DUA_Jogja
“Eyalah,
Simbok, Simbok sudah datang.” Seorang laki-laki tampak sumeringah kehadiran
seseorang dirumahnya.
“Paakkkk…..
Bapak, Simbok sudah datang, Pak!” Serunya. Laki-laki tua yang sedang mengasah
golok dibelakang segera meringsut kedepan.
Jogja, disebuah rumah sederhana.
Dimas
membuka pintu mobil. Kakinya beranjak keluar. Waw, udara sejuk menyapu lubang porinya dengan lembut. Meskipun dingin
namun ia bisa merasakan kedamaian pada tempat ini.
“Silahkan
masuk, Mbok. Ini pasti Mas Dimas.” Tebak Suyatno sambil mengulurkan tangan
untuk menjabat tangan Dimas. Dimas tersenyum lalu membalasnya sopan.
“Iya,
Pak, ini yang namanya Mas Dimas. Yang sering Simbok ceritakan kepada Bapak.”
Balas Simbok memperkenalkan laki-laki disampingnya itu. “Wealah, gantenge to.
Silahkan masuk Mas. Oya, Bapak mohon maaf kalau rumahnya ndak sebagus kandang
kucing Mas Dimas. Maklum, hanya orang Desa. Petani biasa, jadi ndak bisa bikin
rumah yang besar.”
“Ini
Mas, tehnya.” Simbok atau Bi Inem menyuguhkan segelas teh lengkap dengan
jajanan khas Jawa pada sebuah piring. “Kalau mau istirahat bisa tidur di kamar,
Mas. Ndak lebar, tapi kalau untuk tidur dijamin nyenyak.” Sambung Simbok dengan
senyuman. Dimas tak menjawabnya. Ia hanya diam sementara bibirnya terselip
senyum tersungging yang enggan untuk ditunjukannya. Dimas ingin menikmati
kedamaian ini.
***
Yogyakarta,
30 kilometer dari dari tempat Dimas berada. Jauh
dibawah dan berada dipusat kota.
“Masih semangat belajarnya adek-adek,?” Seru seorang
cewek. Cewek dengan penampilan kesuel itu tampak bersemangat.
“Adek-adek,
ayo coba lihat kakak bawa apa untuk kalian. Kakak bawa makanan....” Seorang cowok menenteng plastik berisi makannan.
Senyumnya mengembang sementara matanya melirik seorang gadis didepan sana.
Sontak
mata anak-anak itu mengarah kepadanya. Menatap kantung plastik yang berada
dalam genggamannya. Wajah mereka mengembang dan mata mereka terbuka lebar
sementara hatinya tidak sabar untuk mendapatkan makanan itu. Mereka semua
mengenali laki-laki itu. Dia sering juga datang
dibawah atap beton ini.
Bagi
Niko, dimana Nina berada maka dirinya harus berada disana juga. Baginya membuat
Nina tersenyum lebih penting dari sekedar mengurus tugas kuliah yang justru
semakin membuatnya pusing. Sejak melihat gadis unik itu Niko langsung
menjatuhkan hati padanya. Meskipun ia tahu jatuh itu sakit, ia akan tetap
bangkit agar selalu melihat senyum gadis pujaannya itu.
“Cieeee...
Kak Nina ada yang ngapelin ni, yeee..” goda anak-anak yang langsung membuat Nina salahtingkah sendiri.
“Banyak banget, Nik? Mending kamu tabung aja uangmu, lumayan buat masadepan.” Nina
mendekati Niko yang tengah duduk sambil memandangi anak-anak yang tengah
bahagia mendapatkan hadiah darinya. Gigi mereka sibuk mengunyah roti yang
dibawakan Niko.
“Itu
gak seberapa. Gue hanya pengin ngeliat mereka bahagia. Bukannya lo
yang udah ngajarin gue?” Balasnya mengangkat bahu.
“Terimakasih
atas kebaikanmu. Tapi aku mohon, jangan ikut sertakan kebaikanmu ini terhadap
hatimu. Karena hati adalah masalah pribadi sehingga tidak perlu merugikan orang
lain.” Mohonnya mewanti-wanti agar tidak keluar dari komitmen. Ia tahu, Niko
baik pasti karena ada sesuatu.
“Gue
gak ngerti, Nin. Gue gak tau kenapa dimata lo gue selalu buruk.
Gue iklas! Dan gue gak mengharapkan apapun dari semua ini.” Niko menarik kedua
alisnya sementara kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya.
Astafiruwla. Gak
seharusnya aku ngomong kayak gitu. Fikir Nina.
“Ya-bukan
gitu, kan aku cuma takut aja. Kamu ini sentimen banget sih. Slow brooo...” godannya.
“Oya,
kamu masih ada jam kuliah lagi?” Tanyanya.
“Gak
ada. Kenapa? Lo mau ngajak gue makan? Ayo, gue mau kok. Tempatnya dimana? Jam
berapa?” Jawab Niko antusias.
“Egak,
aku cuma nanya aja, heheee...” Nina meringis lebar di depan Niko. Niko mengerjap.
“Ayo
adek-adek, kita belajar lagi. Kalau mau dapat makanan yang banyak kalian harus
belajar agar jadi orang pinter dan jadi orang sukses, jadi banyak uang terus
bisa beli makanan enak yang banyak deh sesuai dengan yang kalian inginkan.”
Nina berseru sambil menepuk-nepuk tangan memperingatkan anak-anak bahwa waktu
untuk makan sudah habis kini saatnya kembali belajar. Sedangkan Niko
memperhatikan Nina sambil senyum-senyum sendiri. Gadis itu sangat baik dan
perhatian. Tuturnya tidak sadar.
***
“Dimas
kemana, Ma? Kenapa dia tidak nampak sejak
semalam?” Tanya Papa kepada Mama saat mereka sedang berada dalam satu ruangan
yang namanya ruang tamu. Mereka baru saja pulang kerja. Tumben jam segini
mereka sudah pulang, biasanya sangat larut malam baru mereka pulang.
“Mama
gak tau, tapi kemarin Dimas sempat pamit sama Mama
untuk pergi ke Jogja. Dia bilang akan meneruskan kuliah di sana.” Miranda
membalas datar. Hatinya merasakan sepi setelah Dimas memutuskan untuk keluar
dari rumah.
“Kenapa
dimas gak izin ke Papa? Mama juga, kenapa gak bilang sama Papa kalau Dimas mau
pergi?”
“Papa
tanya sama Mama? Seharusnya Papa itu tanya pada diri Papa sendiri, seberapa
besar waktu Papa yang sudah diberikan untuk anak dan seberapa besar waktu untuk
kerja!” Lagi-lagi keributan terjadi diruang tamu. Saling menyalahkan selalu
menjadi problem utamanya. Seharusnya sebagai orangtua mereka sudah tahu.
“Kok
jadi Mama yang marah sama Papa? Seharusnya Mama tugasnya menjaga anak, bukan
malah sibuk dengan pekerjaannya sendiri!”
Pasangan
suami istri itu saling beradu mulut. Tidak ada yang mau disalahkan dan tidak
ada yang mau mengalah sehingga perdebatan tidak akan usai sebelum HP
masing-masing berdering karena ada yang menelvon. Terkadang jika belum puas,
setelah menerima telvon mereka akan melanjutkan pertengkaran itu. Entah
bagaimana cara pikir dua orang dewasa yang bergelar sarjana itu. Mungkin dulu
waktu ada mata kuliah “etika” mereka tidak hadir sehingga tidak tahu etika.
Bertengkar dan hanya terus bertengkar, padahal hanya mengurus satu anak saja.
Entah apa jadinya jika mereka mengurus sepuluh anak dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan, mungkin mereka akan gantung
diri sebelum mereka digantung oleh anak-anaknya yang kelaparan.
***
“Halo,
Ma, apa kabar?” Sapa seorang perempuan dalam telvonnya.
“Hay
sayang, Mama baik. Kamu gimana kabarnya? Mama nunggu-nunggu kabar dari kamu
tapi gak datang-datang. Ditelvon juga susah.” Balasnya diseberang sana.
“Maaf,
Ma. Minggu-minggu ini memang Lisa lagi sibuk banget. Jadwal padet,
sampai-sampai gak bisa menghubungi Mama tercinta.”
“Iya,
Mama ngerti kok. Tapi semuanya lancar kan? Gak
ada yang kurang, kan?”
“Lancar,
kok, Ma.”
“Puji
Tuhan, syukurlah sayang. Mama sangat bahagia mendengar kabar ini. Kamu gak lupa
kan sama obatnya? Meskipun sibuk tetap jaga kesehatan. Jangan teledor.”
“Iya,
Ma, aku gak lupa, Kok. Oya, Ma, Papa
kemana? Aku kangen juga nih sama Papa.” Tanyanya kepada Cristina.
Perempuan
berambut pirang tampak riweh disebelah Lisa sementara matanya masih sibuk
mencari. Entah apa yang dia cari.
“Papamu
lagi gak ada dirumah. Tadi pagi Papa berangkat ke Jakarta, katanya ada
pelatihan di sana. Yah, kamu kayak gak tau kerjaan Papamu aja.”
“Ma,”
ucapnya terhenti.
“Iya,
kenapa sayang?”
“Ma,
apa ada kabar dari Dimas?” ucapnya ragu. Hati Cristina menggerutu. Sudah pasti ini yang akan ditanyakan.
“Gak
ada sayang. Mama juga gak tau gimana sekarang keadaan Dimas.” Mama membalas
santai.
Sekuat
hati Lisa berusaha untuk membuat suasana hatinya tenang. Tak ada kabar dari
Dimas. Oh, bagaimana keadaan cowok itu sekarang?
“Oh,
gitu ya, Ma,” katanya kecewa. Wajahnya lesu, tidak seperti pertama tadi. Perempuan
berambut pirang disebelahnya itu menatap
curiga. Keningnya berkerut seakan ingin bertanya.
“Are
you oke, Lisa?” Kata si rambut pirang curiga.
“Aku baik-baik aja, Margareth.” Lisa menjawab santai membuat sensasi tenang pada hati Margareth.
“Tapi,
kemarin Mama denger-denger Dimas kabur dari rumah. Katanya sih Dimas mau
melanjutkan kuliah. Tapi kalau dimananya, sih, Mama belum tau juga.” Kabar
mengejutkan dari lidah Cristina. Baru sore kemarin Cristina mendapatkan berita
tersebut dari mulut tetangga yang hobi ngerumpi.
“Dimas
kuliah? Kuliah di mana, Ma?”
“Kan
Mama tadi sudah bilang sayang, Mama itu enggak tau. Lagian gak ada yang tau
juga Dimas pergi kemana.” Katanya membuat awan mendung pada hati Lisa. Hati
Lisa bergeming. Kamu dimana?
Wajah kecewa terpancar jelas pada wajah Lisa. Margareth tak tahu apa yang
menjadi problem sahabatnya itu, yang pasti dia sangat perduli dan dia tidak
ingin sahabatnya itu bersedih.
“Lisa,
lo tau gak, di dekat-dekat sini tuh, ada restaurant baru yang menyajikan
makanan super enak, dan tentunya harganya cocok dengan kantong kita. Gimana
kalau kita mencobanya?” Usul Margareth.
Mungkin
dengan cara ini Lisa bisa melupakan kesedihannya itu. Hanya usaha kecil untuk
membuat sahabatnya tersenyum kembali.
“Aku
lagi gak mod untuk makan. Lebih baik kamu aja yang kesana.” Lisa menjawab acuh
tak acuh.
“Sudah,
gak usah khawatir. Gue tau masalah lo ada pada kantong yang jebol. Karena gue
baik maka lo akan gue tlaktir. Bagaimana? Apakah masih mau menolak makan gratis
di restaurant?”
Lisa
memutar kepalanya. “Ayo gadis, tak baik berlama-lama disini.” Margareth
tersenyum. Ia meletakan sejenak bulpoin diatas lemari lalu segera menyusul Lisa
yang sudah berada didepan meninggalkannya dan juga beberapa buku-buku yang
berserakan didalam kamar asrama.
“Pak,
aku minta Barbeque Chiken Salad dua, lalu pepsi
dua. Gak pake lama yea Pak.... Terimakasih...” Pesan Margareth.
Luar
biasa, gerai yang baru saja dibuka sudah ramai dengan konsumen. Tidak salah
mereka datang ditempat ini. Pasti memang rasanya enak sekali.
Mereka
duduk dengan anggun pada kursi kayu yang berada disudut kanan meja bartender. Disekeliling
mereka banyak sekali pengunjung yang kebanyakan Mahasiswa yang sedang menikmati
hidangan baru itu. Ada yang sibuk berdiskusi, ngobrol, bahkan selalu saja ada
yang selfie-selfie memamerkan kebolehannya dalam dunia model.
“Maaf,
Lis. Gue pengin mengajukan beberapa pertanyaan buat lo. Gue minta maaf jika
pertanyaan ini terlalu lancang. Maafff... Banget.” Ucap Margaret tiba-tiba.
Lisa mengernyit tak tahu apa yang dimaksut sahabatnya itu.
“Iya,
ada apa?”
“Apa
yang membuat seorang Lisa bersedih seperti ini? Apakah ada masalah dengan
keluarga?” Margareth membuka pertanyaan.
Lisa
tersenyum sambil menggeleng. Itu tandanya tidak ada apa-apa dengan keluarganya.
Cukup lega. Pertanyaan kembali muncul pada otak gadis berambut
pirang ini.
“Lantas,
apa yang membuatmu bersedih? Ah,
gue tau, pasti soal laki-laki bukan?” Tepat sekali. Kali ini tebakan Margareth
sangat tepat sekali. Lisa mengangguk kecil.
“Siapa?
Siapa laki-laki yang berani menyakiti sahabatku ini?” katanya sampai tak sadar
suara seraknya itu menggema keseluruh ruangan menarik perhatian para
pengunjung.
Margareth
menggigit bibirnya. “Oppss, sory...” Margareth menutup mulutnya yang menganga.
“Gak
apa-apa, kok. Cuma masalah kecil aja.” Lisa menjawab
pelan. Margareth terlihat tidak puas dengan jawaban Lisa. Hendak kembali bertanya
pelayan keburu menyuguhkan pesanan mereka yang sudah jadi. Terpaksa, Margareth
menunda dulu pertanyaannya karena ia tidak mau membuat makanan enak
dihadapannya itu menunggu.
***
“Oke
adek-adek, belajarnya sudah selesai dan kalian boleh pulang. Tapi jangan lupa,
besok harus belajar lagi, gak boleh malas-malasan.” Seru Nina kepada anak
didiknya.
“Tapi,
Kak. Kita kan gak punya rumah, terus mau pulang kemana?” Timpal salah satu anak
mengangkat tangannya. Nina memutar kedua bola matanya untuk mencarikan jawaban.
Ini benar-benar salah. Gumamnya.
Benar juga, mereka kan gak punya
rumah, terus mau pulang kemana? Ah, bodoh banget aku ini. Seharusnya aku gak
bilang begitu tadi. Gerutu Nina dalam hati.
“Hehehee....
maksut Kakak kalian sudah boleh bubar.” Kali ini kalimatnya bisa diterima oleh
para anak jalanan. “Tapi ingat, besok harus balik lagi, ya? Kan mau jadi anak
pinter, jadi harus rajin. Gak boleh bolos! Oya satu lagi, kalo misalnya ada
temennya yang mau ikut belajar ajak aja.” Sambung Nina lalu anak-anak
berhamburan menunju ketempat biasa mereka mangkal
masing-masing. Niko tersenyum melihatnya.
Nina
mengambil sepeda yang ia sandarkan pada
beton tiang fly over. Disudut sana, dibelakang Lisa, Niko masih setia
menunggunya. Hal yang selalu dilakukannya setiap kali Nina mengajar. Mungkin
ini yang Niko harapkan, namun tidak untuk Nina. Baginya, Niko tak lebih dari
sekedar sahabat meskipun ia tahu Niko adalah cowok yang baik dan perhatian.
Hanya saja hati tak memilihnya.
“Sudah,
ayo kita pulang. Apa kamu mau minep
disini?” Ajaknya. Niko beranjak seraya tersenyum hangat.
“Nin,”
Niko menggenggam lengan Nina tiba-tiba. “Apa gue gak
bisa masuk ke hati lo? Apa yang harus gue lakuin untuk bikin lo
nerima cinta gue? Apa Nin? Gue janji, gue bakal lakuin. Asal lo jangan minta
gue mati. Gue masih punya banyak dosa.”
“Gak
ada Niko, gak ada yang harus kamu lakuin. Aku gak bisa. Sepertinya persahabatan
kita jauh lebih baik ketimbang kita harus merubahnya. Aku gak mau ada yang
terluka diantara kita.” Balasnya. Keempat bola mata itu saling menatap. Tajam,
setajam mata elang. Dalam dan menghujat.
“Nin
gue janji, gue gak akan selingkuhin lo and gue
gak bakalan macem-macem kalo lo mau
jadian sama gue. Gue janji.”
“Nik,
aku gak nyuruh kamu buat suka sama aku. Please, tolong kamu jangan bikin aku
jadi pengecut. Aku mau kita sahabatan, saling membantu dan saling berbagi ilmu.
Itu menurutku jauh lebih baik daripada kita harus merubah status. Suatu
hubungan tidak akan bisa bertahan jika salah satu dari mereka tak tulus
mencintainya. Seperti sepatu, meskipun selalu bersama tetapi dia tidak bisa
menyatu. Mereka hanya ditakdirkan untuk saling melengkapi. Begitupun dengan
kita. Ini soal hati, Nik. Aku gak bisa main-main. Maafin aku.” Nina berlalu
meninggalkan Niko. Ia mengayuh pedal sepedahnya menyisiri jalanan yang mulai
dipadati oleh pengguna. Sedangkan Niko, hanya bisa menyaksikan Nina berlalu
meninggalkannya membawa harapan yang pupus.
Komentar
Posting Komentar