BAB 1 Perbedaan

BAB 1
Perbedaan
Kokok ayam dipagi hari menggugah tidurku yang nyenyak. Kubuka mata perlahan, pandangan masih remang-remang. Kulipat sarung yang masih membungkus badanku dan kukucek mata untuk membuatnya terbuka lebar. Beranjak ku dari tempat tidur yang berukuran kecil yang hanya beralaskan tikar yang hampir saja habis termakan rayap. Kubuka jendela yang terbuat dari anyaman bambu yang biasa disebut dengan “Gedek.” Sejauh mata memandang kulihat embun masih menutupi jalanan dan hamparan tumbuhan lain. Hawa dingin masih sangat aku rasakan menusuk pori-pori. Ilalang dengan sepercik embut di atasnya  itu seolah menari indah menyambutku. Selamat pagi hari baru. Kusambut pagi  yang berbeda dengan pagi-pagi yang sebelumnya. Karena, mulai pagi ini aku bukan lagi pelajar SMA dan bukan juga Mahasiswa.
Kemarin, baru saja pengumuman kelulusan SMA di umumkan dan alhamdulilah aku lulus meskipun dengan nilai yang tidak sempurna. Burung kutilang berkicau ria diatas sebuah pohon randu, suara-suara ayam yang tengah mencari makan dikebun menambah suasana pagi semakin ceria. Belum lagi suara kambing yang dengan cerewetnya seolah memberi kode bahwa waktu sarapan pagi telah tiba. Aku berdiri didepan jendela menatap jauh kedepan. Betapa malangnya si miskin ini. Hidup dengan penuh kekurangan. Untuk sekedar membuka mata lebar saja malu. Malu dengan mereka yang bisa dengan mudah melanjutkan Kuliah ke Perguruan Tinggi yang mereka  inginkan.
Aku renungkan sejenak Mimpi yang sempat tertunda akibat ketidak adilan alam. Masalah klasik yaitu masalah Ekonomi membelenggu batin si miskin ini. Andai aku terlahir dari rahim ibu yang memiliki banyak uang, pasti aku tak perlu menyiksa batin ini. Namun, aku tak akan putus semangat. Akan ku kejar mimpi itu hingga menembus batas khayalan untuk melawan kenyataan.
Setelah lulus SMA, demi mewujudkan Mimpi, aku bekerja. Kerjaan apa saja tak perduli yang penting menghasilkan uang. Namun tetap Halal. Aku tidak mungkin mengandalkan kedua orang tua yang pendapatannya tidak menentu, ditambah lagi dengan umur mereka yang sudah usia lanjut. Sangat tidak tega aku berdiam diri melihat mereka berjuang sendiri. Sebagai anak laki-laki, aku harus bisa berdiri sendiri. Karena kuanggap sudah cukup aku merepotkan kedua orang tua. Kini saatnya aku berusaha sendiri dan berbalik membahagiakan kedua orang tua. Kini, Mimpi ada pada diriku sendiri. Aku harus mewujudkannya!
Beda orang beda nasib. Beda lagi dengan sahabat-sabat satu kelas di SMA yang orang tuanya tergolong mampu. Mereka langsung melanjutkan kuliah di universitas-universitas yang mereka inginkan. Dengan mudahnya mereka masuk di perguruan tinggi. Namun, aku juga tidak bisa menyalahkan orang tua dan ke-adaan ini. Aku juga tidak menyalahkan dengan kualitas otak sehingga sulit untuk mendapatkan beasiswa. Semua manusia memiliki kelibihannya masing-masing. Meskipun aku tidak terlalu cerdas, namun Allah memberiku kelebihan dengan menjadi laki-laki yang pekerja keras. Pantang menyerah! Itu sudah cukup  modal untuk menggapai segudang mimpiku. Ini semua merupakan jalan yang Tuhan berikan kepadaku. Dibalik semua ini pasti terselip sepercik penantian indah.
Yang jadi pertanyaan. Apakah mereka yang langsung melanjutkan kuliah dengan fasilitas lengkap bisa lancar kuliahnya? Coba kalian pikirkan dan carilah jawabannya.
‘Pak, aku sudah lulus SMA. Nah, kebetulan di sekolah ada program SMP TN. Aku akan mencoba mendaftar lewat jalur itu agar dapat beasiswa. Jika aku lolos, aku bisa kuliah gratis.ucapku dihadapan Bapak yang tengah bersantai meluruskan pinggang karena seharian bekerja di ladang.
Nak, Bapakmu ini hanya bisa mendoakan saja. Semoga kamu lolos SMPTN dan kamu bisa kuliah seperti apa yang kamu impikan selama ini. Bapak mohon maaf gak bisa menguliahkan kamu seperti apa yang telah menjadi mimpimu sejak dulu. Bukan karena Bapak gak mau, tapi karena keadaan kita yang membuat Bapak gak bisa membiayai kuliah kamu. Ketahuilah anakku, Allah pasti membantu umatnya yang mau bekerja keras. Insyaallah, dengan kerja keras dan doa kamu bisa mewujudkan impianmu meskipun keadaan kita seperti ini.’ Bapak memegang pundakku memberikan pencerahan untukku agar lebih semangat dan tidak mudah menyerah dalam menjalani kehidupan. Tak ada yang mustahil di dunia ini, kata Bapak.
‘Aminn. Semoga saja ya, Pak?’ Ku-usapkan kedua telapak tangan ke muka,aku juga tidak memaksa Bapak untuk menguliahkan aku, kok Pak. Nanti biar aku yang cari biayanya. Bapak cukup membantuku dengan Doa saja,’ Lanjutku ringan. Tersenyum kecil.
Kemudian aku meninggalkan ruang tamu. Merasa suntuk aku pergi keluar untuk mencari udara segar. Aku pergi ke-rumah sahabat yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Sebut saja namanya Arif. Arif adalah sahabatkku di SMA. Banyak persamaan diantara kami. Kami sama-sama suka bercanda, sama-sama hoby olahraga, sama-sama suka makan, sama-sama hoby baca novel dan yang pasti kami sama-sama laki-laki. Namun, ada satu perbedaan diantara kami. Aku tak mengerti kenapa perbedaan ini yang membuat aku berdosa karena ngerasa iri terhadap sahabat sendiri. Aku menganggap ini tak adil. Perbedaan itu ada pada rahim yang telah melahirkannya. Sangat beruntung, Arif terlahir dari Rahim Ibu yang berada.  Tak seperti aku, Rahim yang kumuh seperti hidupku saat ini. Gelar anak kepala sekolah membuatnya lebih disegani dan disenangi daripada aku yang bergelar anak Gorengan. Jelas saja gelar itu aku dapatkan, ya karena memang Ibuku hanya penjual gorengan.
Arif bisa dengan mudah melanjutkan kuliah dimana pun yang ia mau. Fasilitas lengkap telah menantinya dimana pun ia akan  Kuliah. Dengan mudahnya kedua orang tua Arif memberikan pilihan untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sayangnya Aku tidak seberuntung Arif. Tak ada satu nama  perguruan tinggi yang Bapak atau Ibu berikan sebagai pilihan. Jangankan pilihan Universitas, menyinggung tentang kuliah saja tidak. Aku paham dengan mereka. Bukan mereka cuek atau tak perduli dengan masadepan puteranya, namun mereka takut. Takut jika mereka tak bisa membiayai kuliahku dan aku harus putus ditengah jalan. Mereka juga tak ada cukup uang untuk kuliahku. Sekedar membeli beras saja masih ngutang di warung. Satu-satunya harapan hanya pada seleksi SMPTN. Itu saja jika lolos. Berkaca dari diriku sendiri, tak menutup kemungkinan aku pasti tidak lolos SMPTN.
‘Gimana?’ Dalam langkah Arif bertanya, ‘Kamu jadi kuliah di Yogya, gak?’ Arif duduk dibarengi dengan kaki yang ia lipat dibawah bokongnya di sofa.
‘Egak. Sekarang aku hanya pasrah dengan hasil SMPTN. Jika aku lolos, Aku bisa kuliah. Namun, jika aku tak lolos, terpaksa aku harus berhenti dulu buat kerja cari biaya sendiri,’ Jawabku melas. Aku menundukan kepala, sempat ingin meneteskan air mata jika mengingat itu, namun aku mencoba untuk tegar. Cukup melo sebagai laki-laki jika aku menangis dihadapan Arif.
‘Lho, memang kenapa? Kok kamu gak jadi kuliah? Kuliah itu penting banget lho,’ Serunya sedikit heran. Matanya terbuka lebar, alisnya terangkat sampai kesudut paling pojok. Nadanya cemas.
‘Iya, kuliah memang penting, Tapi kalo gak punya biaya gimana? Tak mungkin kan aku memaksa orang tuaku untuk menguliahkanku? Uang darimana coba?! Kan sekarang biaya kuliah mahal!Jawabku sengal. Sedikit kesal dengan sistem pendidikan di Tanah Air ini.
‘Ohh, kalo itu alasannya, saya bisa ngerti.’ Arif mengendurkan nada. Ia tahu Aku mulai kesal dengan obrolan ini. Tak mau obrolan semakin kacau serta emosi semakin meninggi akhirnya Arif memeilih untuk lebih pelan dan tidak menekan.
‘Emang kamu yakin bakalan keterima di ujian SMPTN?’ Begitulah pertanyaan Arif yang sangat tidak enak terdengar ditelingaku yang masih normal. Pertanyaan itu seolah-olah menghinaku. Bukan itu saja, dengan timbulnya pertanyaan itu, aku jadi tahu, bahwa maksud Arif adalah mengejek, karena dia tahu banget bagaimana nilai laporku dan bagaimana kualitas otakku. Jika Arif bermaksut untuk memberiku semangat, itu salah besar. Tapi, jika dia bermaksut mengejekku, itu adalah pertanyaan yang tepat. Terimakasih sahabat!
Pertanyaan itu sangat membuat aku tersudut. Mau tidak mau aku harus menjawab karena dia bertanya. Untuk membuat hati Arif puas dengan santai aku berkata, ‘ya-egak-yakin, sih. Soalnya, nilai aku buruk semua.
Dan karena jawaban itu, wajah Arif yang tadinya putih penuh dengan jerawat, kini berubah jadi merah seperti badut pantai yang sedang berjemur karena menahan tawa atas jawaban yang aku berikan. Jawaban yang tak seharusnya terlontar dari mulutku.
Tak lama kami berbincang-bincang, keluar wanita cantik gemulai dengan mata sedikit merah, rambut panjang ical dan satu yang menjadi ciri khasnya yaitu Sutil. Ya, beliau tidak lain Ibu dari sahabatku ini. Namanya Ibu Sumi. Jelas sekali beliau baru saja dari dapur karena membawa Sutil ditangannya. Berati, beliau habis masak. Pikirku tersenyum kecil. Beliau berdiri di samping pintu dengan wajah ceria. Ah, dugaanku tepat sekali, dengan suara lembutnya beliau meminta kami untuk segera makan karena sudah dibuatkan mie instan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku sudah hafal sekali dengan hal ini. Setiap aku berkunjung ke rumahnya pasti dibuatkan makan. Jika bukan nasi goreng, mie instan, ayam goreng, maka pasti aku akan dibuatkan brownis. Ibu yang memiliki rambut ical dan mata sipit itu masih berdiri dipintu sambil meminta kami untuk segera makan. Awalnya aku malu-malu tapi sangat mau. Pura-pura menolak tapi berharap dipaksa menerima. Tetap duduk namun berharap makan diantarkan. Yah, itu sudah menjadi jurus andalan tamu sepertiku.
Tanpa lama-lama kami langsung makan.
Mie instan kuah yang berkolaborasi dengan telor membuat aku tidak sabar untuk melahapnya. Aku segera ngambil piring dan aku tuangkan mie kedalam piring itu. Agar lebih kenyang, aku beri juga sedikit nasi. Sedapnya aroma telor serta bumbu mie membuat aku tak sabar untuk segera melahapnya. Perutku pun sudah mulai berdansa-dansa menunggu datangnya mie instan telor. Dengan semangat penuh keyakinan daya juang yang tinggi aku langsung memasukan satu sendok mie ke dalam mulutku. Namun na’as, yang terjadi bukannya masuk ke dalam perut, justru mie-nya keluar lagi. Aku muntahkan karena masih cukup panas untuk menyentuh didinding mulut yang hanya terbuat dari daging. Aku terlihat seperti orang kelaparan jika seperti ini.
Kami makan dengan lahapnya. Kulupakan sejenak pikiran untuk kuliah. Kami makan sambil ngobrol sampai  mie menumpuk dimulut. Jijik sih, tapi cukup seru. Ternyata, mie instan membuat aku amnesia sementara tentang kuliah. Fikiranku saat itu hanya tertuju pada nikmatnya mie instan yang masih anget-anget panas namun sangat memuaskan. Kalau kata anak jaman sekarang Cetar Membahana. ‘Gimana rasanya, enak gak?’ Tanya Bu Sumi sambil membereskan dapur. Aku tahu Ibu hanya ingin bercanda menanyakan hal seperti itu. Karena Ibu tahu, jelas-jelas mie yang dibuatkan habis tanpa sisa. Jika sudah seperti itu, tidak mungkin aku jawab ‘mie-nya gak enak, Bu, tapi sudah habis,’ bisa dilempar wajan aku.
Setelah selesai makan dan perut sudah terasa sangat kenyang, tak lengkap rasanya kalau tak diimbangi dengan maen game. PS (playstation) itulah Game yang sangat buming di kampungku. Yah, PS 2 mah cukup untuk membuat kantong tipis. Sekelas anak kampung PS 2 udah sama dengan PS 3. Akhirnya kami berdua beragkat ke tempat rentalan PS yang tidak jauh dari rumah.
Sesampainya disana, aku melihat banyak anak kecil yang masih duduk dibangku SD (sekolah dasar) sudah pada maen game. Malah mereka sudah mahir-mahir memainkan berbagai jenis game. Aku saja sampai kalah. Pengetahuanku tentang PS hanya sebatas Motor GP dan Sepak Bola. Selain itu, sory, buta!
Setelah melihat dengan lincahnya anak-anak kecil bermain jenis game akhirnya timbul pertanyaan dari otak pas-pasan ini. Apakah game yang merusak generasi bangsa?
Saat itu, permainan yang paling banyak digemari anak-anak adalah Mortal Kombat. Jenis game yang lebih menekankan kepada kekerasan atau berantem ini paling banyak dimainkan oleh anak-anak waktu itu. Selain mortal kombat, ada juga game yang hampir sama dengan mortal kombat, yaitu Tekken. Game ini sama dengan mortal kombat, yaitu kekerasan. Yang membedakan hanya jika mortal kombat lebih banyak dan tekken cuma berdua atau betle.
Sungguh miris sekali. Anak-anak yang usianya masih sangat belia namun sudah memainkan game-game yang berbau kekerasan. Dengan mereka memainkan game jenis tersebut secara otomatis akan berdampak pada psikis mereka. Karena usia yang masih sangat muda akan dengan mudah terpengaruh dengan apa yang mereka lihat dan yang mereka sukai. Tidak menutup kemungkinan, jika terus seperti ini, jika mereka sudah tumbuh besar mereka akan menjadi individu atau kelompok yang brutal atau suka dengan kekerasan. Atau malah mereka bercita-cita untuk menjadi Begal. Iya kan?
Larut dalam serunya permainan Motor GP sekelas permainan cemen membuatku tak sadar jika waktu sudah sangat malam. Sungguh senang hati Arif melihat sahabat sejawatnya tersenyum kembali. Memang, sangat sedih jika apa yang kita impikan tidak dapat terwujud. Wajarkan aku bersedih? Memang cowok gak boleh melo? Cowok gak boleh galau? Sama, aku ini hanya manusia biasa.
Satu-satunya harapan hanya dari hasil SMPTN, itu juga kalau diterima. Melihat tingkat kecerdasanku nampaknya sulit untuk bisa di terima. Setidaknya aku pernah mencoba.
Ke-esokan paginya, aku berangkat ke-sekolah untuk melihat apakah ada pengumuman atau belum mengenai kapan di-umumkan-nya kelulusan SMA. Sesampainya disekolah ternyata sahabat-sahabat sekelasku sudah pada berkumpul sambil bercanda gurau. Duduk di atas motor yang sedang di parkir, mereka semua asyik ngobrol sambil ketawa-ketawa. Ada yang duduk dibawah, ada juga yang duduk di atas motor yang di standar dua. Ada juga yang duduk sila sambil menopangkan dagu di atas kedua tangannya, ada juga yang hanya menunduk diam merasa malu dengan obrolan ini. Ya, dia adalah Aku. Aku yang bodoh, Aku yang miskin, dan Aku yang tak bisa Kuliah.
Tuhan, dosakah aku? Kenapa denganku Tuhan? Maafkan hambamu yang hina ini. Dalam hati aku merintih.
Aku merasa sangat berdosa jika mengingat itu. Perasaan  Iri terhadap sahabat-sahabat  yang bisa melanjutkan kuliah membuat aku hina dimata Allah. Tak seharusnya aku merasa begitu. Namun, sangat sulit untukku menerima kenyataan pahit ini. Tak mampu aku melihat sahabat-sahabatku menari-nari diatas kesedihanku. Pikiranku masih sangat kalud saat itu, sampai-sampai tak bisa kukontrol. Maafkan hamba Ya-Allah.
Dengan lincahnya para sahabatku membicarakan soal kuliah, tanpa dia sadari dibawah sini ada laki-laki yang sedang tersiksa batinnya karena obrolan ini. Sesekali aku menundukkan kepala untuk mengusap air mata kecil yang berlinang di pelopak mata karena batinnya tersiksa mendengar teman-teman ngobrol soal kuliah dimana? Kampus apa? Mau ngambil jurusan apa? Dan terus begitu sampai si remaja malang ini meninggalkan panggung obrolan yang sangat menguras batin.
Sesungguhnya aku ingin sekali nimbrung ngobrol dengan teman-teman. Namun, karena aku tidak bisa melanjutkan kuliah, aku merasa minder untuk gabung ngobrol dan aku lebih memilih menyendiri di pojok kelas.
Aku merenung sendirian di pojok kelas. Aku sangat berharap agar bisa lolos SMPTN agar aku bisa melanjutkan kuliah dan menggapai cita-cita-ku. Aku ingin menjadi Menteri Ekonomi kelak waktunya tiba. Aku beranggapan bahwa Indonesia salah, Indonesia tidak adil, karena pembangunan ekonomi masyarakat Indonesia tidak merata. Tidak semua masyarakat Indonesia merasakan apa yang sudah menjadi hak mereka. Oleh karenanya, aku ingin menjadi menteri perekonomian agar aku bisa memeratakan pembangunan infrastruktur sampai pelosok Negeri dan pembangunan ekonomi yang merata. Sehingga masyarakat terpencil dan miskin sepertiku kelak tidak ada lagi. Tak ada lagi manusia hina sepertiku di tanah air Indonesia ini. Harapanku semua masyarakat bisa merasakan pendidikan seperti semestinya.
Disaat aku sedang merenung sendiri di pojok kelas sambil sesekali mengusapkan air mata yang mengalir melewati sela hidung, melewati bibir sexy, dan akhirnya tibalah pada labuhan terakhir yaitu tanah. Salah satu teman perempuan datang menghampiriku. Gadis berparas cantik dengan rambut yang terurai indah seperti sutra itu berdiri tepat dihadapanku dengan menebarkan senyuman indah. Sangat indah!
Aku tidak percaya, jika gadis secantik dia berdiri dihadapanku dengan senyuman indah. Gadis itu adalah Suci. Lengkapnya Suci Aryanti. Teman satu kelas yang paling pintar dan paling cantik tentunya. Suci adalah perempuan yang cerdas, kaya, baik, perhatian, dan yang pasti cantik. Semua laki-laki ingin menjadi kekasihnya. Semua berlomba-lomba untuk mencuri perhatian Suci, tidak jarang ia menolak cowok-cowok yang nembak dia. Cewek perparas cantik, badan tinggi, rambut lurus serta kulit yang putih telah menghipnotis semua laki-laki yang ada di SMA. Tidak terkecuali Aku. Namun bedanya aku munafik, aku egois dan lebih tepatnya Aku sadar diri.
‘Ternyata kamu disini. Aku cari-cari sampai ke toilet juga.’ Begitulah kalimat yang keluar dari mulut Suci dengan tujuan menghiburku. Aku hanya tersenyum. Lalu ia duduk di-sebelahku dengan anggunnya. Dia mencoba menghiburku dengan berbagai macam cara termasuk mencoba untuk menggombaliku. Saat aku tanya kenapa nyari’in aku?’ Lalu gadis cantik itu menjawab dengan suara indah, ‘ya gak  papa. Aku kangen aja sama kamu. Gak ada kamu aku kesepian. Gak ada yang bisa aku jailin.’ Dan itu adalah kalimat yang sangat membuat aku lebih bahagia. Aku tidak percaya jika gadis secantik Suci bisa kangen dengan pria miskin sepertiku. Yah, meskipun hanya untuk menghibur saja. Setidaknya aku sangat bahagia.
Ternyata Suci bukan hanya cantik dan pintar. Ternyata dia juga teliti. Dia tahu jika aku baru saja menangis hanya dengan melihat bola mataku. ‘Mata kamu kok merah? Hayoo, lagi galau- yaa? Putus cinta yaaaa....? Atau ditolak, yaaa..?’ Suci masih berusaha menghibur.
Kami ngobrol berdua sambil becanda-bercanda. Suci tahu kalau aku pasti sedih jika membicarakan soal kuliah, maka dari itu ia tak mau mengeluarkan sepatah kata pun yang menyangkut kuliah. Aku juga suka dengan Suci, karena Suci satu-satu sahabat perempuan yang tak pernah meyinggung soal kuliah saat ngobrol denganku.
Sepulang sekolah, aku selalu membantu kedua orang tuaku khususnya Bapak untuk membantu mencari rumput di rawa untuk makan kambing. Aku kasihan jika melihat Bapak yang sudah sepuh (tua) serta tubuh yang mulai rapuh harus bekerja keras sendirian.
Aku mempunyai dua ekor kambing yang dibeli Bapak dari hasil panen padi di sawah beberapa bulan yang lalu. Itu merupakan harta yang paling berharga bagi kami. Tidak ada barang berharga lagi di rumah selain kambing dan satu Sepedah Ontel Tua milik Bapak yang biasanya aku gunakan untuk sekolah.
Selain itu, aku juga masih mempunyai satu adik perempuan. Namanya Rina. Sebentar lagi ia akan lulus SMP dan akan melanjutkan ke-SMA. Oleh karena itu, sebagai anak laki-laki Aku harus bisa berdiri sendiri, tidak hanya mengandalkan orang tua.
Sore itu. Di belakang aku melihat Bapak yang sedang duduk sambil mengasah sabit. Pada jam segini (menjelang sore) biasa Bapak mengasah sabit lalu berangkat cari rumput untuk makan kambing. Namun, hari ini aku yang menggantikan Bapak untuk mencari rumput. Karena selain aku sudah tidak sibuk dengan sekolah, kesehatan Bapak juga sedang tidak baik.
Aku menggantikan Bapak mengasah sabit. Aku duduk sambil menggesekkan asahan pada bagian sabit agar lebih tajam. Dengan penuh hati-hati aku mengasah sabit, karena jika salah sedikit bisa mengenai tangan. Resikonnya, ya, keluar darah.
Setelah selesai mengasah sabit aku langsung berangkat cari rumput. Namun, sebelum berangkat aku mengambil tali yang akan digunakan untuk mengikat rumput di kandang kambing. Saat aku hendak berangkat. Tiba-tiba Rina datang dari sekolah sambil teriak-teriak.
Pak-pak, Bapak.’ Teriaknya sambil melepas sepatu. Keringat akibat sengatan terik matahari menghiasi wajahnya yang masih polos.
‘Husstt.... Siang-siang kok teriak-teriak. Memang ada apa?’ Tanya Ibu dengan suara sedikit di tekan mencoba untuk tidak membuat gadu.
‘Gini lho, Bu.’ Rina menarik napas, ‘di sekolah mau mengadakan acara perpisahan dan semua murid diwajibkan untuk membayar uang perpisahan.’ Rina menjelaskan. Nafasnya tersendak karena saking semangatnya ia pulang sekolah lari agar cepat sampai di rumah.
‘Memang disuruh bayar berapa?’ dengan lembut Ibu bertanya.
‘Disuruh bayar seratus tujuh puluh lima ribu (175000).’
‘Kok banyak banget?’ Ibu sedikit ragu. Mukanya sedikit ditekuk namun tetap menunjukan sikap ke Ibuannya.
‘Iya, soalnya buat ke pantai. Semuanya juga ikut, Bu. Kalau gak bayar gak boleh ikut,kata Rina dengan muka melas. Kemudian melanjutkan, ‘aku ikut ya Bu? Kan aku belum pernah ke pantai, aku pengen banget ke-pantai sama temen-temen. Boleh ya, Bu?’ Rina kembali memohon sambil mengeluarkan air mata. Ibu pun sesekali menelan ludah dengan muka sedikit sedih Ibu menyanggupinya. Ibu tak kuasa melihat air mata putrinya keluar hanya karena ingin ke pantai. Perpisahan anakku adalah hari bersejarah baginya, aku harus membuat hari itu lebih bersejarah. Tutur Ibu dalam hati.
Dalam renungan Ibu memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Naluri seorang Ibu yang sangat tidak bisa melihat anaknya menderita membuat Ibu harus bersusah payah untuk mendapatkan uang. Beliau berharap ada orang yang bisa minjami uang. Meskipun belum tahu darimana akan mendapatkan uang, Ibu mengiyakan keinginannya Rina. Ibu tidak mungkin membuat anaknya sedih hanya karena tidak ikut perpisahan.
Wajah sumeringah ditunjukan Rina kepada Ibu. Rina sangat gembira mendengar Ibu mengiayakan keinginnya untuk ikut liburan ke pantai. Dalam hati yang bahagia Rina merasakan perutnya keroncongan karena hampir seharian belum makan. Jelas saja, mau jajan di kantin dia tak punya uang karena memang dia tidak pernah membawa uang jajan. Lebih baik ditabung untuk bayar sekolah daripada digunakan untuk jajan.
Perut memanggil nasi yang telah tersedia di meja makan yang hanya berukuran kecil dengan kaki penyanggah reyot. Bak seorang kakek-kakek berusia 120 tahun. Dengan lahapnya Rina menyantap nasi yang hanya dibalut dengan sambal bawang ditemani dengan kerupuk segi empat. Melihat Rina yang sangat lahap, Ibu hanya bisa meneteskan air mata. Ibu merasa bersalah karena tidak bisa membahagiakan kedua anaknya. Dalam hati Ibu ingin sekali memberikan yang terbaik buat anaknya, apa yang anaknya inginkan pasti akan langsung ia turuti. Naluri seorang Ibu. Namun, karena faktor ekonomi akhirnya ia hanya bisa sedih melihat anak-anaknya tidak bisa se-bahagia anak-anak yang lain. Ibu termenung sendu disudut ruangan.
Diam-diam Aku menguping pembicaraan antara Rina dan Ibu dari luar. Aku menangis. Tak sanggupku melihat kedua orang tua sedih. Dan sejak saat itu, aku memutuskan untuk tidak lagi memaksa agar bisa kuliah sebelum aku punya uang hasil keringatku sendiri. Tak ‘kan kuperparah keadaan keluarga kecil ini dengan impianku yang jauh dari kata nyata.
Tak kuasa terlalu larut menahan sedih, aku langsung berangkat mencari rumput. Sambil mencari rumput aku terus saja memikirkan kedua orang tuaku dan Rina. Aku ingin bekerja dan punya penghasilan sendiri agar bisa membantu beban orang tua. Dalam renungan ditengah hamparan rumput hijau.
Disebuah ladang yang banyak ditumbuhi rumput yang sangat hijau. Aku senderkan sepedah ontel pada sebuah pohon karet, lalu aku mulai memotong rumput. Rumput yang hijau adalah makanan kesukaan kambing. Ikat demi ikat aku kumpulkan rumput yang aku pangkas dengan sabit. Dalam renungan sambil membabat rumput yang tak berdaya dihantam tajamnya sabit yang baru saja aku asah, aku selalu teringat dengan beban kedua orangtuaku. Terlalu memikirkan beban di rumah  membuat aku melamun dan akhirnya jariku menjadi korban dari kelelalaianku. Oh, ternyata senjata makan tuan. Sabit yang kuasah dengan sangat tajamnya menggoreskan luka dijariku. Seperti goresan luka yang ada dihatiku karena tidak bisa Kuliah.
Darah merah setengah hitam keluar dari jariku. Aku meringis-meringis kesakitan. Darah terus saja mengalir dari jariku, sedangkan rumput belum banyak yang aku kumpulkan. Waktu sudah mulai sore, langit hitam mendung terlihat mengepul di atas sana, angin yang sangat kencang membuat suasana semakin menegangkan. Suara-suara burung hantu mulai menyambut datangnya malam. Beberapa kelelawar mulai keluar untuk mencari makan. Suara gonggongan anjing memperseram suasana. Nyamuk bernyanyi indah ditelinga, serta rumput yang mulai layu ditingggalkan sepercik embun yang menyegarkannya.
Aku duduk ditumpukan rumput. Kubuka  baju untuk membalut luka akibat goresan sabit. Ikatan yang erat membuat darah tidak mengalir lagi, lalu aku kembali melanjutkan mencari rumput. Waktu semakin sore dan kambing di rumah sudah mulai kelaparan sehingga mereka teriak-teriak mengganggu tetangga sebelah. Badan sudah mulai bentol-bentol karena secara tidak sengaja dengan aku melepas baju sama saja aku memberikan darahku secara gratis pada nyamuk-nyamuk diladang yang kelaparan. Sungguh manis darahku, sampai para nyamuk tak mau segera beranjak dari punggungku.
Setelah rumput sudah di dapat dan cukup aku langsung membawanya menggunakan sepedah yang biasa dipake Bapak untuk berkebun. Di jalan aku mulai lemas, muka pucat, mata berkunang-kunang, kepala pusing, perut terasa lapar, serta tenggorokan yang kering karena haus. Sepeda ontel tua melantunkan nada indah, kreak.. kreookk... ngikk.. setiap ku ayuh pedal. Namun, sepertinya itu bukan inginnya, namun karena sudah terlalu Tua sehingga tak sanggup lagi untuk membawa rumput dengan berat yang berat ditambah lagi dengan berat badanku. Jelas saja ia bernyanyi. Sebenarnya jika bisa bicara, sepeda ontel ini tidak bernyanyi, tapi ia mengeluh. Sudah Tua masih dipaksa bekerja. “Kerja Rodi namanya.”
Setibanya di rumah, aku disambut gembira dengan kedua kambingku yang tengah kelaparan. Sepertinya aku datang tepat pada waktunya. Begitu rumput aku berikan, langsung si kambing embat (makan) dengan lahap. Kedua kambingku sangat kelaparan. Apalagi, yang satu tengah hamil tua, jadi sangat membutuhkan asupan makanan yang cukup. Namun, aku lebih kelaparan dari kamu mbiiiing.....#kelaparan
Aku duduk di samping kambing-kambing sambil membersihkan darah yang menempel di jari-jari tangan. Darah hitam kecoklatan mengental pada lukaku. Secara tak sadar aku curhat dengan kambing yang tengah menyantap rumput dengan lahap.
Mbing. Kamu mah enak, makan tinggal makan. Kalo lapar tinggal, embeekk........ Gak perlu sekolah, kuliah, kerja, apalagi punya uang. Kamu enak banget, sih? Makan aja harus dicariin. Ni, sampai jari aku kena sabit. Manja banget kamu, mah.’ Curhatanku sambil terus membersihkan darah. Sangat menyedihkan sekali ketika kita curhat namun tak dihiraukan. Si kambing hanya menjawab curhatanku dengan suara khas.
Eeeemmbbeeekkk........
Kamu seneng ngeliat jari aku kena sabit, ha?! Ini demi kamu ini. Aku sampai kena sabit demi nyari makan buat kamu.’ Seruku, sesekali melihat ke-arah kambing. Lagi-lagi, si kambing hanya melirik kearahku dan menjawab,
Eemmbeeekkkk.......
Ahh, kamu mah, gak bisa di ajak curhat, mbing. Kamu mah gak peka.’ Aku mulai pasrah di momen curhatmu-curhatku ini. Tak mau lagi aku curhat dihadapan kambing. Jujur, hanya bikin sakit hati!
Diam-diam Ibu memperhatikanku sejak tadi dari sumur. Ibu heran kenapa aku bisa ngomong dengan kambing. Sampai-sampai beliau beranggapan jika aku stres karena tidak bisa kuliah. Wahai Ibu, tega sekalai kau terhadap anakmu ini. Tak sependek itu pikiranku, Ibu.
Aku berdiri sambil menyampirkan baju ke atas pundak. Aku jalan menuju dapur. Kulirik Ibu yang tengah memperhatikanku secara seksama, membungkam seribu bahasa, mematung penuh tanda tanya. Mungkin ini yang dinamakan gerakan Selomotion? Ah, mungkin hanya halusinasiku saja. Efek kelaparan.
Ed, kamu jangan gila, ya?’ Tiba-tiba Ibu membuka satu bahasa diantara seribu bahasa. Aneh, sangat aneh muka Ibu saat melihatku. Seperti kasihan namun sedikit lucu. Aku tak paham dengan Ibu.
Ibu kenapa? Kok aneh, siapa lagi yang gila? Aku masih normal, Bu.’ Aku mencoba untuk membela diri. Kuperhatikan seluruh tubuhku dan kupastikan tak ada yang berubah pada fisikku. Tetap pendek, item, kurus, jelek, dan sedikit karismatik.
Sejak tadi Ibu perhatikan kamu sedang berbicara dengan kambing. Jadi, Ibu kira kamu sudah gila,
Aduhhh, Ibu. Edi tu tadi cuma curhat aja. Bukannya berbicara. Edi juga masih waras, Bu. Ibu ini ada-ada aja.’ Timpalku, ‘lagian kambingnya juga cuma bilang eeemmmbeekkk… Gak bilang yang lain.’ Aku terlihat bego. Ibu malah tertawa melihat mulutku dengan paseh menirukan suara kambing.
Alhamdulilah kalo gitu,Ibu menarik nafas dan mengelus dadanya. Kemudian melanjutkan menimba air. Aku hanya bengong melihat ibu aneh. Aku duduk santai di atas sebuah kursi kecil yang terletak disamping pintu dapur.
Aku duduk santai sambil menikmati rasa cenut-cenut di jari, tiba-tiba Rina datang  dari belakang dengan muka ceria.
DOORRR.....!!! Rina mengagetkan aku dari belakang sampai aku harus jatuh tersuruk di tanah. ‘ASTAFIRUWLAH,,,reflek.
Rina, kamu tu bikin kaget aja. Gimana coba kalo aku punya penyakit jantung terus mati, ha?’ Seruku dengan muka sedikit kesel. Dari sumur Ibu melihat sambil senyum-senyum bahagia. Entah bahagia karena aku tersuruk, atau bahagia karena Rina sudah pulang, aku tak tahu juga.
Hahaa,, Kak, kalo punya penyakit jantung, paling langsung mati, kalo gak kerumah sakit.’ Dengan ringanya ia menjawab. Mukanya ngeledek penuh dengan ejekan.
Kami berdua kejar-kejaran sambil tertawa lepas, seperti tidak ada beban. Dari sumur, Ibu hanya senyum-senyum bahagia melihat kedua anaknya akur. Bahagia sekali hati Ibu masih bisa melihat kedua anaknya tertawa lepas meskipun dalam keterbatasan ekonomi. Kemudian Ibu melanjutkan mencuci piring sambil memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk Rina agar bisa ikut perpisahan di SMP-nya.
Saat Ibu sedang mencuci piring. Tiba-tiba Bapak keluar dengan cangkul di pundaknya dan sabit ditangan sebelah kanan. Ibu bingung, kenapa Bapak bawa cangkul padahal kondisi tubuhnya sedang tidak enak.
Bapak mau kemana? Ini kan udah sore, Pak?’ Tanya Ibu dengan tumpukan piring yang sudah bersih ditangannya. Ibu hendak membawa piring-piring itu ke dalam rumah.
Bapak mau ke kebun sebentar, Bu. Bapak mau lihat kebun saja,
Tapi, Pak, ini kan sudah sore. Sudah jam lima. Mending Bapak mandi saja, terus istirahat. Besok, baru ke kebun. Lagi pula kondisi kesehatan Bapak kan sedang tidak baik,Ibu menasehati. Namun Bapak masih tetap kekeh atas kemauannya.
Gak apa-apa, Bu. Sebentar saja. Ya-sudah, Bapak berangkat dulu ya, Bu?’ Bapak melangkahkan kakinya meninggalkan rumah. Ibu hanya diam saat Bapak memiliki keinginan. Tak bisa apa-apa.
Bapak memang tipe orang yang tidak bisa dicegah kehendaknya. Apa yang sudah menjadi keinginannya tidak bisa ada yang mencegahnya. Dengan berat hati, Ibu merelakan Bapak pergi ke ladang meskipun dalam kondisi kesehatan yang kurang baik.
Ibu masuk ke dapur lalu meletakkan piring yang sudah ia cuci di rak piring. Aku dan Rina masih bercanda gurau di halaman rumah yang tidak begitu luas. Sambil bercanda, kami berangan-angan ingin menjadi orang yang sukses kelak. Dan kami akan memberikan santunan bagi setiap keluarga kurang mampu, agar tidak ada lagi keluarga seperti kami di tanah Indonesia tercinta ini.
Kak, nanti kalo aku sudah besar, aku mau jadi bupati.’ Rina membuka khayalan tingkat tinggi.
Kalo aku, mau jadi menteri perekonomian,aku tidak mau kalah.
Emang, kenapa kak? Kok pengen jadi menteri perekonomian?’ Rina mulai serius menanggapi khayalan ini. Matanya sangat antusias untuk ingin tahu alasanku memilih menjadi Menteri Perekonomian.
Haaa~ Aku tau. Mau korupsi, ya?’ tebakan Rina. Namun lebih ke ejekan. Tangannya menunjuk ke mukaku sampai hampir menusuk ujung hidung pesek ini. Aku mencoba menyingkirkan tangan Rina dan berkata.
Yee, enak aja. Meskipun aku jelek begini tapi sory, kalo buat korupsi, aku gak mau, tegasku mantep.
Emang kenapa kak? Kan biar cepet kaya?’ Rina masih mengorek lebih dalam informasi tentang Menteri Perekonomian. Ia semakin antusias. Aku seperti obyek wawancara sore itu untuk Rina.
Iya, memang aku kaya. Tapi, masyarakat Indonesia banyak yang miskin karena hak mereka aku ambil. Terus, kalo tertangkap aku bisa dipenjara. Kan aku gak mau dipenjara. Aku juga gak mau menyusahkan orang lain. Lebih baik Aku hidup sederhana tapi rakyat Indonesia sejahtera daripada Aku kaya tapi rakyat banyak  yang miskin.
Rina terdiam menyimak jawabanku atas pertanyaannya. Bola matanya terpaku, tak terlihat gerakan pelopak mata.
Terus, kamu sendiri kenapa kok pengen jadi Bupati? Kan bupati cowok biasanya?’ Tanyaku membuyarkan lamunan Rina. Sempat ia kaget tiba-tiba aku berbalik mewawancarainya.
Maka dari itu, aku pengen jadi Bupati cewek yang pertama di Kabupaten Tulang Bawang ini, Kak.’ Dengan cepat Rina langsung menjawab. Tampaknya ia telah mempersiapkan jawaban ini jauh-jauh hari sebelum wawancara denganku.
Emang kamu bisa ngaturnya?’
Makannya, aku mau sekolah yang sungguh-sungguh dan aku mau kuliah Kak, biar dapat ilmu yang banyak dan bisa jadi Bupati yang bisa mensejahterakan masyarakatnya.’ Rina mantep. Aku masih tercengang mendengarnya.
Aku juga gak mau kak, masyarakat Tulang Bawang ini dibodohi sama oknum-oknum yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Aku kasihan, Kak, aku juga mau buka perpustakaan dan sekolah-sekolah gratis yang bisa menunjang minat belajar anak-anak disini. Jadi, tak ada kata lagi bodoh, buta huruf, miskin, dan yang pasti tak ada lagi kata P-E-N-G-A-N-G-G-U-R-A-N.Rina semakin mantep. Aku serasa berada disebuah Talk Show penting di sebuah televisi nasional dengan narasumber Petinggi Negara. Aku tak percaya gadis kecil dihadapanku ini berfikir sejauh itu.
Mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut adik perempuanku. Aku terharu dengan harapan-harapannya. Ternyata, adik perempuanku memiliki pandangan yang sangat mulia, bahkan tidak semua anak seuasianya bisa berfikir sejauh itu.  Aku serasa ingin menangis haru, namun aku tidak mau meneteskan air mata di depan Rina. Aku hanya mengangguk-ngangguk, sambil mengatakan , ‘Setuju’ dengan mengacungkan jempol.
Setelah kami selesai berbincang-bincang di Talk Show sore, kami buru-buru masuk ke-rumah untuk kemudian mandi. Dudukku disebelah kambing yang dengan santainya menyantap rumput hijau yang aku hidangkan sembari menunggu Rina selesai mandi lalu aku gantian mandi.
Kandang kambing adalah tempat untuk aku melakukan meditasi jika stress. Aku duduk di tempat makan kambing sambil menatap kambing-kambing. Aku ingin sekali mewujudkan impian Adik perempuanku. Tapi, gimana caranya? Mustahil kah semua ini Tuhan? melihat ke-adaan aku sekarang, nampaknya mustahil untuk mewujudkan semua itu. Berikan petunjuk-Mu Ya-Allah.
Namun, Aku tidak begitu saja menyerah dengan ke-adaan, Dibalik Kesusahan Pasti Ada Kesuksesan. Dibalik Siksaan Pasti Ada Kebebasan. Dibalik Usaha Pasti Ada Keberhasilan. Asal Kita Mau Berusaha Untuk Menggapainya. Sebuah opini yang selalu aku pegang teguh demi membangkitkan semangatku untuk berjuang.
Di dalam rumah Ibu mulai cemas karena sudah hampir jam enam Bapak tak kunjung pulang dari kebun. Ibu mondar-mandir di dapur dengan perasaan was-was. Khawatiran seorang istri terhadap sang suami terlihat dari wajah Ibu. Karena khawatir Ibu menyuruhku untuk menyusul Bapak di lading.
Ed, coba kamu lihat Bapak mu di kebun, Nak. Kok jam segini belum pulang?’ Pinta Ibu kepadaku. Aku segera beranjak.
Lho, Bapak ke-kebun to, bu? Kok di bolehin sih, Bu? Kan Bapak masih gak enak badan,
Tadi Ibu sudah sempat melarang. Tapi kan, kamu tau sendiri gimana Bapakmu. Kalo sudah jadi kehendak, gak bisa tidak.’ Kata Ibu, mencoba menjelaskan. ‘Ya sudah, buruan jemput sana,Lanjutnya memintaku untuk segera menyusul ke ladang sebelum magrib tiba.
Aku lari dengan tergesa-gesa. Aku takut terjadi  sesuatu dengan Bapak. Aku tidak akan bisa mengampuni diriku sendiri jika terjadi apa-apa dengan Bapak. Dalam perjalanan menuju ke ladang sambil lari aku terus saja khawatir. Perasaanku tidak bisa tenang, banyak pikiran-pikiran yang tidak seharusnya aku fikirkan di kepalaku.
Betapa kagetnya diriku begitu sampai di ladang. Suasana mencekam. Langit yang mulai gelap, serta angin yang bertiup kencang menggoyangkan pepohonan yang menjulang tinggi. Seperti ilalang yang tiada daya terhempas angin. Sangat kuat sekali kekuatan angin. Sungguh hebat yang namanya angin. Bermanfaat dan berbahaya. Suara-suara anjing hutan terdengar seperti sebuah kontes paduan suara. Sangat kompak. Mereka saling memadukan suara sehingga menghasilkan nada indah namun menyeramkan. Aku hanya bisa merinding ketakutan. Bola mataku tak berkedip. Mengantisipasi serangan anjing yang tak terima terhadap komentarku. Ah, kemana kubawa lamunan ini.
Kutatap sekeliling dengan mata tajam. Namun, sejauh mata memandang, tak kulihat tanda-tanda keberadaan Bapak. Aku semakin khawatir, sampai-sampai aku menyimpulkan hal negatif, mulai dari: Bapak diculik hewan buas, hilang entah kemana, pingsan, dan hilang dibawa hantu. Oke, yang terakhir sepertinya tidak mungkin. Hantu mana yang mau ngambil bapak-bapak, sudah tua?
Aku berjalan dari ujung ke ujung. Jurang yang ada di ladang sudah aku periksa dengan mata melotot tanpa berkedip. Namun aku tidak juga melihat keberadaan Bapak. Aku semakin takut, akhirnya aku memastikan keberadaan Bapak dengan cara memanjat salah satu pohon yang cukup tinggi, agar bisa melihat lebih luas. Dengan begitu aku bisa dengan mudah memantau keberadaan Bapak.
Kuatnya angin pada sore itu cukup untuk membuat batang pohon yang aku panjat goyang kesana-kemari. Berada di atas pohon yang tengah terbawa arah angin membuat aku takut dan sangat was-was apabila tiba-tiba pohon tumbang. Aku semakin sedih karena sudah hampir magrib Bapak belum juga aku temukan. Sambil turun dari pohon aku masih menangis sedih.
Begitu aku sampai di bawah, Adzan Magrib telah di kumandangkan. Itu artinya, sampai Magrib Bapak belum juga aku temukan. Aku pulang dengan muka lesu. Sambil memukul-mukulkan tangan kesetiap ranting pohon yang menghalangi langkah kakiku. Ranting-ranting yang menghalangi jalanku sudah ku anggap sebagai musuh. Kuanggap mereka barisan tentara Nazi yang menakutkan dan harus dimusnahkan.
Sesampainya di rumah, dengan rasa sangat bersalah aku jujur terhadap Ibu. Bu, Bapak gak ada di kebun. Padahal aku sudah cari kemana-mana di sekeliling kebun tetangga pun sudah aku cari, Bu, namun Bapak gak ada. Maafin Edi, Bu?’ aku menunduk sedih. Perasaan rasa bersalah membuatku tak ada daya untuk menatap mata Ibu. Aku memilih menunduk karena aku tidak pantas untuk menegak ke atas.
Ibu hanya bengong. Suasana hening.
Kamu tu kenapa? Kok mukanya kusam banget? Terus ngomongnya ngelantur. Bapakmu itu sudah pulang. Tuh, orangnya juga baru selesai mandi.’ Kata Ibu ketika mau ambil air wudhu. Mendengar perkataan Ibu, aku serontak menegakkan kepala dengan mata melotot muka lega sedikit bingung.
Yang bener, Bu? Kok gak ketemu aku di jalan?’
Tadi Bapak lewat jalan sebelah, makannya gak ketemu kamu.’
Syukurlah kalau Bapak sudah pulang. Aku jadi lebih tenang, Bu. Aku fikir tadi Bapak kenapa-napa.’ Aku menghelai napas lega.
Ibu hanya tersenyum lalu mengambil air wudhu. Aku kembli duduk di depan pintu dapur dengan nafas ngos-ngosan, muka berantakan. Serasa baru saja berburu rusa dihutan namun malah mendapat Hamster. Namun aku lebih tenang, se-enggaknya Bapak tak kenapa-napa.
Di saat aku lagi duduk santai melepas lelah, Ibu menegur sambil menepuk pundakku dari belakang.
Buruan mandi, keburu malam. Terus sholat, berdoa, biar dilancarkan rizkinya,
Iya, Bu.’ Jawabku singkat. Aku beranjak dan segera mandi kemudian shalat.
Setelah selesai mandi, aku buru-buru ngambil air wudhu, karena sebentar lagi sudah waktu Shalat Isha. Aku sholat dengan khusuk agar sholatku sempurna. Begitu selesai, tak lupa aku memanjatkan Doa kepada sang maha pencipta.
“Ya-Allah, sesungguhnya rizki dan kebahagiaan manusia telah engkau tentukan. Hamba hanya manusia biasa yang jauh dari kata sempurna. Hamba hanya bisa memohon kepada engkau agar hamba diberi ketabahan dalam mejalani hidup dan atas segala cobaan yang engkau berikan. Hamba yakin, dibalik semua ini pasti engkau telah menyediakan hadiah terindah untuk keluarga kami.”
Paginya aku membantu Bapak di ladang. Sambil menunggu pengumuman kelulusan tak ada salahnya jika aku membantu Bapak, itung-itung mengurangi beban pekerjaan Bapak. Daripada di rumah menganggur.


Komentar

Postingan Populer