TIGA LIMA
TIGA
LIMA
Tiga
minggu kemudian
Gina
sudah tidak lagi berada di Jogjakarta. Gina kembali ke Lampung dan menjadikan
semua kejadian di Jogja sebagai kenangan yang akan selalu dia kenang. Gina tidak
tahu gimana kabarnya sahbatnya Sari. Dia tidak tahu gimana kabarnya, Simbok.
Dan dia juga tidak mau tahu bagaimana kabarnya Dimas. Laki-laki masalalunya
itu. Karena Gina sudah tahu pasti dia sedang bahagia dengan perempuan itu. Ya,
Lisa. Lisa masalalunya Dimas yang akan menjadi masadepannya. Lisa sahabat Gina
sejak SD. Lisa yang selalu baik dengan Gina. Namun, sekarang Lisa yang merusak
kebahagiaannya.
Lisa
kembali dan merusak cerita indah Gina. Dan kini, cerita itu harus berhenti
karena Gina tidak tahu apa yang akan ia tulis dalam ceritanya itu. Apakah aku
harus menulis kisah pahit ini dalam sebuah novel? Ucapnya. Dia akan menunggu
sampai ada yang bersedia untuk mengisi lembaran yang masih kosong itu dengan
cerita indah. Gina akan melupakan semuanya. Baginya, Dimas hanya sebuah cerita
dongeng yang hanya ada dalam dunia dongeng dan tak pernah ada dalam dunia
nyata. Sudah cukup selama tiga minggu aku hanya mengguguk di dalam kamar
meratapi kesedihan ini. Aku tidak mau terlarut dalam kesedihan. Aku akan
mencoba untuk tegar dan bangkit dari semua ini. Aku wanita yang kuat. Aku pasti
bisa. Katanya berusaha menguatkan diri.
Apa
kabar kamu disana? Lama tak kudengar kabarmu. Meskipun hati kecil ini masih
merindukanmu, namun aku harus bisa memusnahkannya. Aku tidak boleh merindukan
dia. Dia sudah menjadi milik sahabatku. Dan dia, telah menemukan cinta
sejatinya. Dimas dan Lisa memang serasi. Lisa, kamu sahabatku dan kamu juga
yang merusak kebahagiaanku. Aku tidak tahu apakah akan benci sama kamu atau aku
harus membenci diriku sendiri.
Empat
bulan kemudian
“Hay,
Gina. Apa kabar?” Suara itu terdengar menyapa. Suara itu tidak asing lagi
ditelinganya. Kenapa? Kenapa dia datang menemuiku? Pikirnya.
“Hey.”
Balasnya. “Aku baik. Kamu gimana?”
Pagi
itu, seseorang yang sangat Gina kenal datang menemuinya. Gina tengah menikmati
minggu pagi disebuah taman kota sendirian. Duduk pada sebuah kursi panjang
sambil menikmati udara sejuk dipagi hari. Banyak pengunjung lain yang hilir
mudik dihadapannya dengan sangat ceria. Tak ada kesedihan di taman itu. Sunrise
yang sangat indah terlihat sangat jelas dilihat dari taman itu.
Sudah
lama laki-laki itu tak nongol di depan matanya. Namun, kini tiba-tiba saja ia
duduk disebelah Gina dengan santainya. Menenteng sebuah kotak hitam persegi.
Seseorang pasti memintanya untuk datang menemuiku. Pikirnya.
“Kamu
semakin cantik. Sepertinya hari-harimu disini kamu habiskan untuk di salon.” Dia
masih basa-basi disamping Gina. Mata Gina menatapnya dalam. Ia hanya tersenyum.
“Langsung
saja, ada apa kamu datang menemuiku? Apa Dimas yang memintamu?” Balasnya.
Dia
tersenyum lagi, “bukan. Bukan dia yang memintaku. Aku kesini karena diminta
oleh seseorang. Sahabat kita. Lisa.” Jawabnya.
Gina
mendengkus. Apa lagi ini? Apalagi yang akan dia ambil dariku? Belum cukupkah
dia sudah merusak kebahagiaanku? Kenapa dia menggangguku saat aku sudah
melupakan semuanya? Wanita itu, wanita itu membuatku semakin sakit. Omelnya
dalam hati.
“Kamu
jangan berprasangka buruk dulu terhadap Lisa.” Katanya seolah tahu apa yang sedang Gina pikirkan.
“Lisa
memberiku ini. Aku hanya menyampaikan apa yang seharusnya kusampaikan saja.
Jika kamu memang sahabat, Lisa, maka lihatlah vidio ini. Semuanya ada dalam
vidio ini. Termasuk semua pertanyaan yang ada dalam fikiranmu. Namun, jika kamu
tidak mau melihatnya. Buang saja. Tapi, kamu pasti akan menyesal. Dan
penyesalan itu akan berlangsung selamanya.” Katanya. Ia beranjak dari duduknya
setelah memberikan sebuah kotak itu tepat di atas pangkuan Gina.
Dia
melangkah, “Doni. Tunggu!” Cegahnya.
“Apa
aku harus melihat isinya?”
“Kamu
yang tahu jawabannya.” Balasnya sambil tersenyum dan berlalu dari hadapan Gina yang
masih tercengang menenteng kotak itu.
Gina
kembali kerumah. Dia meletakkan kotak pemberian Doni di atas kasur. Gina tidak
mau melihat isinya. Gina sudah tidak lagi butuh penjelasan apapun. Semuanya
sudah berakhir. Dia lirik kotak itu. Gina sempat penasaran dan ingin
membukanya, namun sakit hati terhadap Lisa tidak dapat terobati. Gina meraih
kotak itu lalu melemparnya ke dalam kotak sampah. Baginya sudah tidak adalagi
penjelasan. Busyiitt!
Gina
duduk termenung di atas sofa yang berada disebelah kamar tidurnya. Dia terdiam.
Entah mengapa tiba-tiba saja dia teringat dengat kotak itu. Hatinya mengatakan
jika dia harus membukanya dan melihat isinya. Apa yang Doni katakan tadi?
Mengapa dia menyebutkan penyesalan? Apa sebenarnya isi kotak itu? Tanyanya yang
tiba-tiba saja penasaran. Perlahan Gina mulai beranjak dan mengambil kembali
kotak yang sudah berada di dalam kotak sampah. Gina membawanya ke sofa dan meletakkannya
tepat disebelah dia duduk. Hati Gina masih enggan untuk membukanya. Matanya
melirik kotak itu. Rasa penasaran itu semakin kuat dan akhirnya Gina memutuskan
untuk membuka kotak itu. Apa ini? Tanyanya saat melihat isinya. Kenapa kamera?
Kamera apa ini? Gina masih bertanya bingung.
Tangan
Gina meraba. Mencari tombol untuk mengaktifkan kamera itu. Pada sisi kamera
terlihat tombol lalu ia segera menekannya. Sebuah vidio tampak pada layar
utama. Gina terdiam bingung. Ia menelan ludah dan perlahan menekan tombol play.
Hay, Gina. Apa kabar? Aku harap
kamu baik-baik saja disana. Waahhh.. kamu makin cantik, ya. Hum, pantas saja
Dimas tergila-gila sama kamu. Kamu beda banget. Dulu kamu gak perhatian banget
sama penampilan. Kamu justru perhatian sama novel-novel yang selalu kamu baca.
Oya, bagaimana novel kamu? Sudah selesai belum? Pasti ceritanya happy ending,
ya-kan? Aku penasaran ingin membacanya. Pasti bukumu indah. Se-indah hatimu...
sahabatku.
Gina, ini aku.... Lisa. Sahabatmu. Aku
sungguh sangat menyayangimu sebagai sahabatku. Aku tahu kamu mencintai Dimas
sejak kita mulai masuk smp. Aku tahu semua itu, namun aku diam. perasaan kita
sama. Aku kangen banget saat-saat bersamamu. Saat kita main hujan-hujanan. Saat
kita berantem. Saat kita belajar masak. Dan saat kita sama-sama merasakan
cemburu ketika melihat Dimas jadian dengan Dinda. Aku kenal kamu. Aku minta
maaf karena sudah merebut Dimas darimu. Aku tahu, jika Dimas sudah menjadi
milikmu. Dan, aku hadir merusak kebahagiaanmu. Mungkin kehadiranku kamu anggap
sebagai benalu. Dan, kamu pasti mebenciku. Aku tak mengapa. Karena memang aku
pantas untuk kau benci.
Gina, maafkan aku. Kamu berhak
benci kepadaku, namun jangan kamu benci kepada Dimas. Dimas membutuhkanmu. Dia
mencintaimu. Mungkin, saat kamu melihat vidio ini aku sudah jauh disana. Vidio
ini aku buat untuk menjelaskan sebuah alasan yang belum sempat tersampaikan.
Dimas tidak salah. Dimas hanya ingin menjadi laki-laki yang bisa membuatku
tersenyum di akhir hidupku. Aku meminjam Dimas untuk sementara. Aku ingin bisa
bersamanya walau untuk sesaat. Dan Tuhan mengabulkan doaku. Aku bahagia
meskipun kebahagiaanku di atas penderitaanmu. Namun, aku harus tega.
Gina, aku minta maaf. Dokter
memfonis hidupku hanya tinggal beberapa minggu lagi. Sel-sel Kanker
menggerogoti seluruh sistem sarafku. Selama ini aku hidup hanya bergantung
kepada obat. Aku membohongi semuanya karena aku tidak ingin kamu, Dimas, dan
yang lain tahu jika ternyata aku menderita penyakit kanker stadium akhir. Aku
sengaja bohong kuliah keluar negeri namun ternyata hanya di Bandung. Aku tidak
bisa jujur sama kalian. Aku sangat menyayangi kalian dan aku tidak ingin kalian
bersedih ketika tahu penyakitku. Maka sebab itu aku mengarang cerita. Maafkan
aku.
Aku tidak tahu mengapa aku
dipertemukan lagi dengan Dimas di Bandung. Namun, pertemuan itu memberiku satu
alasan untuk aku tetap bertahan hidup. Sebelum kehadiran Dimas, aku serasa
malas untuk minum obat. Aku ingin cepat mati! Namun, Dimas datang untuk
memberiku semangat. Aku sangat berterimakasih sekali dengan dia karena dia
sudah memberikan aku kebahagiaan yang terjadi hanya sekali dalam hidupku.
Gina, maafkan aku. Lihat, coba kamu
lihat rambut ini. Indah bukan? Namun ini hanya sebuah penutup kepala yang
terbuat dari rambut palsu. Dan ini adalah bentuk asli rambutku... Botak. Aku
sudah tidak punya lagi rambut indah yang seperti kamu irikan dulu. Penyakit ini
merebutnya. Kamu lihat kan, kepalaku plontos, jadi sekarang rambutmu yang leih
indah dari rambutku, heheee....
Gina, maafkan aku. Mungkin sekarang
aku sudah tidak ada lagi dalam dunia ini. Mungkin aku sudah berada
jaaauuuhhhh... di sana bersamaa Dinda. Terimakasih Gina. Terimakasih sudah
memberiku kesempatan untuk merasakan bahagia bersama Dimas. Kejarlah Dimas. Dia
sangat mencintaimu. Dan aku, aku berharap kamu menjadi pendamping hidupnya. Aku
percaya jika cintamu tulus. Kamu wanita baik dan jujur. Dimas sangat cocok
dengan kamu. Jadilah pery di hati Dimas. Tolong, jaga dia. Aku titipkan Dimas
kepada kamu. Terimakasih sahabat. Selamat tinggal.
Air
mata itu. Air mata itu kembali mengalir setelah melihat vidio dalam kamera itu. Namun itu bukan airmata
kekecawaan. Itu adalah air mata penyesalan. Maafkan aku Lisa. Maafkan aku.
Tidak seharusnya aku menghujatmu dengan fikiran-fikiran negatif. Sungguh,
sungguh maafkan aku. Aku menyesal. Kenapa aku tidak mendengarkan pejelasan
Dimas saat itu. Aku egois. Aku yang jahat! Aku yang merebut kebahagiaan Lisa.
Bukan Lisa yang erebut kebahagiaanku. Aku jahat. Dimas, kenapa kamu tidak terus
terang saja sejak awal? Pasti aku akan mengijinkanmu. Kita tidak perlu
bertengkar jika kamu jujur sejak awal. Maafkan aku Dimas. Katanya dalam tangis.
Gina memaki dirinya sendiri.
Vidio
ini menyadarkanku. Aku menyesal. Harusnya aku mendengarkan Dimas. aku tutup dan
kumasukan kembali ke dalam kotak kamera ini. Kuraih tas ransel dia atas lemari
dan aku masukan kamera itu. Aku akan berangkat ke Jogja. Aku akan ke Jogja
untuk menemui jodohku. Aku akan meminta maaf kepadanya. Aku tidak perduli
apakah dia akan memaafkanku atau tidak. Cinta harus diperjuangkan bukan
dihindari. Aku akan terus berjuang sampai Dimas memaafkanku. Ucapnya dalam
diam.
***
Suasana
Kota Jogja terlihat sangat ramai. Tugu Jogja sebagai icon kota terlihat sangat
ramai. Jalan sudirman sampai jalan magelang terlihat ramai sekali. Suasana
Jogja terlihat lebih ramai. Beda dengan beberapa bulan yang lalu. Malyoboro
mulai dipadati oleh pengunjung. Beberapa warga negara asing tengah terlihat
juga memadati Malyoboro.
TOOKK!!!
TOOKK!!! TOOKK!!!
Seorang
wanita mengetuk pintu. Terdengar suara Simbok dari dalam. Langkahnya terdengar
tergopoh. Simbok membuka pintu.
“Mbak
Gina?” Simbok terbelanga kaget. Matanya melotot.
“Dimas
ada, Mbok.” Tanyanya langsung. Simbok masih terbelala sambil memegang kunci
pintu.
“Mbok...
Dimas mana?”
“Eh,
Mbak. Iya. Mas Dimas....” kalimat Simbok berhenti. Ia terlihat bingung untuk
melengkapi kalimatnya.
“Dimas
kemana, Mbok?” Cecarnya.
“Mas
Dimas sudah hampir dua bulan ndak pulang. Simbok juga ndak tau kemana. Semenjak
ditinggal mbak Gina, dan semenjak meninggalnya Mbak Lisa, Mas Dimas jadi sering
diem. Murung. Pokoknya berantakan banget. Dia juga ndak pernah ngomong sama,
Simbok. Jadi Simbok takut mau nanya-nanya.”
“Mbak
Gina ndak masuk dulu?”
Tunggu.
Sepertinya Gina teringat dengan suatu tempat.
“Mbak
Gina mau kemana...?” Seru Simbok saat melihat Gina lari dari hadapannya. Simbok
membereskan tas dan membawanya masuk ke dalam.
Gina
lari dan terus berlari. Tak ia rasakan walau kakinya serasa lemas sekali. Kali
Biru, pasti Dimas ada disana. Pikirnya sambil terus berlari. Dan akhirnya Gina
sampai disana. Benar, di depan sana mata Gina melihat sosok laki-laki tengah berdiri menatap jauh ke ujung Kali
Biru. Ia berdiri dengan tenang.
“Hey.”
Sapanya. Napasnya masih terasa ngos-ngosan. Gina melangkah mendekat.
Dia
membalikan badan. Dimas? Gina sempat terkejut ketika melihat perawakan Dimas
saat ini. Banyak sekali berubah dia. Rambutnya gondrong. Kumisnya tebal. Dimas
sangat tidak terurus. Berantakan. Kusut. Ini bukan Dimas yang aku kenal. Gina
menatap nanar Dimas.
“Kamu
apa kabar?” Tanyanya canggung.
“Seperti
yang terlihat sekarang. Inilah keadaanku.”
“Mengapa
kamu berada disini? Bukannya seharusnya kamu kuliah?”
“Tempat
ini, tempat ini yang mempertemukanku dengan belahan jiwaku. Tempat ini adalah
tempat perayaan ulang tahunku yang paling indah. Banyak kenangan pada tempat
ini. Pertengkaran. Kebersamaan. Keromantisan. Dan, keindahan terjadi ditempat
ini. Dan di tempat ini, aku akan menunggu belahan jiwaku datang.”
“Maafkan
aku Dimas. Gak seharusnya aku dulu tidak mendengarkan penjelasanmu. Aku yang
salah. Aku yang egois, Dim. Aku yang jahat!”
“Ssstttt...
Sudah, lupakan semua itu. Jadikan itu sebuah kenangan yang tidak akan terulang
lagi. Biarkan semuanya menjadi masalalu. Mari, kita menata masadepan yang lebih
indah. Selesaikan ceritamu dan penuhi lembaran yang masih kosong itu dengan
keindahan dan kebahagiaan kita.”
“Dimas,
aku mencintaimu.” Gina langsung memeluk Dimas dengan erat. Air mata itu harus
mengalir kembali. Namun itu bukan air mata kekecewaan atau air mata penyesalan.
Itu adalah air mata kebahagiaan.
“Tetaplah
bersamaku sampai akhir hayatku. Aku tidak mau kehilangan wanita yang sangat aku
cintai lagi. Love you.” Dimas membelai pipi Gina dengan lembut. Dia mmencium
bibir Gina. Gina terhanyut dalam keindahan dan kelembutan ciuman bibir Dimas.
Gina membalasnya dengan lembut. Dimas merangkulnya.
“Dimas,
geli.... Kumismu panjang banget, sih. Dicukur geh...” Protes Gina tersenyum
manja di pelukan Dimas. Dimas tersenyum lalu kembali menciumnya.
Kali
Biru ini menjadi saksi kisah indah cinta mereka. Kisah cinta yang sangat rumit.
Kisah cinta yang berawal dari sebuah persahabatan. Kisah cinta yang berawal
dari kerelaan melepaskan. Dan kisah cinta yang merawal dari sebuah perjodohan. Kali
biru ini adalah tempat yang menyatukan jodoh. Hidupnya, kebahagiaannya terasa
lengkap sudah. Gina menemukan belahan jiwanya. Gina telah menemukan jodohnya. Menemukan
cinta sejatinya. Dan perjodohan ini membawanya pada jodoh. Cinta sejati itu
nyata. Tidak hanya ada dalam cerita dongeng.
Gina
menyelesaikan ceritanya yang di tulis dalam novel di kali biru itu. Dimas yang
setia menemaninya. Dimas yang mengisi lembaran kosong itu. Cerita ini. Cerita
ini memiliki ending yang sangat indah. Cerita ini untuk sahabatku. Lisa.
Komentar
Posting Komentar