Ayah

Ayah
Suara gemuruh tepuk tangan megiringi langkahku menuju podium di atas panggung kala itu. Perlahan namun pasti langkahku menuju podium. Suara tepuk tangan itu masih sangat terdengar meriah mengiringi langkahku yang seakan tidak percaya. Sesuatu yang tidak pernah ada dalam mimpiku. Mereka semua terlihat bangga menatapku. Beribu-ribu pasang mata itu seolah memberiku energi khusus untuk mencapai podium. Aku tidak tahu dan aku juga tidak pernah membayangkan jika hari besar ini nyata. Langkahku membawaku pada podium yang sudah sejak tadi berada di atas panggung. Bahkan sebelum aku, dan undangan lain yang datang. Aku berdiri di podium. Ku-tatap mereka yang ada dihadapanku. Mereka masih terlihat sangat antusias.
Aku tidak tahu mengapa aku bisa berada di atas panggung megah ini. Aku tidak tahu mengapa mereka semua terlihat bangga denganku. Aku juga tidak tahu mengapa Ayah pergi meninggalkan aku dan Ibu. Namun yang harus kulakukan di atas podium ini ada berpidato. Aku tatap para tamu undangan yang berada dihadapanku. Mata mereka menyala seolah ingin mengatakan 'kamu hebat!' Aku rasakan kepuasan dari sorot mata mereka yang menyala itu. Aku masih berdiri menatap mereka. Aku menelan ludah. Perlahan aku mulai menggerakkan bibir yang kaku ini.
Bismillahirohmannirohim......
Aku buka pidatoku dengan mengucap basmalah. Aku mulai memberikan sambutan-sambutan kepada orang-orang yang sangat berjasa atas keberhasilan ini. Keberhasilan menyelesaikan pendidikan sarjana di Perguruan Tinggi terkenal di Indonesia.
Namaku Akbar Nurdaffa Pratama. Aku berdiri disini karena sebuah alasan. Alasan yang membawaku sampai sejauh ini bahkan sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku. Aku persembahkan gelar sarjana ini untuk Ibu yang sudah melahirkanku. Untuk Ibu yang sudah membesarkanku. untuk Ibu yang telah menjadi guruku. Untuk Ibu yang sabar dengan sifat nakalku. Dan, untuk Ibu yang bisa menjadi Ayah bagiku. Ibu, aku sudah menjadi sarjana sesuai dengan harapanmu dulu. Aku menyelesaikan pendidikan ini dengan nilai yang sangat memuaskan. Aku tahu, Ibu tidak akan pernah bisa melihatku berdiri di atas panggung megah ini. Namun aku yakin Ibu pasti bahagia di alam sana melihatku sekarang ini.
Ibu, jika hari ini kau bisa hadir di acara besarku ini, pasti aku akan langsung memelukmu dan dengan bangga aku akan mengatakan jika kau adalah Ibuku. Ibu terbaik diseluruh jagat raya. Aku berjanji. Aku berjanji pasti akan menemukan dia. Terimakasih Ibu. Terimakasih atas semua didikanmu. Aku menyayangimu.
Sepatah dua patah kata mulai membawaku jauh dalam pidato ini. Kalimat demi kalimat mulai aku ucapkan. Para undangan terlihat menatapku serius. Menyimak setiap kalimat yang keluar dari mulutku. Aku tatap mereka. Mereka para orang tua yang mendampingi anak-anaknya Wisuda. Berbeda denganku, di acara Wisudaku aku hanya sendiri. Sebatangkara. Tidak dapat kupingkiri jika sempat ada rasa iri terhadap mereka yang masih memiliki kedua orang tua yang utuh. Namun aku sadar, tidak seharusnya aku memiliki sifat iri. Aku masih menatap mereka. Dibalik pintu sana, terlihat seorang laki-laki berjenggot tengah berdiri menatapku juga. Laki-laki dengan dasi hitam kemeja putih itu masih menatapku. Rambutya yang lurus dan sepatunya yang mengkilap membuat laki-laki itu terlihat sangat berbeda dari yang lain. Perlahan ia melangkah sambil terus menatapku. Langkahnya semakin cepat, arahnya semakin jelas. Laki-laki itu mengarah kepadaku. Bola mata hitam itu menatapku tanpa berkedip. Bola mata hitam itu hampir sama dengan yang kumiliki ini. Bola mata yang sangat khas dan memiliki tatapan sangat tajam. Siapakah sebenarnya laki-laki ini? Aku masih menatapnya sambil bertanya-tanya dalam hati. Para undangan menatap kearah laki-laki itu karena dia adalah satu-satunya tamu undangan yang berdiri dan berjalan mendekati panggung. Siapa dia? Atau dia adalah Ayahku? Mengapa? Mengapa aku merasakan seperti ada yang menarik dari dalam diriku? Benarkah dia Ayahku?

Komentar

Postingan Populer