat bersyukur karena akhirnya Jogja memberikan gue tempat untuk menampung otak pas-pasan. Lima universitas favorit gue daftarin, namun hasilnya zonk, gue gak diterima. Gue pikir Jogja bukan tempatnya orang-orang dengan kualitas otak yang terbatas, ternyata salah. Ditengah-tengah kegalauan gue akhirnya gue mendapat wahyu. Gue mendaftar di salah satu Universitas Swasta yang terletak di daerah Jombor, Sleman, jogjakarta.
Bersyukur gue ucapkan karena akhirnya gue diterima di kampus tersebut. Bahagia sekali gue saat itu. Yah, meskipun kampus gue terkenal dengan sebutan kampus baleho. Kenapa, karena baleho kampus gue tersebar dimana-mana. Hampir disetiap perempatan baleho iklan kampus gue pasti ada. Boleh gak gue nyebutin nama kampus gue? Em, gue harus bangga dengan kampus sendiri. So, gue akan beri tahu kampus baleho. Namanua UTY (Universitas Tegnologi Yogyakarta), kampus terfavorit di Jogja. “kata gue.” Itulah nama kampus gue. Bagi yang penasaran searcing aja di www.uty.ac.id......#Promosi
Sebulan sudah gue di Jogja. Cukup banyak tempat-tempat bersejarah yang sudah gue kunjungi. Diantaranya: Borobudur, prambanan, kraton, benteng, parang tritis dan lain-lain. Sangat indah dan menguras emosi. Bagaimana tidak, terhindar dari kemacetan Bandung datang ke jogja berharap gak mengalami kemacetan ternyata salah. Tak ada bedanya Bandung dan Jogja, sama-sama MACET! Feeling gue tentang Jogja ternyata salah. Macet dimana-mana. Sama persis dengan di Bandung. Namun gue gak mau hijrah lagi, karena mau hijrah kemana lagi untuk menimba ilmu. Satu-satunya tempat favorit menimba ilmu ya Jogja. Gak mungkin kan papua?
Meskipun macet taapi Jogja tetep Istimewa. Setiap gue meletakkan bokong gue kesebuah tempat, disana pasti ada yang namanya mahasiswa. Hampir 65% manusia yang hidup di Jogja adalah mahasiswa. Tak  perduli etnis atau latar belakang yang berbeda. Yang jelas semuanya memiliki satu tujuan yaitu menimba ilmu.
Semakin bulan berlalu semakin mendekati gue pada ujian semester. Semakin lama semakin terlihat bangunan Hotel atau Mall yang berdiri di Jogja. Sedikitnya 3 Mall yang diresmikan selama 4 bulan gue tinggal di Jogja. Entah berapa hotel yang juga diresmikan. Bahkan, sampai detik ini masih saja ada hotel yyang masih dalam proses pembangunan dan jumlahnya tidak sedikit. Selain hotel ada juga mall yang sedang dalam proses pengerjaan. Kata sih mall terbesar nomor dua se-Asia Tenggara.
Menurut gue semakin hari semakin berkurang ke-khasan Jogja. Semakin banyak hotel dan mall semakin menggambarkan kota Bandung atau Jakarta. Tak ada bedanya Bandung dan Jogja. Mungkin hanya gelar saja yang membedakan. Jika Bandung kota Kembang maka Jogja adalah kota pendidikan. Namun, tetap saja sama. Macet dan semerawut. Hampir punah ritual-ritual adat atau budaya-budaya yang sejak dulu dijunjung tinggi kelestariannnya. Becak kalah dengan motor, andong kalah dengan mobil. Pedagang kecil kalah dengan mall-mall yang berdiri dengan kokoh.

Tak ada lagi bersih dan indah. Sampah dimana-mana. Kebisingan tak dapat dihindarkan lagi. Tak ada kesadaran mahasiswa untuk membuat semuanya kembali pada Jogja tempo dulu. Dimana? Dimana ke-khasan Jogja si daerah istimewa dan kota pelajar. Semakin samar saja julukan tersebut. Seiring berdirinya hotel-hotel perlahan nama keistimewaan menghilang. Tidak menutup kemungkinan keraton Jogja yang sangat dijunjung tinggi itu punah, tenggelam oleh hotel-hotel yang menjulang keatas seperti sebuah menara kehancuran.

Komentar

  1. Maturnuwun mas atas cerpennya. Save jogja. Hheee

    BalasHapus
  2. Maturnuwun mas atas cerpennya. Save jogja. Hheee

    BalasHapus
    Balasan
    1. sami sami Mas,,hehhee.. makasih juga udh nyempetin baca

      Hapus
  3. masih mending Lu gan, gua jauh jauh ke jogja malah masuk ke kampus yang orang bilang kampus cuma nempah ijazah, sakitttt karena orang tua yg kurang mampu.

    BalasHapus
  4. Agen Slot Terpercaya
    Agen Situs Terpercaya
    88CSN Menyedikan Permaianan Online
    - Sportbook
    - Live Casino
    - Slot Game
    - Poker
    - Tembak Ikan
    * Bonus 180% NEW MEMBER
    * Bonus New Member 30%
    * Bonus Happy Hour 25%
    * Bonus 20% Poker
    *Bonus Setiap Hari 5%
    Segera Bergabung Dengan Kami :
    Contact :
    WA : 081358840484
    BBM : 88CSNMANTAP
    Facebook : 88CSN
    www.wes88.com

    BalasHapus
  5. Agen Situs Terpercaya
    Agen Casino Terpercaya
    Agen terbaik dan terpopuler hanya ada di sini bos ku!!https://bit.ly/30ZegxT

    Ayo gabung bersama kami di 88CSN dan banyak bonusnya juga bos ku..
    Info lebih lanjut langsung hubungi CS kami pelayanan 24 jam

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer