BAGIAN SATU
SATU
Sunrice
terlihat samar di langit sana, sebagian tertutup oleh kepulan awan hitam.
Mendung siap menutupinya. Sejauh mata memandang, hamparan ladang padi masih
tertutup oleh embun. Hanya sebagian saja ladang padi dengan sepercik embun yang
terlihat di sana. Bukan hanya ladang padi, namun jalanan juga masih tertutup
oleh embun. Hanya sebagian aspalnya saja yang terlihat, itu saja dengan jarak
yang cukup dekat. 5 meter. Untuk jarak lebih dari itu mata masih kesulitan
untuk mencari jalan. Udara dingin masih sangat terasa menusuk pori. Namun, itu
bukan berarti apa-apa bagi laki-laki itu.
Gemericik
air sungai yang mengalir sangat deras terdengar merdu ditelinga. Mereka
mengalir dari hulu ke hilir. Wajar, musim penghujan telah tiba, jadi sudah waktunya
air memenuhi sungai yang sempat kering akibat kemarau panjang. Air terus
mengalir deras, dan akan semakin deras apabila kita menyimaknya dengan seksama.
Suara gemericiknya seolah menandakan jika mereka sedang melantunkan syair indah
tanda syukurnya atas ke-Agungan Sang Maha Pencipta. Baru beberapa minggu yang
lalu kemarau panjang berakhir. Hampir tak ada kehidupan disungai saat kemarau.
Entah kemana perginya mereka para penghuni air tawar. Mungkin saja mereka
migran ke tempat yang lebih aman, atau mereka mati karena kelaparan, bisa juga
mereka bersembunyi di dalam lumpur.
Kemarau
panjang telah usai, kini sungai yang tadinya kering berubah menjadi sungai yang
sangat dalam. Banyak ikan dan biota air tawar lainnya yang menunjukan
bentuknya, itu tandanya mereka telah kembali dari persembunyian. Kini, air
kembali menjadi sumber penghidupan bagi penghuninya dan juga untuk sekitarnya
seperti sawah dan tanaman cabai dan sayuran yang berada tepat disisi sungai
Mataram.
Sanrice
semakin tak terlihat. Kepulan awan hitam mulai menutupi keseluruhannya. Di
sana, sosok laki-laki dengan kulit sawo matang duduk pada sebuah batu yang
sejak puluhan tahun silam telah berada di sana. Jauh sebelum laki-laki itu
terlahir. Laki-laki dengan postur pendek itu duduk dengan tenang, matanya
mengarah ke langit gelap seolah sedang mengharapkan sesuatu terjadi kepadanya.
Wajahnya datar menatap ke atas sana. Sepertinya ia sedang menyimpan banyak
cerita yang belum ia sampaikan kepada siapapun.
Laki-laki
itu hanya mengenakan celana pendek warna hitam, serta kaos putih bergambar
kartun dengan kumis yang sangat tebal. Rambutnya masih sedikit semerawut,
memerah seperti baru saja terbangun dari tidur. Ia sangat tenang duduk pada
sebuah batu pembatas itu. Matanya menyimak langit, sepertinya ia ingin
mengatakan sesuatu kepada penghuni langit. Apa yang ia lihat di atas sana? Iya,
tak ada pemandangan indah yang dapat dilihat pagi itu. Mendung gelap menutupi
segala keindahan langit. Namun kenapa laki-laki itu terus saja menatap ke sana.
Benarkah ia ingin meminta sesuatu kepada langit gelap di sana?
Dirasa
sudah cukup waktu lebih dari setengah jam hanya ia gunakan untuk menatap langit
hitam. Matanya menyelidik alam sekitar. Kini, sasarannya bukan langit hitam,
melainkan hamparan padang padi yang mulai ditinggalkan embun yang menutupinya.
Itu berarti, ladang padi sudah mulai bisa terlihat. Ia masih memasang wajah
datar. Matanya fokus dengan alam sekitar. Ia tak memperdulikan udara pagi
menembus dinding kulitnya lalu masuk ketubuh melalui lubang pori. Matanya masih
menyelidik disekitar. Seperti banyak sekali yang ingin ia sampaikan kepada
alam. Sangat terlihat sekali dari sorot matanya yang sangat antusias memandangi
alam sekitarnya.
Ia
menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan membuangnya melalui lubang hidung yang
tidak mancung itu. Jika kalian pasti sudah ngerti maksutnya apa. Merasa belum
cukup, ia kembali menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya kembali.
Matanya kembali terpejam, ia rasakan sejenak udara pagi yang masih sangat segar
itu. Tidak ada polusi diantara tubuh-tumbuhan dan luasnyaa padang padi di sana.
Dalam gelap mata yang terpejam ia berkata “terimakasih Tuhan, engkau telah
memberikan hamba ketenangan melalui udara pagi yang sangat segar ini.” Perlahan
ia membuka matanya lalu tersenyum. Namun, ia serasa berat untuk membukakan
matanya kembali. Seolah ia ingin tetap terpejam bahkan mungkin untuk selamanya.
Beberapa
penduduk desa mulai terlihat hilir mudik di pematang sawah untuk segera memulai
rutinitasnya sebagai petani. Matanya tertuju pada sebuah barisan sepedah ontel
yang masih sangat terawat meskipun umurnya jauh lebih tua darinya. Hebat sekali
mereka yang masih bisa melestarikan kendaraan moderen pada zaman dulu meskipun
sekarang banyak sekali kendaraan yang lebih moderen. Katanya dalam hati sambil
terus menatap barisan sepedah ontel di depan sana.
Pada
sebuah saung/gubuk kecil ia melihat sekelompok petani sedang bercengkeramah
sambil menyantap sarapan pagi. Mereka terlihat sangat akrab dan bahagia sekali
meskipun hanya dengan kesederhanaan. Apa mereka tidak punya masalah? Tanyanya
dalam hati. Oh, bukan, mereka bahagia bukan karena tidak punya masalah, namun
mereka mampu mengerti arti dalam hidup ini. Hidup ini akan bermakna jika kita
mampu mensyukurinya. Bahagialah mereka yang mampu bersyukur dalam keadaannya.
Ia
kembali terpejam. Sejenak saja lalu ia membuka mata kembali.
Dengan
mengucap bismilah, laki-laki itu membuka sebuah buku catatan bewarna merah yang
sejak tadi ia genggam. Tak butuh lama-lama lagi, laki-laki itu melepas tutup
pulpen lalu ia memulai menari-narikan pena itu di atas kertas putih pada tiap
lembar buku catatannya. Tinta hitam mulai menggoreskan kata demi kata, kalimat
demi kalimat, dan paragaraf demi paragraf dan akhirnya membentuk satu judul
cerita. Lembar demi lembar perlahan dipenuhi dengan goresan tinta yang
menceritakan isi hatinya. Banyak cerita yang ingin ia tulis di sana. Tentang
Alam, tentang makna Bersyukur, tentang Pendidikan, tentang Kehidupan juga
tentang kisa Cintanya yang “berbeda.”
Langit
di atas sana mulai menghitam. Gumpulan awan hitam mulai menutupi indahnya warna
biru di sana. Kini biru telah menjadi hitam, seolah ia tahu bahwa hati seorang
laki-laki yang sedang duduk menggoreskan tinta pada lembar demi lembar ketas
putih itu sedang mendung, gelap, hitam tak tentu arah. Ia menyesal. Menyesali
perbuatan yang harus kehilangan wanita yang amat ia cintai. Wanita solehah yang
mampu menenangkan hatinya saat ia kacau, sedih, gelap dan bisa sangat bahagia
ketika kebahagiaan bersamanya. Tak pergi saat sedih dan tak bosan saat ia
tampak biasa. Wanita itu sangat sempurna baginya.
Kalimat
demi kalimat telah bersemayam pada kertas putih itu. Paragarf demi paragraf
telah tertulis dengan rapih di sana. Itu tanda, jika apa yang ia tulis
berdasarkan isi hatinya. Namun, belum selesai ia menulis, setetes air hujan
mendarat tepat diujung hidung yang tak terlalu mancung itu. Itu pertanda jika
hujan akan segera turun. Mungkin saat ini hanya satu, namun beberapa menit
kemudian pasti akan membawa teman banyak. Dan benar saja, satu, dua, tiga dan
akhirnya mereka datang beramai-ramai sehingga mampu untuk membasahi tubuh
laki-laki itu. Ia tak beranjak meski tubuhnya basah kuyup. Ia masih setia
dengan batu bulat yang ia duduki. Ia menutup buku dan meletakkannya tepat
disebelahnya. Ia merelakan air hujan membasahinya. Kepalanya mendongak keatas dan merelakan
wajahnya dihantam air hujan yang turun dari langit. Matanya terpejam. Air hujan
terus saja berjatuhan diwajahnya. Kenapa? Kenapa kau tak beranjak? Seolah hujan
bertanya kepadanya melalui petir. Masih banyak lembaran yang harus aku tulis
disini. Ceritaku belum selesai. Air tak akan mampu untuk menghalangiku terus
bercerita sebelum semua orang tahu jika aku memendam banyak cerita yang mungkin
dapat bermanfaat bagi mereka. Kau, tak akan mampu menghalangiku kecuali kau
mengambil nyawaku. Jawabnya dengan mata terpejam.
“Maafkan
aku. Aku tak ada maksut untuk membuatmu celaka sampai harus merenggut nyawamu.
Aku sangat mencintaimu, jangan kau biarkan aku hidup sendiri di dunia ini.
Hidup dengan menanggung rasa bersalah yang sangat besar. Penyesalan yang mungkin
akan aku bawa sampai mati.” Laki-laki itu menagis sambil terus memeluk nissan
kekasihnya. Air matanya sama derasnya dengan air hujan sehingga sulit untuk
dibedakan mana air hujan dan mana air mata.
“KENAPA
HARUS DIA, TUHAN?!” Teriaknya menongak ke atas seolah ia menginginkan keadilan
Tuhan.
“KENAPA
BUKAN AKU SAJA?!! AKU YANG BERSALAH, SEHARUSNYA AKU YANG MATI!!!” Matanya lebam
seharian menagis di atas makan kekasihnya sambil terus memeluk nissannya.
Nissan yang bertulis, Dinda Amalia Bin Zainuddin lahir pada tanggal 28 mei 1994
di Lampung.
“Sudah,
jangan kamu menyiksa diri kamu seperti ini. Ini bukan murni kesalahan kamu.
Semua ini adalah kehendak Tuhan. Semua kejadian di dunia ini atas kehendak-Nya.
Tuhan yang sudah mengatur semuanya, termasuk mengambil nyawa seseorang.
Seharusnya kamu bisa menerima dan mengiklaskannya. Jika kamu seperti ini berati
kamu menentang kehendak Tuhan. Kasihan juga dia di sana, pasti dia akan sedih,
menangis melihatmu seperti ini.” Sosok wanita tiba-tiba datang membawa payung
yang menghalangi air hujan semakin membuat beku tubuh laki-laki yang tengah
memeluk nissan.
Laki-laki
itu menoleh. Mencari sumber yang dengan enteng mengucapkan kalimat demikian.
Bagaimana bisa dia berkata seperti itu sedangkan dia tak pernah merasakannya.
“Iklas?
Kamu bilang aku harus iklas? SETELAH AKU MEMBUNUH KEKASIHKU SENDIRI KAMU BILANG
AKU HARUS IKLAS?! TUHAN BERBUAT TIDAK ADIL TERHADAPKU! LEBIH BAIK KAMU PERGI
DAN JANGAN MENGURUSI MASALAHKU. PERGI!!” Bentak laki-laki itu sambil mendorong
sampai membuat wanita yang dengan iklas membawakan payung meneteskan air mata.
Sepertinya
hati sulit untuk berdamai. Laki-laki itu bahkan tidak perduli meskipun wanita
itu telah berkorban, rela datang ke makam meskipun hujan lebat menghalanginya.
Derasnya hujan bukan seberapa dibanding sakit hatinya mencintai seseorang namun
tak mendapat balasan. Namun, naluri hati tak tega melihat laki-laki yangg ia
cintai menyiksa diri. Wanita itu sangat mencintainya meski hati tak memilihnya.
Meskipun begitu, sang wanita berlapang dada, ia mau menerima karena ia tahu,
“cinta tak harus memiliki.”
“Tapi
aku berduli sama kamu. Aku tahu sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa
memiliki hatimu, namun aku sangat perduli terhadapmu. Aku tak bisa melihatmu
seperti ini. Semuanya telah terjadi, tak adalagi yang harus disesali.” Ucap
wanita itu dengan air mata yang juga ikut membasahi tanah makan yang baru saja
seminggu yang lalu digali.
“UNTUK
APA KAMU PERDULI PADA LAKI-LAKI YANG TIDAK BISA MENERIMA CINTA-MU? Aku tidak
baik buat kamu. Lebih baik kamu cari laki-laki yang bisa menerimamu. Aku bukan
yang terbaik.” Balas laki-laki itu menunduk tanpa expresi. Rambutnya terurai
penuh dengan air. Sang wanita menangis sendu disampingnya.
“Lisa,
seharusnya kamu berada dirumah. Untuk apa kamu disini? Air hujan akan membuat
tubuhmu lemah dan terjatuh sakit. Biarkan aku berada disini bersama dengan
makam kekasihku. Aku bukan laki-laki yang pantas untuk kau nantikan.” Ucap laki-laki itu. Lisa
adalah nama dari sosok wanita yang sedang berdiri tersendak menangisi batinnya.
“Dimas,
aku tahu memang sangat berat beban yang harus kamu tanggung. Aku juga tahu,
jika kamu memang seharusnya tak aku nantikan. Namun, apa bisadikata jika hati
ini sudah berkata. Raga ini hanya bisa menuruti apa kata hati wanita lemah yang
berada tepat disampingmu ini. Aku datang untukmu. Untuk berada disampingmu
kapanpun kamu perlukan. Aku perduli dengan kamu, sangat perduli.” Lisa memeluk
erat Dimas. Dimas adalah nama laki-laki yang menyesali perbuatannya. Akhirnya
Dimas bisa luluh dengan kalimat-kalimatnya Lisa. Dibalik derasnya hujan dan
pekatnya makan Lisa merelakan dimas untuk melabuhkan kepalanya. Dalam pelukan
Lisa Dimas terus saja menangis tersendu.
Dimas,
adalah laki-laki yang baru saja lulus SMA. Dimas berasal dari Lampung. Dimas
berasal dari sepasang orang tua yang kesibukannya melebihi kesibukan seorang
koruptor. Hampir setiap pagi ia tak bisa
melihat Mamah dan Papahnya karena pagi-pagi sekali kedua orang tuanya itu sudah
berangkat ke kantor. Dimas tergolong anak orang kaya, sehingga ia bisa membeli
apa saja termasuk mobil mewah atau motor gede.
Laki-laki
dengan gestur tubuh yang tidak terlalu tinggi itu paling suka mengendarai
motor. Yah, meskipun terkadang ia direpotkan dengan kondisi tubuh dan besarnya
motor yang ia pakai. Namun itu bukan masalah baginya, karena menurutnya hobi
tidak bisa dihalangi oleh apapun.
Sedangkan
wanita yang bernama Lisa adalah wanita yang sudah sejak kecil lamanya mencintai
Dimas namun tidak bisa memilikinya. Lisa rela sakit menahan rasa sakit
dihatinya namun ia tidak bisa jika melihat Dimas tersakiti hatinya. Lisa sangat
baik. Namun sayang, Agama Dimas dan Lisa berbeda. Dimas Islam dan Lisa Katolik.
Namun sesungguhnya Lisa tidak mempermasalahkan perbedaan itu. Namun apa bisa
dikata, hati Dimas sudah terlanjur dimiliki oleh laki-laki lain. Dan Dimas
menganggap Lisa hanya sebagai sahabat kecilnya yang lucu dan ada saat Dimas
sedih maupun Bahagia.
Namun
sayangnya kebersamaan mereka akan segera usai. Lisa, sahabat sekaligus Wanita
yang sangat mencintai Dimas akan segera pergi dari tanah kelahirannya yaitu
Tulang Bawang Lampung. Lisa akan melanjutkan study diluar Negeri yaitu Harvard
University yang terletak di kota Cambridge, Boston, Amerika Serikat. Lisa
dikirim kesana karena kecerdasannya sehingga membuatnya mendapatkan beasiswa
untuk melanjutkan kuliah di Kota bersejarah Amerika itu.
Sedangkan
Dimas tak tahu, apakah dia akan melanjutkan kuliah atau akan terus menyiksa
dirinya dengan segala penyesalan yang terus menyelimuti hidupnya karena
seminggu yang lalu ia baru saja mengalami kecelakaan sampai harus merenggut
nyawa kekasih yang sangat ia cintai. Namanya Dinda Amalia, gadis yang sudah 3
tahun ia pacari sejak SMA. Seminggu yang lalu perayaan kelulusan dirayakan oleh
seluruh murid SMA di Tulang Bawang. Iring-iringan motor memenuhi jalan poros
Tulang Bawang dan diantaranya adalah Dimas dengan motor gedenya. Di jok
belakang duduk dengan anggun sosok wanita dengan tinggi ideal, kulit putih
mengenakan jilbab warna cokelat. Ya, dia adalah Dinda.
Awalnya
iring-iringan berjalan dengan tertib dan lancar. Namun, beberapa jam kemudian
menjadi ricuh setelah anggota dari SMA lain menggeber motornya lalu melajukan
motornya dengan kencang sampai hampir saja membuat Dimas terjatuh. Jangan sebut
Dimas jika dia tidak emosi. Dimas memang laki-laki yang tergolong tempramental.
Wajar saja, dia adalah anak pengusaha tambang batu bara di Lampung.
Tak
mau direndahkan oleh SMA lain Dimas lalu memutar gas motornya dengan kecepatan
tinggi. Ia bermaksut untuk mengejar lima orang dengan jenis motor yang sama
yang hampir saja membuatnya terjatuh itu. Motor melaju dengan cepat. Beberapa
mobil besar, pribadi dan beberapa motor dia salip dengan berlagak pembalap yang
sedang berada dalam arena. Dinda sempat menegurnya untuk mengendurkan gasnya
karena Dinda takut jika Dimas kebut-kebutan di jalan. Terbiasa dengan balapan
liar membuat Dimas tidak bisa mendengarkan kata-kata Dinda. Meskipun Dinda
telah bersusah payah mengingatkan Dimas, namun tetap saja Dimas tak mau dengar.
Justru Dimas malah melaju dengan kecepatan tinggi. Meresa dikejar, rombongan
yang berada didepannya itu tak mau kalah, mereka juga semakin melajukan
motornya dengan kecepatan tinggi. Dimas beserta kelima sahabatnya itu
mengejarnya di belakang.
Semakin
lama Dimas semakin emosi dan semakin ngawur mengendarainya. Tak perduli mau
mobil besar atau kecil, mau sempit atau longgar, selagi masih cukup dengan
motornya maka ia akan terus memaksakan untuk membalap. Akhirnya balapan terjadi
di sana. Lisa yang juga ikut iring-iringan namun tak ikut dalam salah satu yang
sedang balapan melihat Dimas mulai ngawur mengendarainya. Ia cemas dengan
keselamatan Dimas. Namun, bukan Dimas jika ia berhenti sebelum apa yang ia mau
belum didapatkan.
Dinda
masih mencoba menegur dengan menepuk-nepuk pundak Dimas, namun Dimas
menghiraukannya. Dan akhirnya pada tikungan di depan sana dari arah berlawanan
sebuah truck bermuatan pasir melaju dengan cepat menyerempet motor Dimas yang
memang mengambil jalur yang salah. Akibatnya Dinda terpental sejauh 20 meter
dan tubuhnya terbanting di aspal. Tidak berhenti disitu, tubuh Dinda langsung
disambut dengan mobil pribadi jenis kijang inova yang juga berada sejalur
dengan truck tersebut. Sedangkan motor Ninja Kawasaki warna hijau tersungkur
dalam sebuah jurang bersama dengan tubuh Dimas.
Tak
lama kemudian ambulan datang membawa tubuh Dimas dan Dinda. Mereka berada dalam
ambulan yang berbeda. Sedangkan polisi yang mengurusi motor dan truck serta
kijang inova yang menabrak mereka. Para teman yang tak lama kemudian datang
langsung berbondong-bondong datang ke rumah sakit untuk memastikan keadaan
Dimas dan Dinda.
Sayang,
sungguh malang nasib Dinda. Ia dikabarkan tewas ditempat sedangkan Dimas masih
tak sadar dalam rungan icu. Benturan pada bagian kepala sampai menyembkan
pembulu darahnya pecah tak mampu menyelamatkan Dinda dari kematian. Semua
sahabat serta teman-teman di SMA-nya menangis tak lebih guru-gurnya. Karena,
Dinda juga termasuk dalam siswi yang berprestasi yang juga mendapatkan beasiswa
untuk kuliah di luar Negeri. Namun sayang, ajal keburu menjemputnya.
Jasadnya
dimakamkan tanpa sepengetahuan Dimas, karena dia masih terbaring tak sadar di
rumah sakit. Kemudian dua hari kemudian barulah Dimas mendapat kabar jika Dinda
meninggal dunia dan telah dimakamkan. Tak menunggu diperbolehkan untuk pulang
Dimas langsung lari keluar pergi ke persemayaman terakhir kekasihnya itu.
Disanalah ia meluapkan semua penyesalannya sampai satu hari satu malam ia tak
pulang. Ia terus saja memeluk nissan Dinda sambil terus meminta maaf dan
menangis. Rasa bersalahnya sangat besar, apalagi dia harus merenggut nyawa
wanita yang akan menuntut cita-citanya. Dia tahu, kuliah diluar Negeri adalah
cita-cita Dinda, apalagi di Harvard University, Kampus bergengsi di Dunia.
Sebelum kecelakaan terjadi Dinda sempat meminta kepada Dimas, jika dia harus
kuliah diluar negeri dan mereka LDR-an maka Dinda berharap agar Dimas setia
menunggunya kembali. Namun apa boleh dikata jika Tuhan berkendak, niatan untuk
LDR-an sementara kini berubah menjadi selamanya.
Dan
penyesalan serta rasa bersalah itu yang membuat Dimas menyiksa diri sampai
berbulan-bulan. Setiap hari ia hanya bengong di depan makam kekasihnya itu.
Orang tuanya yang sibuk membuat Dimas seperti tak adalagi yang perduli. Hanya
Lisa yang setiap hari setia menemani bahkan sampai harus menyuapi Dimas untuk
makan. Badan yang tadinya putih bersih, gemuk, kini berubah menjadi kumal,
kurus dan rambutnyapun panjang tak terurus. Beruntung sekali Dimas masih
memiliki orang yang sangat perduli dengannya. Kedua orang tuanya justru sibuk
di luar kota dengan pekerjaannya masing-masing.
Komentar
Posting Komentar