Lampung Is The Best
Lampung Is The
Best
Apa yang ada di dalam benak kalian ketika dengar
kata Lampung? Oke, kalian gak perlu jawab, karena gue sudah tau apa jawaban
yang akan kalian katakan. Begal, kekerasan, maling, licik dan yang
terakhir wajah jelek! Jelek sebenarnya bukan
reeeellll manusia Lampung. Gelar wajah jelek kami dapatkan setelah Andhika
Kangen Band terkenal. Gue gak tau kenapa si doi ini suka banget bikin
orang-orang Lampung terkesan memiliki wajah jelek. Padahal ya, kalau
dibandingkan dengan Negara-negara berkembang lainnya Lampung lah yang tergolong berwajah tampan-tampan.
Tapi, gara-gara si manusia satu ini akhirnya gelar wajah jelek selalu menempel
pada diri kami. Si laki-laki tampan asal Lampung.
Gue sebenarnya tidak menyalahkan si Andika, karena
menurut gue dia gak jelek-jelek banget. Buktinya dia sampek tiga kali kawain,
berartikan dia laku. Kalau udah laku berarti
gak jelek dong? Bener gak?
BEGAL! Jujur, gue sedikit gak nyaman dengan gelar
yang satu ini. Dimana kaki gue berpijak di sana pasti akan ditanya “kamu asli
mana?” dan gue gak mungkin bohong saat mereka bertanya. Gue jalan jujur jika
gue berasal dari Lampung. Tapi apa yang terjadi? Dia langsung pergi. Ada juga
yang langsung menggenggam erat kunci motornya. Saking takutnya sampai ada yang
langsung ngerante motornya. Dan yang susah saat di depan umum, mereka saling
memandang dan berbisik lalu setelah itu mereka akan langsung pamit pulang
dengan alasan-alasan yang gak wajar. Pagal, gak semua orang Lampung itu jahat. Banyak kok orang
Lampung yang baik. Contoh nyata ya gue ini lah. Laki-laki ganteng, baik,
perhatian, gak sombong, suka menabung dan perduli lingkungan.
‘Serahkan HP dan uang yang ada di dompet kamu!’
Pinta dua orang laki-laki tinggi, hitam dan berwajah seram. Gue terdiam tanpa
kata menahan rasa takut karena tepat diperut gue ditempelkan sebuah Badik
(pisau khas lampung).
‘Sa-ya, gak punya HP, Bang.’ Gue semakin gemetaran.
‘KAMU MAU MAEN-MAEN? MAU KAMU BADIK INI NANCEP DI
PERUT KAMU?’ Ancamnya. Gue semakin gemetaran sampai hampir saja gue pipis
dicelana. Akhirnya denga berat hati gue relakan HP dan se-isi dompet diambil
orang.
Saat itu gue pergi kesebuah jembatan yang lumayan
agak jauh dari rumah. Katanya sih disana banyak ikannya. Karena gue suka
mancing, ya gue coba untuk buktiin aja. Setibanya di sana, waktu itu sekitar
jam tiga sore, suasana masih sepi karena biasanya pemancing datang sekitar jam
empat sore sampai malam. Gue standar motor butut gue dibawah pohon mahoni. Gue
puter musik agar tidak terlalu sepi. Gak lama gue duduk memasang umpan lalu
melemparkan kail di air tiba-tiba datang dua orang laki-laki besar menghampiri
gue.
Tanpa lamma-lama dia langsung menodongkan badik dan
meminta semua barang-barang berharga yang gue miliki. Kalau kata masyarakat di
Lampuung itu namanya MALAK. Nah, gue inilah sebagai korban PALAK! Ingin
sebenarnya gue melawan mereka, namun gue kalah postur tubuh dan kalah senjata.
Mereka pegang badik sedangkan gue hanya pegang pancing. Beluum juga melawan
mungkin gue sudah buat umpan pancing sama mereka.
Emang gak enak banget Gan hidup di Lampung itu. Kita
harus extra was-was saat kita bepergian sendirian. Gue inilah yang mengalaminya
sendiri. Untuk sekedar berwisata di daerah sendiri saja kita harus was-was
takut ada yang malak. Setiap tempat pasti ada. Dimana ada kesempatan disitulah
letak kejahatannya terjadi. Gue aja heran, kenapa budaya di sana kok seperti
itu. Sumpah! Gak ada tempat wisata yang maju di Lampung khususnya di daerah gue
yaitu Tulang Bawang. Bagaimana mau maju, baru saja dikunjungi sudah dimintain
duit, ya orang males mau datang lagi. Gak sedikit para pelajar yang jadi
korban. Mulai dari HP, Motor, Uang sampai emas pun mereka ambil. Gak pandang
bulu. Yah, itulah susahnya hidup di daerah sekeras Lampung. So, jika kalian gak
siap untuk hidup di Lampung, lebih baik kalian pikir-pikir dahulu untuk
berkunjung ke Negeri kami yang indah itu.
Meskipun menyimpam banyak kejahatan, jujur, gue
sangat bangga hidup di Lampung. Banyak sekali pelajaran dan hikmah yang bisa
gue ambil dari kerasnya dan kejamnya hidup di Lampung. Gak ada Lampung maka gak
mungkin ada gue. Karena gue lahirnya di Lampung.
Dengan kehidupan keras di Lampung mental gue sangat
terasah untuk menjadi orang yang tidak menyimpan rasa takut. Gue terlatih
dengan kehidupan keras. Dan karena kehidupan keras di Lampung lah gue bisa
bertahan hidup di perantauan. Mulai dari Bandung sampai bisa ke Jogja. Tanpa
bekal mental yang kuat mungkin gue gak bisa bertahan selama ini. Gue sangan
bersyukur terlahir di Lampung meskipun gue bukan penduduk asli. Gue sangat
bangga dan sampai kapan pun KTP gue akan tetap Lampung.
Gue pernah tinggal di Bandung selama sembilan bulan.
Gue juga pernah menjadi kuli panggul di pabrik textil di Bandung selama 7
Bulan. Gue pernah melamar kerja sampai ditolak mentah-mentah karena nilai Ujian
Nasional buruk alias JELEK!
Gue akan berbagi cerita sekilas tentang pengalaman
gue melamar kerja sampai harus masuk dalam pegawai Gudang sebagai Kuli Panggul.
Hal bodoh yang menurut orang lain mungkin gue ini
gila telah gue ambil. Hal yang membuat penyesalan namun sekaligus hal yang
membuat gue semakin berpengalaman. Demi memikiekan ego gue sendiri tanpa
berkaca kepada orang tua gue memutuskan berhenti dari kuliah. Baru dapat tiga
bulan belum sampai satu semester gue berhenti. Banyak faktor yang mempengarungi
gue untuk berhenti. Salah satunya faktor pergaulan.
Di Lampung gue hidup tidak di kota-kota amat lebih
tepatnya pedalaman. So, begitu gue keluar dan ngambil Kuliah di Bandung gue
berubah jadi liar. Waktu yang seharusnya gue gunakan untuk kuliah ini malah gue
gunakan untuk main, foya-foya sampai harus kenal dengan obat-obatan. Ini bukan
untuk ditiru, karena ini adalah penyesalan yang gak mungkin pernah gue lupakan.
Maaf jika gue menuliskan tentang ini, gue hanya ingin berbagi bagaimana dampak
yang ditimbulkan jika kalian melakukan hal demikian.
Dua bulan dari awal gue diputuskan diterima di
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Bisnis gue sudah mendapat surat peringatan. Di
dalam surat itu bertuliskan bahwa gue harus segera masuk kuliah jika gak pengen
di DO. Jangan sebut gue kalau gue gak hiraukan surat peringatan itu. Gue justru
malah asyik jalan-jalan, bersenang-senang dengan teman-teman. Belum ada
penyesalan di sana.
‘Mending lo itu keluar aja. Daripada Cuma
ngabis-ngabisin duit tapi gak pernah masuk. Mending duitnya di pake
seneng-seneng bareng kita-kita.’ Seru salah satu sohib gue yang tengah duduk
santai digasebu pinggir pantai. Dia berada dibarisan paling ujung. Di barisan pertama ada gue sendiri, Wiwit
Sugiarto. Di barisan kedua ada Ujang Ahmad. Di barisan ketiga Edi Suarna dan di
barisan terakhir ada Dani Saputra.
Gue kenalin nih sohib-sohib gue senasib dan setanah
air.
Ujang Ahmad, manusia satu ini asli berasal dri
Bandung. Logat sundanya gak bisa lepas dari setiap dia mengucapkan kata. Gue
juga gak tau kenapa, mungkin ada yang salah dengan lidahnya. Bandung bukan
berati Kota, tapi dia lebih ke pelosoknya Bandung yaitu Banjaran. Letaknya
jauhhhhh dari pusat Kota Bandung. Laki-laki kampret dengan tubuh kurus kecil
pendek ini hobinya ngerentalin kaset-kaset porno ke teman-teman sejomblonya.
Dari uang hasil itulah si kampret satu ini bisa hidup.
Edi Suarna. Wah, kalo manusia satu ini mah gak usah
dikenalin dech kayaknya. Gue males mau ngetik buat ngenalis dia. La di atas
udah gue kenalin plus promosiin malahan. Kalo sekarang gue kenalin lagi, dia
dong yang bakalan terkenal sedangkan gue Cuma berada dibalik layar. Sedih dong
gue. Ya-sudahlah gue kenalin. Namanya Edi Suarna asal Lampung. Sudah, itu lebih
dari cukup, hihiii.....
Nah, kalau yang satu ini jangan ditanya. Dani
Saputra, si ganteng asal Jakarta ini adalah teman yang paling bersih, yang
paling ganteng, yang paling tinggi, yang paling tinggi dan yang paling
kampreeeddddd. Dani adalah orang yang selalu menghasud gue untuk berhenti
kuliah.menurut dia kuliaah itu gak penting, toh ujung-ujungnya cari duit juga.
Satu bulan yang lalu dia telah resmi berhenti dari kuliah, disusul Ahmad dan
sepertiya gue korban selanjutnya. Edi? Hah, Edi mah udah keluar sejak dari
awal. Orang dia gak kuliah.
Wajah ganteng yang dimiliki Dani dia gunakan untuk
menggaet setiap wanita cantik yang dia taksir. Sepertinya guekan dia yang
naksir, tapi para cewek-cewek yang ngebet pengen kencan sama dia. Gue gak
ngerti dunia bisa tidak adil seperti ini, namun yang jelas manusia-manusia yang
seperti inilah yang bakalan ngerusak Negara.
Dani sekarang bekerja menjadi asisten Abangnya yaitu
sebagai Crew Photo Grapher, karena kebetulan sang foto graper tidak lain adalah
Abanngnya sendiri. Setiap hari dia melihat model yang cantik-cantik dan yang
pasti sexy-sexy. Karena itu dia memilih untuk berhenti kuliah. Dan karena itu
juga dia selalu menghasut gue untuk berhenti. Gue akan dijadikan sebagai crew
Abangnya juga.
‘Hasutan lo udah sangat nyaring terdengar ditelinga
gue, seolah gue ini adalah keledai yang harus sirna dari muka bumi ini.’ Entah
gue ngomong apa. Semuanya keluar begitu saja.
‘Woy, lo ngomong apa? Telinga gue langsung bergerak
dengan omongan lo, hahahaaahuaaa....’ Edi membalas ucapan gue. Kami tertawa
lebar sampai jungkir balik digasebu.
‘Sudahlah, keluar aja. Lebih baik bekerja, uang
banyak, damai, bisa jalan-jalan untuk senang-senang dan yang jelas gak perlu
pusing-pusing ngerjain tugas. Bener gak?’ Dani masih mencoba menghasut gue.
Kali ini dia minta dukungan yang lain untuk melancarkan hasutannya. Ahmad, Edi
hanya mengangguk-ngangguk sambil tersenyum kecil mengamini kata-kata Dani.
Satu minggu kemudian, gue buka jendela rumah kos dan
gue sambut mentari yang bersinar terang di atas sana. Mentari pagi yang terang
seolah menyambut hari baru gue. Hari dimana gue bukan lagi berjuluk Mahasiswa
bukan jugaa karyawan tapi gue adalah Pengangguran. Gak tau pengangguran sukses
apa pengangguran suram. Namun belum gue alami dampak dari semua keputusan bodoh
ini.
Dani menyambut keputusan gue dengan gembira.
Wajahnya sumeringah begitu sampai di kamar kos yang sangat berantakan. Dia
datang bersama seorang wanita sexy yang katanya kekasihnya. Gue gak tau udah
berapa banyak wanita yang menjadi kekasihnya yang dia bawa ke kamar kos hari
ini.
‘Nanti sore lo ikut gue. Ada pemotretan di Paris Van
Java. Lo kudu siap, oke.’ Dani mengacungkan jempol lantas masuk ke dalam kamar.
Kebetulan kamar Dani bersebelahan dengan kamar gue.
‘Oke,’ balas gue sumeringah.
Hah, gue bakalan dapat uang banyak. Ngapain kuliah
ngabisin duit, lebih baik gue kerja dapat duit, bisa liat cewek-cewek sexy
lagi. Pikir gue dalam hati. Gue mandi dan langsung pergi ke begadaian untuk
nebus Laptop karena dua minggu yang lalu laptop masuk pegadaian. Gue hadai
laptop untuk biaya operasional senang-senang.
Saatnya tiba, hari pertama gue bekerja akan gue
lakukan dengan semangat. Gue nunggu Dani untuk datang menjemput gue. Satu jam
lebih gue nunggu namun belum juga datang. Gue masih nunggu di kamar sambil
melototin tipi yang acaranya juga gak jelas. Beberapa detik kemudian HP gue
bergetar. Gue lihat dilayar ada nama Dani. Ah, akhirnya Dani memanggil juga.
Gue angkat lalu-...??????????
Semuanya berasa lenyap terhempas badai tornado.
Bahagia itu hilang, harapan itu sirna, penyesalan ini akhirnya tiba. Dani
bilang pemotretan dibatalkan. Bahkan mungkin untuk selamanya. Gak akan ada lagi
pemotretan, gak akan adalagi pekerjaan. Abangnya Dani, sang foto Grapher
playboy ditangkap polisi karena ketahuan menggunakan Narkoba. Dan sekarang ini
posisi Dani sedang di kantor polisi menemani Abangnya.
Gue hanya tertunduk lemas di dalam kamar.
Suara-suara ditelinga gue seperti hempasan angin yang berlalu begitu saja. Gak
ada harapan buat si bodoh ini. Lalu apalagi yang akan gue lakukan jika sudah
seperti ini. Ahmad datang membawakan makanan, sayang, nafsu makan gue sudah
hilang terbawa dengan harapan. Perutku serasa kenyang terisi penyesalan.
Satu minggu kemudian gue baru sadar jika keputusan
yang sudah gue ambil harus gue pertanggungg jawabkan. Inilah resiko dari
keputusan ini. Keuangan mulai menipis, kiriman dari Lampung terhambat karena
pendapatan semakn berkurang. Bokap belum tau jika ternyata gue berhenti kuliah.
Uang kiriman sudah terlanjur gue gunakan untuk foya-foya.
Sumpah! Gak punya duit itu gak enak banget. Mau
minta takut di tempeleng Bokap. Mau bilang udah gak kuliaah apalagi, bisa
dihantam habis gue. Akhirnya setelah seminggu merenung gue baru sadar jika gue
bukan lagi remaja yang bisanya hanya minta-minta kepada orang tua. Gue beli
beberapa kertas folio lengkap dengan
MAP. Gue tulis surat lamaran kerja lalu gue masukkan kedalam map. Gue buka
google untuk mencari info lowongan pekerjaan. Gak butuh waktu lama gue sudah
menemukan apa yang gue cari. Ya, lowongan pekerjaan.
Ke-esokan harinya aku langsung datang ke BEC Bandung
Electronik Center). Bukan, buka untuk membeli HP atau barang-barang
elecktronik, tapi kali ini untuk melamar pekerjaan. Dua kali naik angkor
akhirnya gue sampai ditempat. Gue langsung menuju kelantai dua ruko mall urutan
D 21.
‘Benar nama kamu Wiwit Sugiarto?’ Interviw telah
berlangsung. Sepasang suami istri bermata sipit berkulit putih itu duduk manis
dihadapan gue. Sang istri tengah hamil tua. Haa, gue tau, mereka adalah
keturunan cina. Jujur, gue gerogi banget! Hampir saja gue balik badan lalu lari
keluar sekencang-kencangnya. Ini adalah pengalaman pertama gue melamar kerja
sekaligus intervew kerja. Sang suami masih menimang-nimang memastikan wajah gue
yang ganteng ini.
‘Kamu dari
Lampung?’ sang istri kembali bertanya. Aku mengangguk tersenyum kecil.
‘Kok nilai Ujian kamu kecil-kecil sekali ya.’
Ucapnya seolah gak percaya dengan nilai yang dia lihat di foto kopian ijazah
gue. Matanya menyeka seperti menghina.
‘Ini benar nilai ujian kamu?’ Gue semakin tersudut.
Kali ini gue gak bisa tersenyum lagi meskipun hanya senyuman hambar. Gue justru
pengen cepet-cepet selesai intervew agar gue bisa lepas dari mesin penekan
batin. Gak diterimaa kerja gak apa-apa yang penting gue gak stres karena
ditekan.
Sang suami berdiri lalu, ‘ya-sudah, akan kami
pertimbangkan surat lamaran kamu ini. Jika kamu diterima kami akan
menghubungimu. Tunggu saja kabar selanjutnya dari kami.’ Tampaknya sang suami
gak terlalu lama mengintervew obyek yang hanya memiliki kualitas otak
pas-pasan. Dia tampak malas melihat wajah gue yang ganteng ini.
Gue mengangguk lalu segera pamitan keluar. Hah,
kamfreeeddddd..... Malu bener gue hari ini. Ternyata melamar kerja gak semudah
dengan apa yang sudah gue pikirkan. Pulang dari BEC gue hanya klontang-klantung
di Tegalega untuk menenangkan pikiran. Pikiran yang hampir saja stres karena
tekanan batin. Entah sala gue atau nilai Ujian Nasional gue, yang jelas gue
dihina habis-habisan. Gue tau gue telah di tolak mentah-mentah, namun hanya
saja caranya lebih lembut. Lembut tapi menyakitkan.
Sebulan kemudian gue masih klontang-klantung gak
jelas. Semua barang-barang berharga yang
ada di dalam kamar udah gue gadai. Entah siapa yang akan menebusnya. Penyesalan
gue untuk berhenti kuliah harus gue bayar mahal dengan sebuah penyesalan. Nilai
ujian SMA yang pas-pasan membuat gue susah melamar kerja. Beberapa kali gue
mengajukan surat lamaran kerja namun tetap gak ada balasan. Gue seperti
berharap kosong. Ingin rasanya gue jujur kepada orang tua tentang kuliah namun
gue takut.
Akhirnya, sebuah harapan itu muncul. Gue mendapat
panggilan dari salah satu perusahaan yang gue ajuin surat lamaran kerja. Gue
diterima di pabrik textik namanya Poleronusa. Sebuah pabrik textil yang
terletak di Jl. Moh Toha, Dayeuhkolot. Senang sekali rasanya bisa bekerja.
Penuh semangat gue datang untuk melakukan intervew. Sesampainya disana gue
langsung dihadapkan dengan HRD perempuan yang berpostur pendek, gemuk berkulit
hitam. Entah ini manusia atau bukan, yang jelas gue sangat berterimakasih
kepada beliau karena tidak mempermasalahkan nilai Ujian gue. Mudah sekali di
sini. Pikir gue dalam hati. Gak banyak pertanyaan yang diajukan. Hanya dua, ya,
hanya dua.
Pertama: Kamu kuat apa tidak?
Kedua: Kamu sehat kan?
Udah, hanya itu. Iya, ya cuma itu saja yang ia
tanyakan. Gue aja heran, padahal ini perusahaan besar, tapi mudah sekali proses
intervewnya. Tidak seperti kemarin-kemarin, nilai Ujian dimasalahkan.
Hari itu juga
gue langsung diterima dan langsung bekerja. Gue dibawa ke bagian gudang. Gue
melihat banyak pegawai gudang yang sedang manggulin kain. Aha, gue tau
sekarang, kedudukan apa yang akan diberikan kepada lulusan SMA seperti gue.
Pasti dibagian Administrasi Gudang. Tidak terlalu buruk. Pikir gue penuh harapan.
Namun sayang, sepertinya harapan gue kali ini salah.
Bukan Admnistrasi melainkan menjadi kuli. Yuuppz, gue ditempatkan sebagai kuli
panggul. Wahai Tuhan, inikah pilihan itu? Gue gak percaya dengan semua ini.
Dengan berat hati akhirnya gue jalani hari pertama. Gue panggul kain dari mobil
dibawa ke gudang kemudian memasukan kain yang sudah jadi dari gudang ke mobil
untuk dikirim ke perusahaan lain.
Hari pertama gue lalui dengan sangat tersiksa. Badan
gue berasa pegel semua. Tapi, jangan sebut orang Lampung kalo gampang menyerah.
Gue kembali berangkat di hari kedua. Manggul, manggul dan manggul. Itulah
pekerjaan yang gue harus lakukan selama delapan jam. Dari mulai jam tujuh pagi
sampai jam tiga sore. Itu jika tidak ada lembur, jika ada lembur bisa sampai
jam enam bahkan jam tujuh malam.
Satu minggu sudah gue bekerja sebagai kuli pannggul.
Badan gue udah mulai kerasa ancurnya. Setiap malam edi gue suruh mijitin
pinggang yang berasa mau patah. Beberapa kali Bokap dan Nyokap gue telpon
menanyakan kuliah gue. Dengan berat gue jawab, “Lancar.” Gue masih berbohong.
Kiriman dari nyokap gue pakek untuk jalan-jalan.
Satu bulan sudah gue bekerja sebagai kuli panggul.
Kini, tiba saatnya gue menerima gajih pertama. Waw, gajihnya lumayan besar.
Ternyata kerja keras sebagai kuli panggul, badan lelah, semuanya terbayar lunas
saat menerima gajih. Kepuasaan tersendiri saat gue menerima uang hasil keringat
sendiri. Berbeda dengan uang yang hanya minta dari orang tua. Kini gue
jadi lebih bisa menghargai uang. Gue
merasakan bagaimana susahnya mencari uang. Jadi, gue harus menghargai uang.
Tidak hanya menghambur-hamburkan uang demi kesenangan pribadi.
Lima bulan sudah gue bekerja di pabrik texril. Masih
sama, belum ada kenaikan jabatan atau perubahan pekerjaan. Masih setia dengan kuli panggul. Kali ini gue
udah gak pernah mengeluh lagi. Gue udah terbiasa dengan beban-beban berat.
Beban seberat 25 – 40 kilo gram gak berasa berarti di pundak gue. Tabungan mulai terkumpul. Gue udah berani
jujur kepada orang rumah dan gue siap untuk berttanggung jawab. Bokap bisa
memakluminya. Beliau tidak menyalahkan gue, justru beliau yang merasa bersalah
karena tidak terlalu memperhatikan gue yang jauh disebrang. Beliau malah sibuk
dengan pekerjaannya ketimbang memperhatikan anaknya yang sedang menimba ilmu
ditanah seberang.
Tujuh bulan berlalu. Banyak pegalaman yang gue dapat
dari menjadi kuli panggul. Banyak ilmi yang bisa gue ambil selama bekerja di
pabrik. Banyak teman yang bisa gue ajak sering.
Dan cukup uang untuk kembali mendaftar kuliah. Gue paham dengan srti
semua ini. Gue harus kembali bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Ternyata kuliah
bukan hanya sekedar untuk mencari kerja, tapi juga bisa meninggikan derajat
kita. Memang kuliah ujung-ujungnya hanya
untuk bekerja, namun bekerja dengan otak tidak dengan otot seperti yang gue
rasakan saat ini. Gau tau, bahwa gak selanya yang gue anggap benar itu benar.
semua yang gue anggap sama itu sama. Dan semua yang gue anggap salah itu salah.
Pengalaman ini, pengalaman ini menjadi bekal penting
bagi perjalanan hidup gue yang masih panjang ke-depan. Pahit, manis, berat,
ringan, susah, senang sudah gue rasakan. Lampung mengajarkan gue untuk menjadi
seorang yang tidak mudah menyerah. Dan itu benar, gue akhirnya bisa bangkit dri
penyesalan yang siap menghancurkan hidup gue jika gue tidak punya mental baja
seperti mental anak-anak Lampung.
Delapan bulan berakhir. Gue memutuskan untuk
berhenti bekerja. Bukan karena gue malas bekerja ataau gue hanya mau foya-foya.
Tapi gue berhenti bekerja meninggalkan gajih besar, meninggalkan kemewahan demi
melanjutkan kuliah. Menuntut ilmu yang katanya hanya akan membuang-buang uang
saja. Tapi gue percaya, dengan kuliah masa depan gue bisa lebih baik lagi.
Banyak yang mendukung langkah ini, termasuk sahabat-sahabat di gudang, Pabrik
dan si Personalia gendut yang mengintervew gue diawal masuk pabrik.
Gue memilih Jogja untuk proses menuntut ilmu.
Menurut gue di Jogjalah gue bisa menuntut ilmu dengan benar. Disana juga gue
akan mendapat banyak ilmu baik dari bangku kuliah ataupun luar kuliah.
Disanalah letak kota pendidikan. Bokap dan Nyokap serta abang-abang gue
mendukung langkah ini. Keputusan berat yang harus gue ambil meninggalkan
pekerjaan dengan gajih besar demi menuntut ilmu. Atau memiliki pekerjaan
bergajih besar namun sebagai pegawai kasar karena gak punya ilmu.
Itulah sepenggal kisah gue dan penyesalan gue selama
ini. Itu adalah kesalahan terbesar gue. Menyesal tidak ada yang didepan. Semua
itu pasti terletak dibelakang. Coba kalian bayangkan, berapa banyak di Indonesia
yang pengen kuliah tapi gak bisa karena gak ada biaya? Berapa banyak yang
kuliah dengan fasilitas lengkap? Berapa banyak yang mendapat beasiswa? Dan
berapa banyak yang kuliah namun dengan sungguh-sungguh?
Jika ada kesempatan untuk kuliah maka selesaikanlah
selagi orang tua mampu untuk membiayaimu. Kuliahlah dengan sungguh-sungguh.
Jangan kecewakan orang tua yang telah banting tulang untuk membiayaimu. Gue
adalah salah satu mahasiswa dari sekian banyak mahasiswa yang mungkin memilih
berhenti kuliah karena lebih memilih bersenang-senang. Tapi gue adalah
satu-satunya yang mungkin yang bisa bangkit dan kembali ke jalan yang benar.
saran gue, jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depan mata.
Karena belum tentu kalian masih bisa menghirup udara seperti hari ini.
Jika kalian setuju dengan pendapat gue ini maka
tersenyumlah. Dan jika kalian tidak setuju kalian boleh menyoret bagian ini.
Semua ini gue tulis berdasarkan apa yang pernah gue rasakan dan gue hadapi.
Komentar
Posting Komentar