BAB 1 Perbedaan
BAB 1
Perbedaan
Perbedaan
Kokok ayam dipagi hari menggugah tidurku yang nyenyak.
Kubuka mata perlahan, pandangan masih remang-remang. Kulipat sarung yang masih
membungkus badanku dan kukucek mata untuk membuatnya terbuka lebar. Beranjak ku
dari tempat tidur yang berukuran kecil yang hanya beralaskan tikar yang hampir
saja habis termakan rayap. Kubuka jendela yang terbuat dari anyaman bambu yang
biasa disebut dengan “Gedek.” Sejauh mata memandang kulihat embun masih
menutupi jalanan dan hamparan tumbuhan lain. Hawa dingin masih sangat aku
rasakan menusuk pori-pori. Ilalang dengan sepercik embut di atasnya itu seolah menari indah menyambutku. Selamat
pagi hari baru. Kusambut pagi yang
berbeda dengan pagi-pagi yang sebelumnya. Karena, mulai pagi ini aku bukan lagi
pelajar SMA dan bukan juga Mahasiswa.
Kemarin, baru saja pengumuman kelulusan SMA di umumkan
dan alhamdulilah aku lulus meskipun dengan nilai yang tidak sempurna. Burung
kutilang berkicau ria diatas sebuah pohon randu, suara-suara ayam yang tengah
mencari makan dikebun menambah suasana pagi semakin ceria. Belum lagi suara
kambing yang dengan cerewetnya seolah memberi kode bahwa waktu sarapan pagi
telah tiba. Aku berdiri didepan jendela menatap jauh kedepan. Betapa malangnya
si miskin ini. Hidup dengan penuh kekurangan. Untuk sekedar membuka mata lebar
saja malu. Malu dengan mereka yang bisa dengan mudah melanjutkan Kuliah ke Perguruan
Tinggi yang mereka inginkan.
Aku renungkan sejenak Mimpi yang sempat
tertunda akibat ketidak adilan alam. Masalah klasik yaitu masalah Ekonomi
membelenggu batin si miskin ini. Andai aku terlahir dari rahim ibu yang
memiliki banyak uang, pasti aku tak perlu menyiksa batin ini. Namun, aku tak
akan putus semangat. Akan ku kejar mimpi itu hingga menembus batas khayalan
untuk melawan kenyataan.
Setelah lulus SMA, demi
mewujudkan Mimpi, aku bekerja. Kerjaan apa saja tak perduli yang penting
menghasilkan uang. Namun tetap Halal. Aku tidak mungkin mengandalkan kedua
orang tua yang pendapatannya tidak menentu, ditambah lagi dengan umur mereka
yang sudah usia lanjut. Sangat tidak tega aku berdiam diri melihat mereka
berjuang sendiri. Sebagai anak laki-laki, aku harus bisa berdiri sendiri. Karena
kuanggap sudah cukup aku merepotkan kedua orang tua. Kini saatnya aku berusaha
sendiri dan berbalik membahagiakan kedua orang tua. Kini, Mimpi ada pada diriku
sendiri. Aku harus mewujudkannya!
Beda orang beda nasib. Beda lagi dengan sahabat-sabat satu kelas di SMA yang orang tuanya tergolong mampu. Mereka
langsung melanjutkan kuliah di universitas-universitas yang mereka inginkan. Dengan mudahnya mereka masuk di perguruan tinggi. Namun, aku
juga tidak bisa menyalahkan orang
tua dan ke-adaan ini. Aku juga tidak menyalahkan dengan kualitas otak sehingga
sulit untuk mendapatkan beasiswa. Semua manusia memiliki kelibihannya
masing-masing. Meskipun aku tidak terlalu cerdas, namun Allah memberiku
kelebihan dengan menjadi laki-laki yang pekerja keras. Pantang menyerah! Itu sudah
cukup modal untuk menggapai segudang
mimpiku. Ini semua merupakan jalan yang Tuhan berikan kepadaku. Dibalik semua
ini pasti terselip sepercik penantian indah.
Yang jadi pertanyaan. Apakah mereka yang langsung melanjutkan kuliah dengan
fasilitas lengkap bisa lancar kuliahnya?
Coba kalian pikirkan dan carilah jawabannya.
‘Pak, aku sudah lulus SMA. Nah,
kebetulan di sekolah ada program SMP TN. Aku akan mencoba mendaftar lewat jalur itu agar
dapat beasiswa. Jika aku lolos,
aku bisa kuliah gratis.’
ucapku dihadapan Bapak yang tengah bersantai meluruskan
pinggang karena seharian bekerja di ladang.
‘Nak, Bapakmu
ini hanya bisa mendoakan saja. Semoga
kamu lolos SMPTN dan kamu bisa kuliah seperti apa yang kamu impikan selama ini.
Bapak mohon maaf gak bisa
menguliahkan kamu seperti apa yang telah menjadi mimpimu sejak dulu. Bukan karena Bapak gak mau, tapi karena keadaan kita
yang membuat Bapak gak bisa membiayai kuliah kamu. Ketahuilah anakku, Allah pasti membantu umatnya yang mau
bekerja keras. Insyaallah, dengan kerja keras dan doa kamu bisa mewujudkan
impianmu meskipun keadaan kita seperti ini.’ Bapak memegang pundakku memberikan
pencerahan untukku agar lebih semangat dan tidak mudah menyerah dalam menjalani
kehidupan. Tak ada yang mustahil di dunia ini, kata Bapak.
‘Aminn. Semoga saja ya, Pak?’ Ku-usapkan kedua telapak tangan ke muka, ‘aku juga tidak memaksa Bapak untuk menguliahkan aku,
kok Pak. Nanti biar aku yang cari biayanya. Bapak cukup membantuku dengan Doa
saja,’ Lanjutku ringan. Tersenyum kecil.
Kemudian aku meninggalkan ruang tamu. Merasa suntuk aku pergi keluar
untuk mencari udara segar. Aku pergi ke-rumah
sahabat yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Sebut saja namanya Arif. Arif adalah
sahabatkku di SMA. Banyak persamaan diantara kami. Kami sama-sama suka
bercanda, sama-sama hoby olahraga, sama-sama suka makan, sama-sama hoby baca
novel dan yang pasti kami sama-sama laki-laki. Namun, ada satu perbedaan
diantara kami. Aku tak mengerti kenapa perbedaan ini yang membuat aku berdosa
karena ngerasa iri terhadap sahabat sendiri. Aku menganggap ini tak adil.
Perbedaan itu ada pada rahim yang telah melahirkannya. Sangat beruntung, Arif
terlahir dari Rahim Ibu yang berada. Tak
seperti aku, Rahim yang kumuh seperti hidupku saat ini. Gelar anak kepala
sekolah membuatnya lebih disegani dan disenangi daripada aku yang bergelar anak
Gorengan. Jelas saja gelar itu aku dapatkan, ya karena memang Ibuku hanya
penjual gorengan.
Arif bisa dengan mudah melanjutkan kuliah dimana pun yang
ia mau. Fasilitas lengkap telah menantinya dimana pun ia
akan Kuliah. Dengan mudahnya kedua orang
tua Arif memberikan pilihan untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Sayangnya Aku tidak
seberuntung Arif. Tak ada satu
nama perguruan tinggi yang Bapak atau
Ibu berikan sebagai pilihan. Jangankan pilihan Universitas, menyinggung tentang
kuliah saja tidak. Aku paham dengan mereka. Bukan mereka cuek atau tak perduli
dengan masadepan puteranya, namun mereka takut. Takut jika mereka tak bisa
membiayai kuliahku dan aku harus putus ditengah jalan. Mereka juga tak ada
cukup uang untuk kuliahku. Sekedar membeli beras saja masih ngutang di warung. Satu-satunya harapan hanya pada seleksi SMPTN. Itu saja jika lolos. Berkaca
dari diriku sendiri, tak menutup kemungkinan aku pasti tidak lolos SMPTN.
‘Gimana?’
Dalam langkah Arif bertanya, ‘Kamu
jadi kuliah di Yogya, gak?’ Arif duduk
dibarengi dengan kaki yang ia lipat dibawah bokongnya di sofa.
‘Egak. Sekarang aku hanya pasrah dengan hasil SMPTN.
Jika aku lolos, Aku bisa kuliah. Namun, jika aku tak lolos, terpaksa
aku harus berhenti dulu buat kerja cari biaya
sendiri,’ Jawabku melas. Aku
menundukan kepala, sempat ingin meneteskan air mata jika mengingat itu, namun
aku mencoba untuk tegar. Cukup melo sebagai laki-laki jika aku menangis
dihadapan Arif.
‘Lho, memang kenapa? Kok kamu gak jadi kuliah? Kuliah
itu penting banget lho,’ Serunya sedikit
heran. Matanya terbuka lebar, alisnya terangkat sampai kesudut paling pojok.
Nadanya cemas.
‘Iya, kuliah memang penting,
Tapi kalo gak punya biaya gimana? Tak mungkin kan aku memaksa
orang tuaku untuk
menguliahkanku? Uang darimana coba?! Kan sekarang biaya kuliah mahal!’
Jawabku sengal. Sedikit kesal dengan sistem pendidikan di
Tanah Air ini.
‘Ohh, kalo itu alasannya, saya bisa ngerti.’ Arif mengendurkan nada. Ia tahu Aku mulai kesal dengan
obrolan ini. Tak mau obrolan semakin kacau serta emosi semakin meninggi
akhirnya Arif memeilih untuk lebih pelan dan tidak menekan.
‘Emang kamu yakin bakalan keterima di ujian SMPTN?’ Begitulah pertanyaan Arif yang sangat tidak enak terdengar ditelingaku yang
masih normal. Pertanyaan itu seolah-olah menghinaku. Bukan itu saja, dengan
timbulnya pertanyaan itu, aku jadi tahu, bahwa maksud Arif adalah mengejek,
karena dia tahu banget bagaimana nilai laporku dan bagaimana kualitas otakku.
Jika Arif bermaksut untuk memberiku semangat, itu salah besar. Tapi, jika dia
bermaksut mengejekku, itu adalah pertanyaan yang tepat. Terimakasih sahabat!
Pertanyaan itu sangat membuat aku tersudut. Mau tidak mau
aku harus menjawab karena dia bertanya. Untuk membuat hati Arif puas dengan
santai aku berkata, ‘ya-egak-yakin, sih. Soalnya,
nilai aku buruk semua.’
Dan karena jawaban itu, wajah Arif yang tadinya putih
penuh dengan jerawat, kini berubah jadi merah seperti badut pantai yang sedang
berjemur karena menahan tawa atas jawaban yang aku berikan. Jawaban yang tak seharusnya
terlontar dari mulutku.
Tak lama kami berbincang-bincang, keluar wanita cantik
gemulai dengan mata sedikit merah, rambut panjang ical dan satu yang menjadi
ciri khasnya yaitu Sutil. Ya, beliau tidak lain Ibu dari sahabatku ini. Namanya
Ibu Sumi. Jelas sekali beliau baru saja dari dapur karena membawa Sutil
ditangannya. Berati, beliau habis masak. Pikirku tersenyum kecil. Beliau berdiri
di samping pintu dengan wajah ceria. Ah, dugaanku tepat sekali, dengan suara
lembutnya beliau meminta kami untuk segera makan karena sudah dibuatkan mie instan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku sudah hafal sekali dengan
hal ini. Setiap aku berkunjung ke rumahnya pasti dibuatkan makan. Jika bukan
nasi goreng, mie instan, ayam goreng, maka pasti aku akan dibuatkan brownis.
Ibu yang memiliki rambut ical dan mata sipit itu masih berdiri dipintu sambil
meminta kami untuk segera makan. Awalnya aku malu-malu tapi sangat mau.
Pura-pura menolak tapi berharap dipaksa menerima. Tetap duduk namun berharap
makan diantarkan. Yah, itu sudah menjadi jurus andalan tamu sepertiku.
Tanpa lama-lama kami langsung makan.
Mie instan kuah yang berkolaborasi dengan telor membuat
aku tidak sabar untuk melahapnya. Aku segera ngambil piring dan aku tuangkan
mie kedalam piring itu. Agar lebih kenyang, aku beri juga sedikit nasi.
Sedapnya aroma telor serta bumbu mie membuat aku tak sabar untuk segera
melahapnya. Perutku pun sudah mulai berdansa-dansa menunggu datangnya mie
instan telor. Dengan semangat penuh keyakinan daya juang yang tinggi aku
langsung memasukan satu sendok mie ke dalam mulutku. Namun na’as, yang terjadi
bukannya masuk ke dalam perut, justru mie-nya keluar lagi. Aku muntahkan karena
masih cukup panas untuk menyentuh didinding mulut yang hanya terbuat dari
daging. Aku terlihat seperti orang kelaparan jika seperti ini.
Kami makan dengan lahapnya. Kulupakan sejenak pikiran untuk kuliah. Kami makan sambil ngobrol
sampai mie menumpuk dimulut. Jijik sih,
tapi cukup seru. Ternyata, mie instan membuat aku amnesia
sementara tentang kuliah. Fikiranku saat itu
hanya tertuju pada nikmatnya mie instan yang masih anget-anget panas namun
sangat memuaskan. Kalau kata anak jaman sekarang Cetar Membahana. ‘Gimana
rasanya, enak gak?’ Tanya Bu Sumi sambil membereskan dapur. Aku tahu Ibu hanya
ingin bercanda menanyakan hal seperti itu. Karena Ibu tahu, jelas-jelas mie
yang dibuatkan habis tanpa sisa. Jika sudah seperti itu, tidak mungkin aku
jawab ‘mie-nya gak enak, Bu, tapi sudah habis,’ bisa dilempar wajan aku.
Setelah selesai makan dan perut sudah terasa sangat kenyang, tak lengkap rasanya kalau tak
diimbangi dengan maen game. PS (playstation) itulah Game yang sangat buming di
kampungku. Yah, PS 2 mah cukup untuk membuat kantong tipis. Sekelas anak
kampung PS 2 udah sama dengan PS 3. Akhirnya kami berdua beragkat ke tempat rentalan
PS yang tidak jauh dari rumah.
Sesampainya disana, aku melihat banyak anak kecil yang
masih duduk dibangku SD (sekolah dasar) sudah pada maen game. Malah mereka
sudah mahir-mahir memainkan berbagai jenis game. Aku saja sampai kalah. Pengetahuanku
tentang PS hanya sebatas Motor GP dan Sepak Bola. Selain itu, sory, buta!
Setelah melihat dengan lincahnya anak-anak kecil bermain
jenis game akhirnya timbul pertanyaan dari otak pas-pasan ini. Apakah game yang
merusak generasi bangsa?
Saat itu, permainan yang paling banyak digemari anak-anak
adalah Mortal Kombat. Jenis game yang lebih menekankan kepada kekerasan atau
berantem ini paling banyak dimainkan oleh anak-anak waktu itu. Selain mortal
kombat, ada juga game yang hampir sama dengan mortal kombat, yaitu Tekken. Game
ini sama dengan mortal kombat, yaitu kekerasan. Yang membedakan hanya jika
mortal kombat lebih banyak dan tekken cuma berdua atau betle.
Sungguh miris sekali. Anak-anak yang usianya masih sangat
belia namun sudah memainkan game-game yang berbau kekerasan. Dengan mereka
memainkan game jenis tersebut secara otomatis akan berdampak pada psikis
mereka. Karena usia yang masih sangat muda akan dengan mudah terpengaruh dengan
apa yang mereka lihat dan yang mereka sukai. Tidak menutup kemungkinan, jika
terus seperti ini, jika mereka sudah tumbuh besar mereka akan menjadi individu
atau kelompok yang brutal atau suka dengan kekerasan. Atau malah mereka
bercita-cita untuk menjadi Begal. Iya kan?
Larut dalam serunya permainan Motor GP sekelas permainan
cemen membuatku tak sadar jika waktu sudah sangat malam. Sungguh senang hati
Arif melihat sahabat sejawatnya tersenyum kembali. Memang, sangat sedih jika
apa yang kita impikan tidak dapat terwujud. Wajarkan aku bersedih? Memang cowok
gak boleh melo? Cowok gak boleh galau? Sama, aku ini hanya manusia biasa.
Satu-satunya harapan hanya dari hasil SMPTN, itu juga
kalau diterima. Melihat tingkat kecerdasanku nampaknya sulit untuk bisa di
terima. Setidaknya aku pernah mencoba.
Ke-esokan paginya, aku berangkat ke-sekolah untuk
melihat apakah ada pengumuman atau belum mengenai kapan di-umumkan-nya
kelulusan SMA. Sesampainya disekolah ternyata
sahabat-sahabat sekelasku
sudah pada berkumpul sambil bercanda gurau.
Duduk di atas motor yang sedang di parkir, mereka semua asyik ngobrol sambil
ketawa-ketawa. Ada yang duduk dibawah, ada juga yang duduk di atas motor yang
di standar dua. Ada juga yang duduk sila sambil menopangkan dagu di atas kedua
tangannya, ada juga yang hanya menunduk diam merasa malu dengan obrolan ini.
Ya, dia adalah Aku. Aku yang bodoh, Aku yang miskin, dan Aku yang tak bisa
Kuliah.
Tuhan, dosakah aku? Kenapa denganku Tuhan? Maafkan
hambamu yang hina ini. Dalam hati aku merintih.
Aku merasa sangat berdosa jika mengingat itu.
Perasaan Iri terhadap sahabat-sahabat yang bisa melanjutkan kuliah membuat aku hina
dimata Allah. Tak seharusnya aku merasa begitu. Namun, sangat sulit untukku
menerima kenyataan pahit ini. Tak mampu aku melihat sahabat-sahabatku menari-nari
diatas kesedihanku. Pikiranku masih sangat kalud saat itu, sampai-sampai tak
bisa kukontrol. Maafkan hamba Ya-Allah.
Dengan lincahnya para sahabatku membicarakan soal kuliah,
tanpa dia sadari dibawah sini ada laki-laki yang sedang tersiksa batinnya
karena obrolan ini. Sesekali
aku menundukkan kepala untuk
mengusap air mata kecil yang berlinang di pelopak mata karena batinnya tersiksa
mendengar teman-teman
ngobrol soal kuliah dimana? Kampus apa? Mau ngambil jurusan apa? Dan terus
begitu sampai si remaja malang ini meninggalkan panggung obrolan yang sangat
menguras batin.
Sesungguhnya aku ingin sekali nimbrung ngobrol dengan
teman-teman. Namun, karena aku tidak bisa melanjutkan kuliah, aku merasa minder
untuk gabung ngobrol dan aku lebih memilih menyendiri di pojok kelas.
Aku merenung sendirian di pojok kelas. Aku
sangat berharap agar bisa lolos SMPTN agar aku bisa
melanjutkan kuliah dan menggapai cita-cita-ku. Aku ingin menjadi Menteri
Ekonomi kelak waktunya tiba. Aku beranggapan bahwa Indonesia salah, Indonesia
tidak adil, karena pembangunan ekonomi masyarakat Indonesia tidak merata. Tidak semua masyarakat Indonesia merasakan apa yang
sudah menjadi hak mereka. Oleh karenanya, aku ingin menjadi menteri
perekonomian agar aku bisa memeratakan pembangunan infrastruktur sampai pelosok
Negeri dan pembangunan ekonomi yang merata. Sehingga masyarakat terpencil dan
miskin sepertiku kelak tidak ada lagi. Tak ada lagi manusia hina sepertiku di tanah air Indonesia ini. Harapanku semua masyarakat bisa merasakan pendidikan
seperti semestinya.
Disaat aku sedang merenung sendiri di pojok kelas
sambil sesekali mengusapkan air mata yang mengalir melewati sela hidung, melewati bibir sexy, dan akhirnya tibalah pada labuhan
terakhir yaitu tanah. Salah
satu teman perempuan datang menghampiriku.
Gadis berparas cantik dengan rambut yang terurai indah seperti sutra itu
berdiri tepat dihadapanku dengan menebarkan senyuman indah. Sangat indah!
Aku tidak percaya, jika gadis secantik dia berdiri
dihadapanku dengan senyuman indah. Gadis itu adalah Suci. Lengkapnya Suci Aryanti.
Teman satu kelas yang paling pintar dan paling cantik tentunya. Suci adalah perempuan
yang cerdas, kaya, baik, perhatian, dan yang pasti cantik. Semua laki-laki
ingin menjadi kekasihnya. Semua berlomba-lomba untuk mencuri perhatian Suci,
tidak jarang ia menolak cowok-cowok yang nembak dia. Cewek perparas cantik,
badan tinggi, rambut lurus serta kulit yang putih telah menghipnotis semua
laki-laki yang ada di SMA. Tidak terkecuali Aku. Namun bedanya aku munafik, aku
egois dan lebih tepatnya Aku sadar diri.
‘Ternyata kamu disini. Aku cari-cari sampai ke toilet
juga.’ Begitulah kalimat yang keluar dari mulut Suci dengan
tujuan menghiburku. Aku hanya tersenyum. Lalu ia duduk di-sebelahku dengan
anggunnya. Dia mencoba menghiburku dengan berbagai macam cara termasuk mencoba
untuk menggombaliku. Saat aku tanya
‘kenapa nyari’in aku?’ Lalu gadis cantik
itu menjawab dengan suara indah, ‘ya
gak papa. Aku kangen aja sama kamu. Gak
ada kamu aku kesepian. Gak ada yang bisa aku jailin.’ Dan itu adalah kalimat yang sangat membuat aku lebih
bahagia. Aku tidak percaya jika gadis secantik Suci bisa kangen dengan pria
miskin sepertiku. Yah, meskipun hanya untuk menghibur saja. Setidaknya aku
sangat bahagia.
Ternyata Suci bukan hanya cantik dan pintar. Ternyata dia
juga teliti. Dia tahu jika aku baru saja menangis hanya dengan melihat bola
mataku. ‘Mata kamu kok merah? Hayoo, lagi
galau- yaa? Putus cinta yaaaa....?
Atau ditolak, yaaa..?’ Suci masih berusaha
menghibur.
Kami ngobrol berdua sambil becanda-bercanda. Suci tahu
kalau aku pasti sedih jika membicarakan soal kuliah, maka dari itu
ia tak
mau mengeluarkan
sepatah kata pun yang menyangkut kuliah. Aku juga suka dengan Suci, karena Suci
satu-satu sahabat perempuan yang tak pernah meyinggung soal kuliah saat
ngobrol denganku.
Sepulang sekolah, aku selalu membantu kedua orang tuaku
khususnya Bapak untuk membantu mencari rumput di rawa untuk makan
kambing. Aku kasihan jika melihat Bapak yang sudah sepuh (tua) serta
tubuh yang mulai rapuh harus bekerja keras sendirian.
Aku mempunyai dua ekor kambing yang dibeli Bapak dari
hasil panen padi di sawah beberapa bulan yang lalu. Itu merupakan harta yang
paling berharga bagi kami. Tidak ada barang berharga lagi di rumah selain
kambing dan satu Sepedah Ontel Tua milik Bapak yang biasanya aku
gunakan untuk sekolah.
Selain itu, aku juga masih mempunyai satu adik
perempuan. Namanya Rina. Sebentar lagi
ia akan lulus SMP dan akan
melanjutkan ke-SMA. Oleh karena itu, sebagai anak laki-laki Aku harus bisa
berdiri sendiri, tidak hanya mengandalkan orang tua.
Sore itu. Di belakang aku melihat Bapak yang sedang duduk
sambil mengasah sabit. Pada jam segini (menjelang sore) biasa Bapak mengasah
sabit lalu berangkat cari rumput untuk makan kambing. Namun, hari ini aku yang
menggantikan Bapak untuk mencari rumput. Karena selain aku sudah tidak sibuk
dengan sekolah, kesehatan Bapak juga sedang tidak baik.
Aku menggantikan Bapak mengasah sabit. Aku duduk sambil
menggesekkan asahan pada bagian sabit agar lebih tajam. Dengan penuh hati-hati
aku mengasah sabit, karena jika salah sedikit bisa mengenai tangan. Resikonnya,
ya, keluar darah.
Setelah selesai mengasah sabit aku langsung berangkat
cari rumput. Namun, sebelum berangkat aku mengambil tali yang akan digunakan
untuk mengikat rumput di kandang kambing. Saat aku hendak berangkat. Tiba-tiba Rina
datang dari sekolah sambil teriak-teriak.
‘Pak-pak, Bapak.’ Teriaknya sambil melepas sepatu. Keringat akibat sengatan terik matahari menghiasi
wajahnya yang masih polos.
‘Husstt.... Siang-siang kok teriak-teriak. Memang ada apa?’ Tanya Ibu
dengan suara sedikit di tekan mencoba untuk
tidak membuat gadu.
‘Gini lho, Bu.’ Rina menarik
napas, ‘di sekolah mau mengadakan acara perpisahan dan semua
murid diwajibkan untuk membayar uang perpisahan.’ Rina menjelaskan. Nafasnya tersendak karena saking semangatnya ia pulang
sekolah lari agar cepat sampai di rumah.
‘Memang disuruh bayar berapa?’ dengan lembut Ibu bertanya.
‘Disuruh bayar seratus tujuh puluh lima ribu
(175000).’
‘Kok banyak banget?’ Ibu sedikit ragu. Mukanya sedikit ditekuk namun tetap menunjukan sikap ke
Ibuannya.
‘Iya, soalnya buat ke pantai. Semuanya juga ikut, Bu.
Kalau gak bayar gak boleh ikut,’ kata Rina dengan muka melas. Kemudian melanjutkan,
‘aku ikut ya Bu? Kan aku belum pernah ke pantai,
aku pengen banget ke-pantai sama temen-temen. Boleh ya, Bu?’ Rina kembali
memohon sambil mengeluarkan air mata. Ibu pun sesekali menelan ludah dengan muka sedikit sedih
Ibu menyanggupinya. Ibu tak kuasa melihat air mata putrinya
keluar hanya karena ingin ke pantai.
Perpisahan anakku adalah hari bersejarah baginya, aku harus membuat hari itu
lebih bersejarah. Tutur Ibu dalam hati.
Dalam renungan Ibu memikirkan bagaimana caranya agar bisa
mendapatkan uang sebanyak itu. Naluri seorang Ibu yang sangat tidak bisa
melihat anaknya menderita membuat Ibu harus bersusah payah untuk mendapatkan
uang. Beliau berharap ada orang yang bisa minjami uang. Meskipun belum tahu
darimana akan mendapatkan uang, Ibu mengiyakan keinginannya Rina. Ibu tidak
mungkin membuat anaknya sedih hanya karena tidak ikut perpisahan.
Wajah sumeringah ditunjukan Rina kepada Ibu. Rina sangat gembira mendengar Ibu mengiayakan
keinginnya untuk ikut liburan ke pantai. Dalam
hati yang bahagia Rina merasakan perutnya
keroncongan karena hampir seharian belum makan. Jelas saja, mau jajan
di kantin dia tak punya uang karena memang dia tidak pernah membawa
uang jajan. Lebih baik ditabung untuk bayar
sekolah daripada digunakan untuk jajan.
Perut memanggil nasi yang telah tersedia di meja makan
yang hanya berukuran kecil dengan kaki penyanggah reyot. Bak seorang
kakek-kakek berusia 120 tahun. Dengan lahapnya Rina menyantap nasi yang hanya
dibalut dengan sambal bawang ditemani dengan kerupuk segi empat. Melihat Rina yang sangat lahap, Ibu hanya bisa
meneteskan air mata. Ibu merasa bersalah karena tidak bisa membahagiakan kedua
anaknya. Dalam hati Ibu ingin sekali memberikan yang terbaik buat anaknya,
apa yang anaknya inginkan pasti akan langsung ia turuti. Naluri seorang Ibu. Namun, karena faktor ekonomi akhirnya ia hanya bisa
sedih melihat anak-anaknya tidak bisa se-bahagia anak-anak yang lain.
Ibu termenung sendu disudut ruangan.
Diam-diam Aku menguping pembicaraan antara Rina dan Ibu
dari luar. Aku menangis. Tak sanggupku melihat kedua orang tua sedih. Dan sejak saat itu,
aku memutuskan untuk tidak lagi memaksa agar bisa kuliah sebelum aku punya
uang hasil keringatku sendiri. Tak ‘kan
kuperparah keadaan keluarga kecil ini dengan impianku yang jauh dari kata
nyata.
Tak kuasa terlalu larut menahan sedih, aku langsung
berangkat mencari rumput.
Sambil mencari rumput aku terus saja memikirkan kedua orang tuaku dan Rina. Aku ingin bekerja dan punya penghasilan sendiri agar bisa membantu
beban orang tua. Dalam renungan
ditengah hamparan rumput hijau.
Disebuah ladang yang banyak ditumbuhi rumput yang sangat
hijau. Aku senderkan sepedah ontel pada sebuah pohon karet, lalu aku mulai
memotong rumput. Rumput yang hijau adalah makanan kesukaan kambing. Ikat demi
ikat aku kumpulkan rumput yang aku pangkas dengan sabit. Dalam renungan sambil
membabat rumput yang tak berdaya dihantam tajamnya sabit yang baru saja aku
asah, aku selalu teringat dengan beban kedua orangtuaku. Terlalu memikirkan
beban di rumah membuat aku melamun dan
akhirnya jariku menjadi korban dari kelelalaianku. Oh, ternyata senjata makan
tuan. Sabit yang kuasah dengan sangat tajamnya menggoreskan luka dijariku.
Seperti goresan luka yang ada dihatiku karena tidak bisa Kuliah.
Darah merah setengah hitam keluar dari jariku. Aku
meringis-meringis kesakitan. Darah terus saja mengalir dari jariku, sedangkan
rumput belum banyak yang aku kumpulkan. Waktu sudah mulai sore, langit hitam
mendung terlihat mengepul di atas sana, angin yang sangat kencang membuat
suasana semakin menegangkan. Suara-suara burung hantu mulai menyambut datangnya
malam. Beberapa kelelawar mulai keluar untuk mencari makan. Suara gonggongan
anjing memperseram suasana. Nyamuk bernyanyi indah ditelinga, serta rumput yang
mulai layu ditingggalkan sepercik embun yang menyegarkannya.
Aku duduk
ditumpukan rumput. Kubuka baju untuk
membalut luka akibat goresan sabit. Ikatan yang erat membuat
darah tidak mengalir lagi, lalu aku
kembali melanjutkan mencari rumput. Waktu semakin sore dan kambing di rumah
sudah mulai kelaparan sehingga mereka teriak-teriak mengganggu tetangga
sebelah. Badan sudah mulai bentol-bentol karena secara tidak
sengaja dengan aku melepas baju sama saja aku memberikan darahku secara gratis
pada nyamuk-nyamuk diladang yang kelaparan. Sungguh manis darahku, sampai para
nyamuk tak mau segera beranjak dari punggungku.
Setelah rumput sudah di dapat dan cukup aku langsung
membawanya menggunakan sepedah yang biasa dipake Bapak untuk berkebun. Di jalan
aku mulai lemas, muka pucat, mata berkunang-kunang, kepala pusing, perut terasa
lapar, serta tenggorokan yang kering
karena haus. Sepeda ontel tua melantunkan nada indah, kreak..
kreookk... ngikk.. setiap ku ayuh pedal. Namun, sepertinya itu bukan inginnya,
namun karena sudah terlalu Tua sehingga tak sanggup lagi untuk membawa rumput
dengan berat yang berat ditambah lagi dengan berat badanku. Jelas saja ia
bernyanyi. Sebenarnya jika bisa bicara, sepeda ontel ini tidak bernyanyi, tapi
ia mengeluh. Sudah Tua masih dipaksa bekerja. “Kerja Rodi namanya.”
Setibanya di rumah, aku disambut gembira dengan kedua kambingku yang
tengah kelaparan. Sepertinya aku datang tepat pada waktunya. Begitu rumput aku
berikan, langsung si kambing embat (makan) dengan lahap. Kedua kambingku sangat
kelaparan. Apalagi, yang satu tengah hamil tua, jadi sangat membutuhkan asupan
makanan yang cukup. Namun, aku lebih kelaparan
dari kamu mbiiiing.....#kelaparan
Aku duduk di samping kambing-kambing sambil
membersihkan darah yang menempel di jari-jari tangan. Darah hitam kecoklatan mengental pada lukaku. Secara tak sadar aku curhat dengan kambing yang tengah
menyantap rumput dengan lahap.
‘Mbing. Kamu mah enak, makan tinggal makan. Kalo lapar
tinggal, embeekk........ Gak perlu sekolah, kuliah, kerja, apalagi punya uang.
Kamu enak banget, sih? Makan aja harus dicariin. Ni, sampai jari aku kena sabit. Manja
banget kamu, mah.’ Curhatanku sambil terus membersihkan darah. Sangat menyedihkan sekali ketika kita curhat namun tak
dihiraukan. Si kambing
hanya
menjawab curhatanku
dengan suara khas.
Eeeemmbbeeekkk........
‘Kamu seneng ngeliat jari aku kena sabit, ha?! Ini demi kamu ini. Aku sampai kena sabit demi nyari makan
buat kamu.’ Seruku, sesekali melihat ke-arah kambing. Lagi-lagi, si kambing hanya melirik kearahku dan menjawab,
Eemmbeeekkkk.......
‘Ahh, kamu mah, gak bisa di ajak curhat, mbing. Kamu mah
gak peka.’ Aku mulai pasrah di momen
curhatmu-curhatku ini. Tak mau lagi aku curhat dihadapan kambing. Jujur, hanya
bikin sakit hati!
Diam-diam Ibu memperhatikanku sejak tadi dari sumur. Ibu heran kenapa aku bisa ngomong dengan kambing. Sampai-sampai beliau beranggapan jika aku stres karena tidak bisa kuliah. Wahai Ibu, tega sekalai kau terhadap anakmu ini. Tak
sependek itu pikiranku, Ibu.
Aku berdiri sambil menyampirkan baju ke atas pundak. Aku
jalan menuju dapur. Kulirik Ibu yang tengah memperhatikanku secara seksama,
membungkam seribu bahasa, mematung penuh tanda tanya. Mungkin ini yang
dinamakan gerakan Selomotion? Ah, mungkin hanya halusinasiku saja. Efek
kelaparan.
‘Ed, kamu jangan gila, ya?’ Tiba-tiba Ibu membuka satu bahasa diantara seribu bahasa.
Aneh, sangat aneh muka Ibu saat melihatku. Seperti kasihan namun sedikit lucu.
Aku tak paham dengan Ibu.
‘Ibu kenapa? Kok aneh, siapa lagi yang gila? Aku masih normal, Bu.’
Aku mencoba untuk membela diri. Kuperhatikan seluruh
tubuhku dan kupastikan tak ada yang berubah pada fisikku. Tetap pendek, item,
kurus, jelek, dan sedikit karismatik.
‘Sejak tadi Ibu perhatikan
kamu sedang berbicara dengan
kambing. Jadi, Ibu kira kamu sudah gila,’
‘Aduhhh, Ibu. Edi tu tadi cuma curhat aja. Bukannya
berbicara. Edi juga masih waras, Bu. Ibu ini ada-ada aja.’ Timpalku,
‘lagian kambingnya juga cuma bilang eeemmmbeekkk… Gak bilang yang lain.’ Aku terlihat
bego. Ibu malah tertawa melihat mulutku dengan paseh menirukan
suara kambing.
‘Alhamdulilah kalo gitu,’ Ibu menarik nafas dan mengelus dadanya. Kemudian melanjutkan menimba
air. Aku hanya bengong melihat ibu aneh. Aku duduk santai di atas sebuah kursi kecil yang terletak disamping pintu
dapur.
Aku duduk santai sambil menikmati rasa cenut-cenut di
jari, tiba-tiba Rina
datang dari belakang
dengan muka ceria.
DOORRR.....!!! Rina
mengagetkan aku dari belakang sampai aku harus jatuh tersuruk di tanah. ‘ASTAFIRUWLAH,,,’
reflek.
‘Rina, kamu tu bikin kaget aja. Gimana coba kalo aku punya
penyakit jantung terus mati, ha?’ Seruku dengan muka sedikit kesel. Dari sumur Ibu melihat sambil senyum-senyum bahagia.
Entah bahagia karena aku tersuruk, atau bahagia karena Rina sudah pulang, aku
tak tahu juga.
‘Hahaa,, Kak, kalo punya penyakit jantung, paling
langsung mati, kalo gak kerumah sakit.’ Dengan
ringanya ia menjawab. Mukanya ngeledek penuh dengan ejekan.
Kami berdua kejar-kejaran sambil tertawa lepas,
seperti tidak ada beban. Dari sumur, Ibu hanya senyum-senyum bahagia melihat
kedua anaknya akur. Bahagia sekali
hati Ibu masih bisa melihat kedua anaknya tertawa lepas meskipun dalam keterbatasan ekonomi. Kemudian
Ibu melanjutkan mencuci piring sambil memikirkan bagaimana caranya mendapatkan
uang untuk Rina agar bisa ikut perpisahan di SMP-nya.
Saat Ibu sedang mencuci piring. Tiba-tiba Bapak keluar
dengan cangkul di pundaknya dan sabit ditangan sebelah kanan. Ibu bingung,
kenapa Bapak bawa cangkul padahal kondisi tubuhnya sedang tidak enak.
‘Bapak mau kemana? Ini kan udah sore, Pak?’ Tanya Ibu dengan
tumpukan piring yang sudah bersih ditangannya. Ibu hendak membawa piring-piring
itu ke dalam rumah.
‘Bapak mau ke kebun sebentar, Bu. Bapak mau lihat
kebun saja,’
‘Tapi, Pak, ini kan
sudah
sore. Sudah
jam lima.
Mending Bapak mandi saja, terus istirahat. Besok, baru ke kebun. Lagi pula kondisi kesehatan Bapak kan sedang tidak baik,’ Ibu
menasehati. Namun Bapak masih tetap kekeh atas kemauannya.
‘Gak apa-apa, Bu. Sebentar saja. Ya-sudah, Bapak berangkat dulu ya, Bu?’ Bapak melangkahkan kakinya meninggalkan rumah. Ibu hanya
diam saat Bapak memiliki keinginan. Tak bisa apa-apa.
Bapak memang tipe orang yang tidak bisa dicegah kehendaknya.
Apa yang sudah menjadi keinginannya tidak bisa ada yang mencegahnya. Dengan
berat hati, Ibu merelakan Bapak pergi ke ladang meskipun dalam kondisi
kesehatan yang kurang baik.
Ibu masuk ke dapur lalu meletakkan piring yang sudah ia cuci di rak piring. Aku dan Rina masih
bercanda gurau di halaman rumah yang tidak begitu luas. Sambil bercanda, kami
berangan-angan ingin menjadi orang yang sukses kelak. Dan kami akan memberikan
santunan bagi setiap keluarga kurang mampu, agar tidak ada lagi keluarga
seperti kami di tanah Indonesia tercinta ini.
‘Kak, nanti kalo aku sudah besar, aku mau jadi bupati.’ Rina membuka khayalan tingkat tinggi.
‘Kalo aku, mau jadi menteri perekonomian,’ aku tidak mau kalah.
‘Emang, kenapa kak? Kok pengen jadi menteri perekonomian?’ Rina mulai serius menanggapi khayalan ini. Matanya sangat
antusias untuk ingin tahu alasanku memilih menjadi Menteri Perekonomian.
‘Haaa~… Aku
tau. Mau korupsi, ya?’ tebakan Rina.
Namun lebih ke ejekan. Tangannya menunjuk ke mukaku sampai hampir menusuk ujung
hidung pesek ini. Aku mencoba
menyingkirkan tangan Rina dan berkata.
‘Yee, enak aja. Meskipun aku jelek begini tapi sory,
kalo buat korupsi, aku gak mau,’ tegasku
mantep.
‘Emang kenapa kak? Kan biar cepet kaya?’ Rina masih mengorek lebih dalam informasi tentang Menteri
Perekonomian. Ia semakin antusias. Aku seperti obyek wawancara sore itu untuk
Rina.
‘Iya, memang aku kaya. Tapi, masyarakat Indonesia banyak
yang miskin karena hak mereka aku ambil. Terus, kalo tertangkap aku bisa
dipenjara. Kan aku gak mau dipenjara. Aku juga gak mau menyusahkan orang lain. Lebih baik Aku hidup sederhana tapi rakyat Indonesia
sejahtera daripada Aku kaya tapi rakyat banyak
yang miskin.’
Rina terdiam menyimak jawabanku atas pertanyaannya. Bola
matanya terpaku, tak terlihat gerakan pelopak mata.
‘Terus, kamu sendiri kenapa kok pengen jadi Bupati? Kan bupati cowok
biasanya?’ Tanyaku membuyarkan
lamunan Rina. Sempat ia kaget tiba-tiba aku berbalik mewawancarainya.
‘Maka dari itu,
aku pengen jadi Bupati cewek
yang pertama di Kabupaten Tulang Bawang ini, Kak.’ Dengan cepat Rina langsung menjawab. Tampaknya ia telah
mempersiapkan jawaban ini jauh-jauh hari sebelum wawancara denganku.
‘Emang kamu bisa ngaturnya?’
‘Makannya, aku mau sekolah yang sungguh-sungguh dan aku
mau kuliah Kak, biar dapat ilmu yang banyak dan bisa jadi Bupati yang bisa
mensejahterakan masyarakatnya.’ Rina
mantep. Aku masih tercengang mendengarnya.
‘Aku juga gak mau kak, masyarakat Tulang Bawang ini dibodohi
sama oknum-oknum yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Aku kasihan, Kak, aku juga mau buka perpustakaan dan sekolah-sekolah gratis yang
bisa menunjang minat belajar anak-anak disini. Jadi, tak ada kata lagi bodoh, buta huruf, miskin, dan
yang pasti tak ada lagi kata P-E-N-G-A-N-G-G-U-R-A-N.’ Rina semakin
mantep. Aku serasa berada disebuah Talk Show penting di sebuah televisi
nasional dengan narasumber Petinggi Negara. Aku tak percaya gadis kecil
dihadapanku ini berfikir sejauh itu.
Mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut
adik perempuanku. Aku terharu dengan harapan-harapannya. Ternyata, adik
perempuanku memiliki pandangan yang sangat mulia, bahkan tidak semua anak
seuasianya bisa berfikir sejauh itu. Aku
serasa ingin menangis haru, namun aku tidak mau meneteskan air mata di depan Rina.
Aku hanya mengangguk-ngangguk, sambil mengatakan , ‘Setuju’
dengan mengacungkan jempol.
Setelah kami selesai
berbincang-bincang di Talk Show sore, kami buru-buru masuk ke-rumah untuk kemudian mandi. Dudukku disebelah kambing yang dengan santainya menyantap
rumput hijau yang aku hidangkan sembari menunggu Rina selesai mandi lalu aku
gantian mandi.
Kandang kambing adalah tempat untuk aku melakukan
meditasi jika stress. Aku duduk di tempat makan kambing sambil menatap
kambing-kambing. Aku ingin sekali mewujudkan impian Adik perempuanku. Tapi,
gimana caranya? Mustahil kah semua
ini Tuhan? melihat
ke-adaan aku sekarang, nampaknya mustahil untuk mewujudkan semua itu. Berikan petunjuk-Mu Ya-Allah.
Namun, Aku tidak begitu saja menyerah dengan ke-adaan,
Dibalik Kesusahan Pasti Ada Kesuksesan.
Dibalik Siksaan Pasti Ada Kebebasan. Dibalik Usaha Pasti Ada Keberhasilan. Asal Kita Mau Berusaha Untuk Menggapainya. Sebuah opini yang selalu aku pegang teguh demi
membangkitkan semangatku untuk berjuang.
Di dalam rumah Ibu mulai cemas karena
sudah hampir jam enam Bapak tak kunjung pulang dari kebun. Ibu mondar-mandir di dapur dengan perasaan was-was. Khawatiran
seorang istri terhadap sang suami terlihat dari wajah Ibu. Karena khawatir Ibu menyuruhku
untuk menyusul Bapak di lading.
‘Ed, coba kamu lihat Bapak mu di kebun, Nak. Kok jam segini belum pulang?’ Pinta Ibu kepadaku. Aku segera beranjak.
‘Lho, Bapak ke-kebun to, bu? Kok di bolehin sih, Bu? Kan
Bapak masih gak enak badan,’
‘Tadi Ibu sudah sempat melarang. Tapi kan, kamu tau sendiri gimana Bapakmu. Kalo sudah jadi
kehendak, gak bisa tidak.’ Kata Ibu, mencoba menjelaskan. ‘Ya sudah,
buruan jemput sana,’ Lanjutnya memintaku
untuk segera menyusul ke ladang sebelum magrib tiba.
Aku lari dengan tergesa-gesa. Aku takut terjadi sesuatu
dengan Bapak. Aku tidak akan bisa mengampuni diriku
sendiri jika terjadi apa-apa dengan Bapak.
Dalam perjalanan menuju ke ladang sambil lari aku terus saja khawatir.
Perasaanku tidak bisa tenang, banyak pikiran-pikiran yang tidak seharusnya aku
fikirkan di kepalaku.
Betapa kagetnya diriku begitu sampai di ladang. Suasana mencekam.
Langit yang mulai gelap, serta angin yang bertiup kencang menggoyangkan
pepohonan yang menjulang tinggi. Seperti ilalang yang tiada daya terhempas
angin. Sangat kuat sekali kekuatan angin. Sungguh hebat yang namanya angin.
Bermanfaat dan berbahaya. Suara-suara anjing hutan terdengar seperti sebuah
kontes paduan suara. Sangat kompak. Mereka saling memadukan suara sehingga
menghasilkan nada indah namun menyeramkan. Aku hanya bisa merinding ketakutan. Bola
mataku tak berkedip. Mengantisipasi serangan anjing yang tak terima terhadap
komentarku. Ah, kemana kubawa lamunan ini.
Kutatap sekeliling dengan mata tajam. Namun, sejauh mata
memandang, tak kulihat tanda-tanda keberadaan Bapak. Aku semakin
khawatir, sampai-sampai aku menyimpulkan hal negatif, mulai dari: Bapak diculik hewan buas, hilang entah kemana, pingsan,
dan hilang dibawa hantu. Oke, yang terakhir sepertinya tidak mungkin. Hantu
mana yang mau ngambil bapak-bapak, sudah
tua?
Aku berjalan dari ujung ke ujung. Jurang yang ada di ladang sudah aku periksa dengan mata melotot
tanpa berkedip. Namun aku tidak juga melihat keberadaan Bapak. Aku semakin
takut, akhirnya aku memastikan keberadaan Bapak dengan cara memanjat salah satu
pohon yang cukup tinggi, agar bisa melihat lebih luas. Dengan begitu aku bisa dengan mudah memantau keberadaan Bapak.
Kuatnya angin pada sore itu cukup untuk membuat batang
pohon yang aku panjat goyang kesana-kemari. Berada di atas pohon yang tengah
terbawa arah angin membuat aku takut dan sangat was-was apabila tiba-tiba pohon
tumbang. Aku semakin sedih karena sudah hampir magrib Bapak belum
juga aku temukan. Sambil
turun dari pohon aku masih menangis
sedih.
Begitu aku sampai di bawah, Adzan Magrib telah di
kumandangkan. Itu artinya, sampai Magrib Bapak belum juga aku temukan. Aku
pulang dengan muka lesu. Sambil memukul-mukulkan tangan
kesetiap ranting pohon yang menghalangi langkah kakiku. Ranting-ranting yang menghalangi jalanku sudah ku anggap
sebagai musuh. Kuanggap mereka barisan tentara Nazi yang menakutkan dan harus
dimusnahkan.
Sesampainya di rumah, dengan rasa sangat bersalah aku
jujur terhadap Ibu. ‘Bu,
Bapak gak ada di kebun. Padahal aku sudah cari kemana-mana di sekeliling
kebun tetangga pun sudah aku cari, Bu, namun Bapak gak ada. Maafin Edi,
Bu?’ aku menunduk sedih. Perasaan
rasa bersalah membuatku tak ada daya untuk menatap mata Ibu. Aku memilih
menunduk karena aku tidak pantas untuk menegak ke atas.
Ibu hanya bengong. Suasana hening.
‘Kamu tu kenapa? Kok mukanya kusam banget? Terus
ngomongnya ngelantur. Bapakmu itu
sudah pulang. Tuh, orangnya juga baru selesai mandi.’ Kata Ibu ketika mau
ambil air wudhu. Mendengar perkataan Ibu, aku serontak menegakkan kepala dengan
mata melotot muka lega sedikit bingung.
‘Yang bener, Bu? Kok gak ketemu aku di jalan?’
‘Tadi Bapak lewat jalan sebelah, makannya gak ketemu
kamu.’
‘Syukurlah kalau Bapak sudah pulang. Aku jadi lebih
tenang, Bu. Aku fikir
tadi Bapak kenapa-napa.’ Aku menghelai
napas lega.
Ibu hanya tersenyum lalu mengambil air wudhu. Aku kembli
duduk di depan pintu dapur dengan nafas ngos-ngosan, muka berantakan. Serasa baru saja berburu rusa dihutan namun malah
mendapat Hamster. Namun aku
lebih tenang, se-enggaknya Bapak tak kenapa-napa.
Di saat aku lagi duduk santai melepas lelah, Ibu menegur
sambil menepuk pundakku dari belakang.
‘Buruan mandi, keburu malam. Terus sholat, berdoa, biar
dilancarkan rizkinya,’
‘Iya, Bu.’ Jawabku
singkat. Aku beranjak dan segera mandi kemudian shalat.
Setelah selesai mandi, aku buru-buru ngambil air
wudhu, karena sebentar lagi sudah waktu Shalat
Isha. Aku sholat dengan
khusuk agar sholatku sempurna. Begitu selesai, tak lupa aku memanjatkan Doa kepada
sang maha pencipta.
“Ya-Allah, sesungguhnya rizki dan kebahagiaan manusia telah
engkau tentukan. Hamba hanya manusia
biasa yang jauh dari kata sempurna. Hamba hanya bisa memohon kepada engkau agar hamba diberi ketabahan dalam
mejalani hidup dan atas segala cobaan yang engkau berikan. Hamba yakin, dibalik
semua ini pasti engkau telah menyediakan hadiah terindah untuk keluarga kami.”
Paginya aku membantu Bapak di ladang. Sambil menunggu
pengumuman kelulusan tak ada salahnya jika aku membantu Bapak, itung-itung
mengurangi beban pekerjaan Bapak. Daripada di rumah menganggur.
Komentar
Posting Komentar