Ibu, Kau kah Bapakku?
Suara gemuruh tepuk tangan megiringi langkah kakinya kala ia menuju podium
di atas panggung didepan
sana. Perlahan namun pasti. Suara tepuk tangan itu masih
sangat terdengar meriah mengiringi langkah kaki yang seakan tidak percaya dengan
hari itu.
Sesuatu yang tidak pernah terfikirkan olehnya. Para undangan yang berada didepan pangpung menatapnya
puas, bangga dengan dirinya. Beribu-ribu pasang mata itu
seolah memberinya
energi khusus untuk mencapai podium. Pria itu tidak tahu
dan dia
juga tidak pernah membayangkan jika hari besar ini nyata. Langkah kaki telah membawanya pada podium yang sudah sejak
tadi berada di atas panggung. Bahkan sebelum dia, dan undangan yang lain datang. Dia berdiri di podium- mtatap mereka yang ada dihadapannya. Mereka masih terlihat sangat
antusias.
Aku tidak tahu mengapa aku bisa berada di atas
panggung megah ini. Aku tidak tahu mengapa mereka semua terlihat bangga
denganku. Aku juga tidak tahu mengapa Ayah pergi meninggalkan aku dan Ibu.
Namun aku tahu, mereka semua menyayangiku. Aku tatap para tamu undangan yang
berada dihadapanku. Mata mereka menyala seolah ingin mengatakan 'kamu hebat!'
Aku rasakan kepuasan dari sorot mata mereka yang menyala itu. Aku masih berdiri
menatap mereka. Aku menelan ludah. Perlahan aku mulai menggerakkan bibir yang
kaku ini.
Bismillahirohmannirohim......
Hening.
Tamu undangan
menatapnya serius. Menunggu pidatonya.
Pria itu
buka pidato dengan mengucap basmalah. Dia mulai memberikan
sambutan-sambutan kepada orang-orang yang sangat berjasa atas keberhasilannya. Keberhasilan menyelesaikan
pendidikan sarjana di Perguruan Tinggi terkenal di Indonesia.
Aku
Akbar Nurdaffa Pratama. Aku berdiri disini karena sebuah alasan. Alasan yang
membawaku sampai sejauh ini bahkan sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku.
Aku persembahkan gelar sarjana ini untuk Ibu, yang sudah melahirkanku. Untuk
Ibu yang sudah membesarkanku. Untuk Ibu yang telah menjadi guruku.
Untuk Ibu yang sabar dengan sifat nakalku. Dan, untuk Ibu yang bisa menjadi
Ayah bagiku. Ibu, aku sudah menjadi sarjana sesuai dengan harapanmu dulu. Aku
menyelesaikan pendidikan ini dengan nilai yang sangat memuaskan. Aku tahu, Ibu
tidak akan pernah bisa melihatku berdiri di atas panggung megah ini. Namun aku
yakin Ibu pasti bahagia di alam sana melihatku sekarang ini.
Ibu, jika hari ini kau bisa hadir di acara besarku
ini, pasti aku akan langsung memelukmu dan dengan bangga aku akan mengatakan
jika kau adalah Ibuku. Ibu terbaik diseluruh jagat raya. Aku berjanji. Aku
berjanji pasti akan menemukan dia. Terimakasih Ibu. Terimakasih atas semua
didikanmu. Aku menyayangimu.
Sepatah dua patah kata mulai membawanya jauh dalam pidatonya. Kalimat demi kalimat mulai dia ucapkan. Para undangan terlihat khusuk memperhatikan pidatonya.
Menyimak setiap kalimat yang keluar dari mulut pria didepan sana. Di atas panggung.
Mata tajam pria
itu menatap mereka, si tamu undangan. Mereka para
orang tua yang mendampingi anak-anaknya Wisuda. Berbeda dengan pria ini, di acara
Wisudanyadia justru
hanya sendiri. Sebatangkara. Tidak dapat dipungkiri jika sempat ada rasa iri
terhadap mereka yang masih memiliki kedua orang tua yang utuh. Namun dia sadar, tidak seharusnya sifat iri ini menguasai hatinya.
Pria diatas
panggung itu menatap kedepan kearah para tamu undangan.
Dibalik pintu sana, terlihat seorang laki-laki berjenggot tengah berdiri
menatapnya. Laki-laki
dengan dasi hitam kemeja putih itu masih menatapnya. Siapa dia? Rambutya yang
lurus dan sepatunya yang mengkilap membuat laki-laki itu terlihat sangat
berbeda dari yang lain. Perlahan ia melangkah sambil terus menatap pria di atas panggung ini.
Langkahnya semakin cepat, arahnya semakin jelas. Laki-laki itu mengarah ke panggung megah didepan sana.
Bola mata hitam itu menatapnya tanpa berkedip. Bola mata hitam itu
hampir sama dengan yang dimiliki pria di atas panggung megah ini.
Bola mata yang sangat khas dan memiliki tatapan sangat tajam. Siapakah
sebenarnya laki-laki itu? Dia masih menatapnya sambil bertanya-tanya
dalam hati. Para undangan menatap kearah laki-laki itu karena dia adalah
satu-satunya tamu undangan yang berdiri dan berjalan mendekati panggung. Siapa
dia? Atau dia adalah Ayahku? Mengapa? Mengapa aku merasakan seperti ada yang
menarik dari dalam diriku? Benarkah dia Ayahku?
Namanya Akbar Nurdaffa Pratama, ini adalah kisahnya tujuhbelas tahun yang lalu. Saat
dia
baru tahu jika ternyata Ibu adalah Ayahnya. Dan Ayahnya adalah Ibunya. Saat
ini, Akbar
tengah berada di atas
podium yang terletak di atas panggung megah. Ia berada di atas sana karena
keberhasilannya. Tidak ada yang mendampinginya dihari besar itu. Namun,
kehadiran sang Ibu dapat ia rasakan di dalam jiwanya. Sebuah kebanggaan berada
di atas podium ini, namun semuanya bukan tanpa alasan. Sesuatu yang sejak dulu
ia cari. Sesuatu yang menjadi alasan mengapa dia sampai bisa sejauh ini.
Alasan, dan alasan……… Alasan sebelum terlambat.
Disebuah kampung yang dilewati oleh garis
khatulistiwa, hidup seorang perempuan dengan satu anak laki-laki. Setiap pagi
perempuan itu bekerja keliling kampung untuk menjadi buruh cuci bagi para
tetangganya. Upahnya tidak banyak, hanya cukup untuk keperluan sehari-hari.
Bahkan terkadang kurang.
Sebuah gubuk reot yang terletak di lereng bukit
barisan itu seolah sudah tidak kuat lagi untuk menahan hembusan angin perbukitan
yang terus dan terus
menerpa gubuk reot ini. Atap-atap terlihat bocor,
beberapa sarang laba-laba terlihat menghiasi ruangan pada rumah ini.
Tiang-tiang penyanggah terlihat sudah mulai keropos oleh rayap. Lantai yang
hanya dilapisi dengan tanah, terlihat sangat becek saat musim hujan
tiba. Sebuah ranjang dan kasur kumuh masih terlihat mejeng di dalam kamar.
Pasti masih digunakan
untuk tidur. Kondisi itu sangat memprihatinkan.
Siapa mereka?
Apakah memang masih ada keluarga dengan kondisi seperti mereka di jaman modern
ini? Indonesia telah merdeka beberapa puluh tahun yang lalu, namun kenapa masih
saja ada rakyatnya yang belum merdeka?
Rumah itu, rumah itu tidak lain adalah gubuk tua
milik perempuan si tukang cuci keliling. Namanya Ratmi. Dalam gubuk reot itu tidak
hanya ditinggali oleh Ratmi saja, namun masih ada satu lagi manusia yang
meninggalinya yaitu anaknya. Seorang laki-laki berusia enam tahun. Setiap pagi
anak itu selalu membantu Ibunya untuk mengantarkan pakaian milik tetangga yang
sudah kering. Kadang juga dia membantu Ibunya untuk sekedar membeli diterjen
untuk mencuci. Kehidupannya sangat monoton sekali. Antara baju kotor, sumur,
rumah reot dan kasur kumuh. Tidak ada aktivitas lain yang bisa membuatnya
merasa hidupnya itu penuh warna. Tidak ada waktu untuk bermain, bagi mereka
mencuci dan mencari kayu diladang adalah wahana bermain. Tidak perlu lagi ada
yang namanya bermain.
Anak itu, anak itu masih duduk di bagku SD kelas
satu. Dua minggu yang lalu dia mulai aktif sekolah. Ratmilah yang selalu setia
mengantarnya untuk pergi kesekolah dengan menggunakan sepedah ontel tua
peninggalan kakeknya. Setelah selesai sekolah maka ia akan segera bergegas
membantu Ibunya untuk mencuci baju dan setelah itu ke-kebun untuk mencari kayu
bakar. Wajahnya sangat imut, item mutlak! Anak laki-laki itu terlihat sangat
berbakti kepada Ibunya.
Siapa nama anak laki-laki itu? Akbar Nurdaffa
Pratama. Seorang
bocah kecil yang selalu setia menemani Ibunya, Ratmi untuk mencari nafkah demi
menghidupinya. Akbar Nurdaffa Pratama yang hanya tahu Ayahnya itu adalah Ibunya
dan Ibunya itu adalah Ayahnya. Semuanya masih menjadi rahasia Ratmi.
Akbar tidak tahu bagaimana bentuk wajah Ayahnya. Dia juga tidak tahu apakah beliau masih
hidup atau sudah mati. Ratmi selalu mengalihkan pembicaraan ketika Akbar bertanya soal Ayah. Kata Ibunya, Ratmi, Ayahnya sedang bekerja jauh diluar sana,
namun sejak kecil sampai umurnya enam tahun dia belum pernah juga melihat Ayahnya pulang
kerumah. Di dalam rumah pun tidak ada foto-foto Ayah atau tanda-tanda jika
memang dia
punya Ayah. Dulu, saat umurnya masih dua tahun sang Ibu pernah bilang kepadanya bahwa dia tidak boleh mengeluhkan karena tidak
ada sosok Ayah disampingnya. Namun, dalam hati kecil itu Akbar selalu
bertanya-tanya. Dimana Ayahku berada? Dimana Ayahku berada? Dan selalu seperti itu sampai
air matanya berderai membasahi pipi.
“Akbar, Ibu memberimu nama Akbar Nurdaffa Pratama
karena Ibu yakin, suatu saat nanti kau pasti akan menjadi orang besar. Orang
yang bisa memberikan cahaya bagi siapa saja. Orang yang selalu taat dengan Tuhan dan orang yang akan
bisa dibanggakan. Jadi, kau tidak boleh bertanya dimana Ayah.
Ayahmu adalah Ibu. Dan Ibumu adalah Ibu. Perempuan yang berada dihadapanmu ini.”
Katanya seraya meremas
kedua bahu Akbar dengan gemas. Akbar hanya bisa diam dengan kalimat Ratmi yang
terdengar sangat layu. Ratmi membungkuk dihadapan Akbar lalu dengan yakin
meremas kedua bahu Akbar.
Akbar masih
hanya diam. Dia mencoba untuk mengerti apa yang
dikatakan oleh Ibunya.
Karena memang saat itu dia hanya seorang anak kecil polos yang
belum tahu apa-apa. Mungkin
dulu dia masih percaya jika Ratmi berkata jika Ayahnya adalah Ibunya dan Ibunya
adalah Ayahnya. Namun, itu dulu. Sekarang berbeda.
Sekarang dia
tahu jika Ayahnya
itu bukan Ibu. Akbar
mengetahui semua itu setelah dia melihat teman-temannya diantar kesekolah oleh seorang
laki-laki yaitu Ayah mereka. Katanya. Dan, dia juga tahu jika
Ayahnya
bukanlah sang
Ibu saat teman-teman
membullinya dengan sebutan “Anak Haram!”
Sakit. Perih. Jengkel. Sedih. Semua itu menjadi satu
menumpuk di dalam hati bocah kecil polos ini. Anak yang masih duduk di bangku
kelas satu SD harus mendapat bulian seperti itu. Sungguh tak akan pernah
sanggup diingat
jika kembali pada masalalu. Dia hanya bisa menangis. Memendam segala kebencian
terhadap teman-temannya.
Tidak jarang
Akbar mengeluhkan semua itu kepada sang Ibu, namun Ratmi hanya berpesan kepadanya bahwa harus sabar dan membiarkan
anak-anak kurang ajar itu terus saja menghina dia dan ibunya.
Dalam suasana
hati yang galau Akbar juga sempat bertanya dimana
sebenarnya Ayahnya
berada, namun Ratmi justru marah dan memaki Akbar
dan mengharamkannya
untuk mengetahuinya. Entah apa yang disembunyikan perempuan ini. Namun,
semuanya seperti misteri.
Panggung sekolah
dasar semakin hari justru semakin panas. Anak-anak
kurang ajar itu semakin hari bukannya semakin berhenti justru mereka semakin
menjadi menghina Akbar
dengan sebutan anak haram. Akbar diam. Semakin dia diam justru mereka semakin
menginjaknya.
Mungkin Akbar
bisa sabar jika dirinya yang di bully, namun ia tidak bisa sabar ketika ada
orang yang melecehkan Ibunya. Siapa yang berani menghina Ibu
maka harus siap menanggung akibatnya.
Siapa, siapa yang akan terima jika ada seseorang
yang menghina Ibumu dengan sebutan pelacur? Tidak ada! Pasti dia akan langsung marah dan
memberi pelajaran kepada manusia yang lancang itu. Begitupun dengan Akbar. Dia langsung menghajar mereka satu
persatu. Dia
melempari mereka dengan sapu-sapu ijuk yang ada di dalam kelas lalu dia pukul mereka dengan batang sapu
itu. Mereka semua menangis. Wajah dan tangan mereka terluka. Lebam dimana-mana.
Namun itu belum seberapa dibanding dengan luka batin yang Akbar derita dan tangisan
batin ketika mereka menghina Ibunya. Ibu yang sangat dia banggakan.
“Apa tidak bisa dikurangi Bu Guru hukumannya?” Tawar
seorang perempuan dibalik meja guru yang tengah berhadapan dengan Ibu Guru. Sang guru terlihat acuh-tak acuh dibalik meja coklat
itu. Sedangkan perempuan dihadapannya terlihat memohon welas asih kepada si
guru.
“Maaf Bu Ratmi, bukannya kami mau kelawatan, namun
semuanya sudah sesuai prosedur yang ada di sekolah ini. Kami tidak bisa
mengurangi hukuman ini. Memukul teman itu sudah termasuk dalam kejahatan. Maaf,
kami tidak bisa.” Seorang guru membalas seraya menggeleng. Air mata Ratmi berlinang seiring berakhirnya kalimat
yang Guru ucapkan. Air mata Ratmi berderai.
“Tapi Bu Guru, tolong saya. Tolong ampuni anak saya.
Saya mohon... saya berjanji tidak akan ada kejadian seperti ini lagi. Biar saya
yang menghukum anak saya, tapi tolong jangan sekors dia. Kasihan nanti dia
pasti akan ketinggalan pelajaran jika di sekors. Saya mohon Bu Guru.
Saya mohonn....” Perempuan ini masih memohon membungkuk dihadapan Guru yang
tengah berada dihadapannya itu. Wajahnya terlihat sangat melas sekali. Ratmi meraih kedua kaki guru
yang berdiri dihadapannya sembari memohon-mohon. Namun, Andin tetap pada pendiriannya. Tidak bisa ia
mencabut hukuman itu. Andin menggeleng tegas.
“Ibu, jangan membuat saya marah. Saya sudah katakan
tidak bisa, jadi saya tidak mau mengulanginya kembali. Silahkan anda keluar dan
tolong bilangin sama anak anda agar tidak memukul temannya lagi.” Kali ini Andin sudah tidak bisa dirayu lagi. Ia
justru melempar bom ke wajah Ratmi dan siap untuk meledak. Air mata Ratmi
berderai. Wajahnya tampak melas sekali. Perlahan Ratmi melepas pegangannya itu
lalu Andin mengangkat kakinya keki.
“Tapi Bu.......” Ratmi masih mencoba untuk meminta pengampunan. Ia
masih berusaha untuk memohon.
Lagi-lagi Andin
tetap pada pendiriannya. Tidak ada
sedikitpun keringanan untuk hukuman anaknya. “Maaf
Bu. Tidak bisa.” Balasnya menggeleng.
Perempuan itu terlihat sangat kecewa sekali.
Wajahnya kusut. Lesu seperti tak ada kekuatan untuk hidup. Perlahan langkah
kakinya membawanya keluar dari ruangan Guru di salah satu SD yang tidak jauh
dari rumahnya.
Perempuan itu membungkuk kalem seraya meninggalkan ruangan. Ia meraih sepeda
ontel tua yang terparkir dihalam sekolah lalu dengan penuh airmata ia mengayuh
pedal. Disepanjang jalan airmatanya tak berhenti berderai membasahi pipinya.
Air mata kekecewaan karena sesuatu. Air mata itu masih terlihat mengalir deras.
Sepedah ontel tua membawanya menaiki jalan terjal perbukitan sebelum akhirnya
sampai di sebuah gubuk reot yang berada di lereng bukit.
Puas, puas rasanya aku sudah menghajar mereka. Katanya dalam hati. Namun,
kejadian itu yang akhirnya membuat Ratmi murka. Selama enam tahun, baru
kali ini dia
melihat Ibunya
sangat murka. Wajah Ratmi
memerah padam menatapnya. Beberapa kali bokongnya dipukul oleh batang sapu.Dia tidak tahu jika ternyata Bu Guru
di sekolah memanggil Ibunya karena perbuatannya menghajar teman-temannya.
Dia
bahkan tidak tahu jika ternyata Ibu datang kesekolah. Dan perempuan yang
memohon-mohon kepada Guru itu adalah Ibunya. Ratmi.
“Kamu kenapa tadi disekolah berantem? Kenapa?! Mau
jadi berandalan kamu?! JAWAB IBU!” Bentaknya sangat menakutkan. Akbar masih mengguguk merasakan sakit
akibat batang sapu yang dipukulkan di bokongnya.Ia meringkuk tak berdayada dibawah sana.
“Kenapa menangis?! Sakit! Iya?!” sang Ibu masih memakinya. Akbar mengguguk. Semakin takut dia menatap Ibu. Dia hanya menunduk seraya meneteskan
airmata bak sebuah gerojokan ttanpa berani menatap mata tajam sang Ibu.
“Kalau sakit kenapa kamu pukul mereka?
KENAPA?! Mau jadi berandalan kamu! MAU JADI PREMAN!”
“Tapi mereka menghina Ibu... Mereka semua membuat
aku marah. Aku benci ada yang menghina Ibu..” Dalam sendu Akbar mencoba untuk membela dirinya. Ia
semakin tak berdaya dihdapan Ratmi, Ibunya.
“Siapa yang mengajarimu untuk balas dendam? Ibu
tidak pernah mengajarimu untuk berbuat kasar! Jika mereka menghina kita biarkan
saja. Diamkan saja mereka. Terima saja semua hinaannya.”
“Tapi.... tapi aku tidak terima jika mereka menghina
Ibu.”
“Akbar! Kita ini orang miskin. Kita tidak punya
apa-apa. Kita hanya orang lemah. Dan kau tau, sudah menjadi resiko orang lemah
untuk di injak-injak. Kita bukan siapa-siapa!”
“Tapi kita harus melawan mereka, Bu....”
“Apa?! Apa hasilnya dengan kau melawan mereka! APA!
Kamu di sekors kan dari sekolah?! Siapa yang rugi? Mereka? Bukan. Tapi kau!” Ratmi semakin murka. Akbar semakin mengguguk.
Airmatanya mengalir deras bagai sunami yang siap menghancurkan kota.
“Akbar, Ibu juga sebenarnya tidak mau melihatmu
selalu menjadi bahan olok-olokan teman-temanmu di sekolah, tapi mau bagaimana
lagi, kita hanya orang lemah. Kita tidak bisa apa-apa. Kita akan selalu kalah
melawan mereka meskipun kita benar. Pesan Ibu, jangan kau pernah lagi
mengulangi perbuatan ini. Jika kamu mengulanginya maka Ibu akan marah dan memukulmu
lagi! Paham?” Pesannya. Akbar mengangguk. Ratmi, sang Ibu segera
memeluknya
dengan erat. Air mata
Ratmi juga berderai seiring tangannya semakin erat memeluk putranya.
Dalam pelukan itu Akbar
merasakan detak jantung Ibu. Detak jantung yang sama seperti yang dirasakannya.
Kejadian itu yang akhirnya membuat Akbar di sekors
selama satu minggu. Rasa
tidak tega melihat sang Ibu
selalu melamun sambil mencuci membebani fikiran bocah kecil itu. Seakan ia tahu apa yang sedang Ibunya fikirkan. Ini semua adalah
salahku. Aku yang sudah membuat Ibu sedih. Katanya dalam sesal. Setiap hari yang ada dalam
pemandangan dihdapannya hanya Ratmi yang melamun-melamun dan terus
melamun.Sampai akhirnya lamunan itu berhenti setelah iar mata kasih itu berderai
dari mata indah seorang Ibu, Ratmi. Tidak adalagi
pagi-pagi ceria
ketika ibunya riweh mengantarkannya kesekolah dengan sepeda ontel tua.
Tidak adalagi pagi-pagi riweh dengan sepatu dan juga baju. Dan tidak adalagi
pagi-pagi mencium tangan Ibu seperti biasanya. Yang dia lihat hanyalah sebuah ksedihan seorang Ibu akibat
kesalahannya.
“Akbar, kamu mau kemana?” Suara merdu seorang gadis tiba-tiba
menghentikan langkahnya
kala itu. Ia
diam sejenak. Mematung untuk beberapa detik lalu kemudian menoleh kebelakang.
Benar, Akbar melihatnya. Melihat sorot mata
yang sangat ia
nantikan. Sorot mata ketulusan. Indah bagai cahaya yang selalu menerangi sisi
gelap hati. Awalnya
ia tidak percaya jika gadis itu yang menghentikan langkahnya. Ia mematung
sejenak merasakan jantungnya yang berdebar-debar kencang sseakan ingin meledak
sekarang juga.
Lima tahun meninggalkan kejadian itu. Hal terburuk yang pernah
menimpanya. Sekarang Akbar sudah kelas enam SD. Dia masih sangat ingat dengan
hukuman yang diberikan Bu Guru saatdirinyamemukul
beberapa teman di kelas.
Dia
juga masih ingat gimana sakitnya saat Ibu memukul bokongnya dengan sapu lidi. Dan dia juga masih sangat ingat ketika
Ibu marah besar kepadanya untuk yang pertamakalinya. Hanya sekali
seumur hidup melihat Ibu marah-marah seperti itu. Dan kini, masa itu sudah
menjadi masalalu. Menjadikan
kejadian itu sebagai
pelajaran untuk merubah sikap sehingga tidak lagi mengecewakan Ibu. Ibu sudah
tidak lagi marah-marah seperti dulu, namun Ibu sekarang tidak bisa apa-apa. Dia lebih suka Ibu yang marah-marah
dulu daripada yang hanya diam seperti sekarang ini.
Mengapa? Ada apa
dengan Ibunya? Seharusnya dia bahagia karena sang Ibu tidak marah-marah lagi.
Namun mengapa justru ia suka dengan Ibu yang marah-marah?
“Asta?” Balasnya kaget. Ia merasa terkejut dengan kehadiran gadis cilik
dihadapannya. Asta masih berdiri kikuk dihadapannya. Akbar terlihat malu-malu.
Namanya Asta Rianti, seorang gadis yang terlahir
dari rahim yang sangat beruntung. Rahim yang sangat bersih. Asta memiliki
keluarga yang utuh. Rumahnya besar sekali, dia adalah anak orang kaya.
Pembantunya banyak sekali, untuk masuk ke dalam rumahnya sajaharus melewati
beberapa penjaga sebelum akhirnya sampai di depan pintu utama. Banyak penjaga
di setiap sudut rumahnya.Cctv juga terpasang disetiap sudut. Asta adalah
sahabatnya
sejak mereka
masih duduk di bangku kelas satu SD.Ingat sekali dengan kejadian beberapa tahun yang lalu ketika Asta
membela dirinya
dihdapan Bu Guru yang sedang marah besar.
“Kamu mau kemana? Kok buru-buru?” Tanyanya lagi
seolah belum puas karena belum mendapatt jawaban. Bocak kecil itu masih berdiri mematung disana.
Sepertinya urat-urat yang menggerakkan tubuhnya beku untuk sesaat.
Akbar mengerjab,
“Aku mau pulang. Aku harus menjaga Ibu. Aku juga
harus nganterin cucian biar dapet uang terus buat beli obat Ibu.” Balasnya tersenyum getir. Asta menatap lamat-lamat wajah
polos pria kecil dihadapannya.
“Ibu kamu belum sembuh?” Tanyanya lagi. Akbar menggeleng. “Boleh aku ikut
kerumah kamu?” Sambungnya.
“Gak usah-gak usah. Nanti kamu dicariin lagi sama
orangtuamu. Ibu baik-baik aja, kok. jadi kamu gak usah kerumah.” Akbar terlihat bersusah payah untuk mencegah Asta
ikut. Ia mengadakan kedua tangannya sebagai syarat jika Asta tidak boleh ikut.
“Aku gak perduli, pokoknya aku mau ikut. Aku mau jenguk
Ibu kamu.” Asta memaksa dengan kekeh. Akbar menelan ludah. Raganya melarang Asta untuk ikut,
namun entah mengapa hati kecilnya seolah berkata jika dia bahagia dengan
kehadiran Asta.Ada yang ganjil pada perasaannya.
“Ibu. Aku udah pulang.” Serunya seraya membuka pintu yang hanya
terbuat dari kayu sisa-sisa gergaji. Sebuah papan-papan yang sudah tidak lagi terpakai. Kayu-kayu
yang sudah tidak terpakai dan hanya digunakan untuk bahan bakar memasak.
“Ibu udah makan?” Tanyanya sambil duduk dikursi
sebelah sang Ibu.
Masih, Ratmi masih
terbaring di atas tikar kumal di dalam kamar kumuh. Ibu, Ratmi hanya bisa
tersenyum menatap
kehadiran putranya, lalu bola matanya yang cantik
itu melirik gadis cilik yang berada di sampingnya yaitu Asta.
“Oh iya, ini namanya Asta, Bu. Temen aku di sekolah.
Tadi dia maksa pengin ikut kesini.” Ucapnya mengenalkan Asta kepada Ibu.
Lagi-lagi Ibu tersenyum ringan.
Sejak beberapa bulan yang lalu Ratmisudah tidak bisa
apa-apa lagi.
Bahkan untuk sekedar bicara saja susah. Ibu, Ratmi hanya bisa
terbaring lemas di atas tikar tanpa bisa berbuat apa-apa. Makan pun Akbar yang menyuapi karena tangannnya
tidak bisa digerakkan. Ibu terkena penyakit struk sehingga Ratmi tidak bisa melakukan apa-apa sendiri.
Untuk menghidupi Ibunya
dan juga untuk membeli obat Akbarlah yang menggantikan Ratmi menjadi buruh cucui keliling. Pekerjaan Ratmi diambil alih oleh anaknya. Setiap
sore dia
mengambil dan
keliling untuk mencuci lalu di pagi hari ia jemur dan setelah pulang sekolah
dia kembalikeliling
untuk mengantarkan cucian yang sudah kering. Berat memang saat itu beban yang harus bocah kecil itu tanggung,
namun, demi sang Ibu
tercinta ia rela menanggung beban yang lebih berat
dari itu.
Sudah sangat berat beban yang harus Ibu tanggung
setelah kepergian Ayah. Dan aku tidak mau menambah beban Ibu semakin berat. Pikirnya dalam sebuah lamunan panjang.
“Kamu duduk aja dulu. Aku mau ngambil nasi untuk
makan Ibu. Maaftempatnya jelek, aku sudah bilang ‘kan sama kamu. Tunggu bentar,
yea.” Akbar
bergegas ke dapur dan mengambil satu mangkuk bubur untuk sang Ibu.
Perlahan ia mulai meniup bubur yang masih
panas. Iasendok
satu sendok bubur lalu dengan tlaten menyuapi Ibunya. Ratmi tidak bisa makan jika tidak ada
yang menyuapinya. Karena gubuk reot ini hanya tinggal dua orang saja jadi Akbarlah yang harus
bisa menjaga Ratmi
dengan baik.
Kasihan jika melihat kondisi mereka saat itu, namun itulah yang
terjadi. Cobaan itu harus menimpa mereka keluarga miskin yang hidup di lereng
bukit barisan.
Terkadang memang Tuhan terkesan tidak adil. Namun semua itu pasti ada
hikmahnya. Bersabarlah kalian yang masih diberi ujian oleh Tuhan. Itu tanda
jika Tuhan masih sayang kepada kalian.
“Ayah kamu kemana?” Tiba-tiba Asta bertanya hal yang
di
takutkan. Setelah menyuapi IbunyaAkbar segera membawa Asta untuk main di
belakang rumah. Disebuah sungai kecil yang airnya masih sangat jernih. Disana mereka berdua duduk
bersebelahan diatas sebuah batu besar yang memanjang. Suasananya masih terasa sangat tenang. Setenang air
sungai dibawah sana.
“Ayah....? Aku...... Aku tidak punya Ayah. Bagi aku
Ibu adalah Ayahku.” Jawabnya gaguk. Sebuah senyuman getir terpancar dari bibirnya.
Ia tidak tahu
harus menjawab apa. Dia menjawab apa yang ia ingat saja. Ratmi pernah bilang
jika Ayahnya itu Ibu dan Ibunya adalah Ibu. Dan itu adalah jawaban yang bisa ia
berikan atas pertanyaan Asta.
“Bukannya Ayah itu cowok, ya? Kan Ibu cewek, Akbar? Emang cewek bisa jadi Ayah?”
Asta terlihat sangat bingung. Entah Akbar yang bego atau memang karena
Asta yang tida paham. Namun, yang terlihat dimata bening itu hanya sebuahkebingungan yang penuh tanda-tanya.
“Ibu bilang Ayahku ya Ibuku. Sama saja.” Akbar masih menjawab sama. Bukannya semakin paham Asta
justru semakin bingung. Gelagatnya menggambarkan jika seharusnya yang jelas
jawabannya. Ia hendak kembali membuka mulut Akbar langsung memotong.
“Kamu gak pulang? Udah sore lo, nanti Ibu kamu nyariin.”
“Iya, udah sore. Yaudah, yuk pulang. Kasihan Ibu
kamu dirumah sendirian.” Balasnya. Mereka segera beranjak lalu
menebat-nebat celana bagian belakang yang kotor dan melangkah pulang.
“Asta, makasih ya kamu sudah mau main kerumah aku.”
Serunya
ketika Asta mulai meninggalkan rumah. Dibawah sana, di jalan sudah terlihat
sebuah mobil yang menunggunya. Itu adalah sopir dari keluarga Asta. Asta menatap Akbar lalu
mengangguk seraya tersenyum khasnya. Lesung pipitnya terlihat sangat manis.Ia melangkah dan sang sopir membukakan pintu untuknya.
Mobil itu membawanya pulang.
“Ma, emang ada ya Ayah cewek? Kan Ayah cowok?” Asta bertanya kepada
Mamanya yang sedang santai diruang keluarga. Nampaknya memang kepala Asta
dipenuhi dengan tandatanya yang sangat besar soal jawabanku atas pertanyaannya
sampai-sampai ia mencari jawaban itu kepada Mamanya.
“Ayah itu cowok sayang. Kalau cewek namanya Ibu. Gak
ada Ayah cewek. Semua Ayah pasti cowok. Emang kenapa kamu kok nanya seperti
itu?” Widia mencoba
menjelaskan kepada Putrinya. Widia mengelus rambut Putrinya seraya tersenyum
manis.
“Tadi aku main kerumah temen aku. Ibunya itu lagi
sakit. Kasihan banget pokoknya. Nah, aku nanya dimana Ayah dia kok gak
kelihatan. Terus dia jawab Ayah dia ya Ibu. Ibu dia ya Ibu. Sama ja. Gitu.”
“Emang siapa temen kamu itu? Rumahnya dimana?”
“Namanya Akbar. Dia itu baik banget. Tapi aku
kasihan, Ibunya lagi sakit. Gak bisa gerak-gerak. Rumahnya juga jelek. Di atas
bukit.”
“Dia temen sekolah kamu?” Rudi- Papanya ikut nimbrung di obrolan
itu. Asta mengangguk polos.
“Mungkin Ayahnya lagi kerja keluar kota, jadi dia
bilang kalau Ibunya adalah Ayahnya.” Rudi juga mencoba untuk memberikan penjelasan bagi
Putrinya yang terlihat masih dipenuhi rasa penasaran. Asta menarik bola matanya
keatas sehingga terlihat sedang berfikir.
“Tapi, dia bilang dari kecil dia gak pernah punya
Ayah cowok. Ayahnya ya Ibunya.” Protesnya lagi. Tampaknya Asta masih belum puas atas penjelasan Papa
dan Mamanya.
“Sudah-sudah, kok jadi ngomongin Ayah atau Ibu sih.
Asta, udah malem. Kamu bobok aja, kan besok sekolah.” Perintah Widia lalu Asta segera masuk ke dalam
kamar meninggalkan Mama dan Papanya.
Pagi-pagi sekali bocah kecil itu sudah berada
di sumur untuk menjalani
rutinitasnya selain menjadi pelajar sekolah dasar.
Semakin hari jumlah loundryan semakin berkurang seiring semakin berkembangnya
perekonomian dan semakin
pesatnya perkembangan tegnologi. Banyak orang yang
tadinya menggunakan tenaga manual untuk mencuci karena sudah memiliki uang
mereka lebih memilih membeli mesin cuci yang lebih otomatis dan juga lebih
bagus daripada tangan kasar bocah itu. Hal itu, hal itu yang menjadi masalah si bocah kecil
tukang cuci keliling. Ia tidak tahu harus mendapat uang tambahan darimana lagi
untuk memenuhi kebutuhan dia dan Ibunya. Untuk membeli beras. Dan yang penting
adalah untuk membeli obat sang Ibu yang saat ini tengah terpakar di ranjang
kumuh tak berdaya. Belum lagi jika sang Ibu harus periksa atau berobat, maka tidak
sedikit uang yang harus ia keluarkan.Selain pasrah dan berdoa kepada sang maha
pencipta tidak ada lagi yang bisa diperbuat oleh si bocah kecil itu. Ingin
rasanya Akbar meninggalkan bangku sekolah dasar dan lebih memilih untuk focus
cari uang dan mengurus Ratmi dirumah. Namun itu tak mungkin ia lakukan. Dalam
kondisinya yang sekarat hanya satu keinginan sang Ibu, yaitu melihat Putranya
berdiri di atas podium dengan topi segi enam yang bernama ‘Toga’. Ratmi hanya
ingin Akbar menjadi sosok laki-laki yang memiliki pendidikan sehingga ia bisa
menjadi contoh dan panutan. Dan satu yang menjadi harapannya. Semoga Putranya
itu bisa menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan saying terhadap
keluarganya.
Terlintas dalam fikiran Akbar untuk mengikuti jejak para tetangganya. Orang-orang kampung. Budaya
masyarakat pedesaan
yang sangat sulit untuk ditinggalkan. Budaya yang menjadi kebiasaan. Budaya
yang menjadi penghambatan. Dan budaya yang menjadi ketergantungan.
Menikah muda, putus sekolah untuk bekerja keluar kota atau menjadi TKI di
negara-negara tetangga. Atau menjadi beby sitter di kota-kota besar. Bahkan
adajuga yang menjadi buruh panen kopi hanya untuk menyambung perekonomian
keluarga. Sangat menyedihkan jika kembali kepada masalalu. Namun disana ada
seorang Ibu yang mengharamkan anaknya untuk masuk dalam budaya itu. Ratmi. Ya,
beliau adalah Ibuku-Akbar.Putus
sekolah dan menikah muda seakan sudah menjadi budaya yang sulit untuk
ditinggalkan disana. Tidak banyak remaja yang lulus SMA, bahkan hanya bisa
dihitung dengan jari anak-anak yang bisa sampai lulus SMP.
Harusnya
kemerdekaan itu dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Termasuk merdeka
dalam pendidikan. Bukankah pendidikan itu hak seluruh warga Indonesia? Semuanya
serba membingungkan. Entah masyarakatnya yang susah atau karena Pemerintahnya
yang tidak perduli. Namun itulah faktanya. Merdeka belum seluruhnya dapat
dirasakan oleh seluruh penduduk Indonesia.
Pakaian menumpuk
dalam ember. Semua telah selesai di cuci. Untuk tahap selanjutnya yaitu
penjemuran. Semua cucian sudah dijemur dengan rapi.
Beberapa pakaian meneteskan air seperti tetesan airmata. Akbar segera mandi lalu membuatkan Ratmi susu untuk
kemudian berangkat kesekolah. Tiga kilo meter jarak yang harus dia tempuh untuk sampai di sekolah.
Cukup jauh untuk menempuhnya dengan cara berjalan kaki. Namun semuanya seakan sudah menjadi hal yang biasa
baginya. Dia berjalan menembus jalanan terjal,
berkebunan kopi, tebing curam, lembah dan akhirnya sampai di sebuah SD tempat ia menimba ilmu. Bangunan warna kuning gelap beratap seng itu sudah
bisa dilihat dari atas karena letaknya di bawah.
Agar tidak
merusak sepatu tidak jarang Akbar melepas sepatunya saat berjalan menuju
kesekolah. Bebatuan dan juga jalanan yang terjal akan bisa membuat sepatu mudah
rusak. Apalagi sepatu murahan. Keringat
panas membasahi tubuhnya begitu sampai disekolah. Tidak jarang juga dia
dihukum bahkan selalu menjadi bahan olok-olokan teman-teman di sekolah ketika seragam yang ia pakai basah
karena keringat. Ingin rasanya membalas mereka namun lagi-lagi dia harus bisa
menahan diri. Karena pesan Ibu yang selaldiingat bahwa orang cerdas itu
tidak harus menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Jangan membalas kejahatan
dengan kejahatan. Dan, jangan pernah mencoba untuk membalas dendam. Hal itu yang membuatnya berlapang dada dengan semua
perlakuan teman-temannya disekolah.
“Hay Akbar,” Asta meyapa dengan ceria. Akbar masih duduk dibangku taman
sekolah untuk mencari angin agar seragam yang basah dapat segera kering ketika bel masuk sudah dibunyikan.
Dia melihat Asta tengah berdiri cemas disana. Mata Asta memerhatikan seragam
Akbar seolah sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini.
Dengan santai
Asta duduk tepat disebelah Akbar. “Seperti biasa ya?” Tanyanya
sambil meletakkan tas ransel di atas pangkuannya.
“Iya, bajuku basah lagi.” Jawabnya polos. “Kamu ngapain kesini? Emang badanku gak bau ya?”
“Aku nemenin kamu. Bagiku gak ada yang bau, kok. Oya,
kamu mau caramel gak? Tadi Mamaku ngasih bekal aku caramel. Enah loohh...” Asta
membuka seleting tasnya lalu mengambil sebuah kotak makan. Sebuah kotak mika berada dalam tangannya. Ia
membuka dan ada beberapa caramel yang sudah diiris didalamnya.
“Nih, ambil aja.” Asta menyodorkan kotak berisi
karamel itu tepat didepan
tangan Akbar. Akbar masih terdiam ragu. Ingin sekalidia mengambilnya. Pasti enak banget.
Namun dia
masih malu-malu saat itu.
“Udah, gah usah malu. Ambil aja.” Paksanya. Perlahan Akbar mengangkat tangannya dan jarinya
mencomot satu iris caramel. Mereka berdua
ngobrol-ngobrol ringan sambil menikmati enaknya karamel buatan Widia. Tak pernah dia merasakan kue yang namanya
karamel. Itu adalah hari pertama dimana lidah bocah lereng bukit barisan itu
mulai mengenal dengan pulennya karamel. Kenyal. Dan nikmat.
“Oya, aku semalem nanya Mamaku tentang Ayah. Terus
kata Mamaku Ayah itu cowok, gak ada yang cewek. Yang cewek itu hanya Ibu. Jadi,
dimana Ayah kamu?”
Tiba-tiba saja Asta kembali menanyakan hal itu. Rahang yang tadinya sibuk mengunyah kini terhenti.
Gigi itu tidak bekerja lagi. Jantungnya berdebar. Akbar hanya diam menatap jauh
kedepan.
“Aku salah ya nanyaknya..? Maaf, ya?” Asta meminta maaf karena merasa bersalah sudah
bertanya seperti itu. Seharusnya dia bisa menahan pertanyaan itu dan menjadi
hari yang tepat. Lidah dan mulutnya memang sulit untuk dikendalikan.
“Gak apa-apa kok. Kata Ibuku Ayahku ya Ibu. Ibu ya
Ayahku. Aku gak tau Ayah itu cowok apa cewek. Bagiku Ibu dan Ayah itu satu.”
“Tapi Ayah itu cowok, bukan cewek, Akbar. Kamu pasti
punya Ayah. Ayah kamu pasti cowok.” Sesuai dengan wataknya. Asta selalu saja ngeyel
ketika sedang beradu argument dengan siapa saja. Bahkan kedua orangtuanya saja
lebih memilih untuk mengalah daripada meladeni sifat ngeyel Putrinya.
“Bukan! Ayahku bukan cowok. Ayahku ya Ibu. Dan
Ibu ya Ayahku. Kamu jangan ngeyel!”
“Tapi kata Mamaku Ayah itu cowok, gak ada yang
cewek. Papaku juga cowok. Pasti Ibumu bohong sama kamu, Akbar. Pasti kamu punya
Ayah cowok.”
“Gak! Gak mungkin Ibu bohong sama aku. Kamu jangan
ngomong gitu. Kamu jahat Asta! Kamu sama kayak temen-temen yang lain. Kamu
pergi! Kamu jahat!” Akbar memaki Asta. Entah mengapa rasa kecewa terhadap Asta tiba-tiba muncul dan
membuatnya kalap. Tak seharusnya dia berkata kasar kepada sahabat yang sudah
baik kepadanya apalagi dia seorang perempuan. Namun ia tidak bisa mengendalikan
emosi itu.
Jika Asta tidak
bisa menahan lidah dan bibirnya maka sama saja dengan Akbar yang tidak bisa
menahan ego dan emosinya.
Asta menangis. Ia segera beranjak dan meninggalkan.
Ia menyeka wajahnyaa dan lari masuk kelas. Kotak isi karamel ia tinggalkan. Entah lupa atau karena sengaja. Akbar menatap penuh
rasa bersalah. Ia menyesal. Namun juga kecewa. Tak
seharusnya aku membentak dia. Batinnya. Namun, semuanya sudah terjadi. Akbar menutup kotak karamel itu dan
memasukan ke dalam tas. Dia masih diam duduk dibangku taman.
Dibawah pohon cakar langit yang rimbun dan menjulang tinggi. Disanalah ia mengeringkan seragam sekaligus merenung
dengan segala renungan yang memenuhi otaknya. Tak
lama kemudian seseorang datang menghampiri.
Oh, ternyata
Rio. Teman satu kelasnya.
“Akbar, aku dapet titipan ini buat kamu.” Rio
memberi sebuah plastik putih. Entah apa isinya dan entah darimana asalnya. Akbar meraihnya bingung.
“Buat aku? Dari siapa?” Rio tidak menjawab dan dia
langsung pergi seolah
memang hanya itu saja kepentingannya menghampiri Akbar. Akbar masih meraba-raba
plastik itu.
Tak mati karena
rasa penasaran Akbar segera membuka isi plastik itu. Siapa?
Siapa yang memberinya? Ia masih bertanya-tanya bingung. Baik sekali dia. Pikirnya. Dan karena itu Akbar
Nurdaffa Pratama bisa lolos dari hukuman dan juga bullyan yang selalu menjadi
sarapannya setiap pagi.
Komentar
Posting Komentar