BAGIAN KEDUA



BAGIAN
KEDUA
Tiga bulan kemudian,
“Bi, Mama udah berangkat, ya?” Tanya Dimas pada Bibi yang tengah mempersiapkan sarapan untuknya. Bibi yang ia panggil adalah pembantu yang sejak kecil telah mengasuhnya. Namanya Bibi Inem. Bibi Inem lah yang mengasuh Dimas sejak kecil dan sampai besar seperti sekarang ini. Kesibukan kedua orang tuanya serta hubungan yang kurang harmonis antara Papa dan Mamanya membuat Dimas kekurangan perhatian orang tua. Memang, Dimas tak pernah kekurangan kalau soal materil, namun untuk kasih sayang orang tua dia miskin.
“Sudah, Mas. Kan sudah biasa ibu sama bapak berangkat pagi-pagi sekali. Memang ada yang mau dibicarakan, Mas? Kok sepertinya ada hal yang ingin disampaikan,” jawab bibi yang merasakan sesuatu pada expresi wajah Dimas. Dimas hanya menggelengkan kepala lalu kembali masuk ke dalam kamar.
Untuk sekedar bertemu kedua orang tuanya saja susah, apalagi sampai makan bersama dalam satu meja dengan keluarga yang utuh. Keluarga yang harmonis dan ada seperti keluarga para sahabat-sahabatnya. Namun tidak untuk Dimas, ia harus menjalani hari-harinya sendiri meskipun memiliki kedua orang tua yang masih utuh.
Dimas termenung dalam kamarnya. Ia duduk disebuah kursi yang terletak tepat didepan jendela kamar. Kursi plastik warna kuning itu terletak tepat didepan jendela sehingga Dimas bisa melihat pemandangan diluar. Dinding, langit-langit, kasur, dan lemari terlihat seperti kumpulan sampah tak ada gunanya. Seisi kamar bukan barang-barang yang biasa, semua barang-barang bermerek dengan harga yang cukup m\ahal, namun apa artinya itu jika ia tidak bisa memiliki rasanya sehari bersama keluarga.
Matanya menatap jauh kedepan. Terlihat kendaraan yang hilir mudik tak ada henti di jalan depan rumahnya. Semuanya sibuk. Apa yang mereka kerjaan sampai sesibuk itu? Tanyanya dalam hati. Apakah dia tak memikirkan tentang anaknya? Apakah uang sebegitu berharganya bagi mereka? Dimas masih bertanya-tanya dalam hati. Dari luar terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya, namun Dimas hanya diam saja. Ia tak menghiraukannya karena ia tahu itu pasti Bibi yang akan mengantarkan sarapan untuknya. Itu sudah biasa terjadi.
Sejak kepergian Dinda, Dimas lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Jarang dia keluar rumah. Sarapan diantar ke kamar, kadang juga bibi yang menyuapinya. Dan orang yang di balik pintu itu pasti bibi yang membawa nampan bersisi piring dengan satu porsi nasi goreng dan segelas susu putih disampingnya.
“Maaf, Mas, ada yang nyariin,” kata Bibi membuka pintu kamar. Bibi tampak sopan berkata-kata dengan Dimas. Dimas hanya diam, tak menoleh sedikitpun.
“Dimas,” tiba-tiba terdengar suara merdu wanita yang memanggil namanya. Entah siapa di belakang sana. Yang jelas pasti dia adalah wanita yang hebat sehingga berani masuk ke kamar yang sudah gak karuan itu. Acak-acakan, amburadul gak jelas. Biasanya Dinda yang setia membereskan kamar Dimas, kini tak adalagi. Hanya bibi yang kadang boleh dan kadang tidak membersihkan kamar Dimas.
Dimas menoleh ke belakang, “Lisa!” Wajahnya terkejut tiba-tiba melihat Lisa dihadapannya.
“Dimas, aku kesini untuk melihat keadaanmu yang semakin hari semakin buruk. Entah apa yang ada di dalam fikiran kamu sampai kamu hanya mengurung diri di dalam kamar. Kita sudah lulus SMA Dimas, waktunya untuk beranjak dewasa. Apa kamu tidak ingin kuliah? Orangtuaku akan mengirimku untuk kuliah, aku tidak tahu dimana tempatnya. Bisa di Indonesia bisa juga ke luar Negeri.” Katanya kalem. Airmata itumulai menggenangi pelopak matanya.
Dimas hanya diam. Diam-diam dan hanya diam. Dia tidak menjawab ataupun membalas kalimat Lisa. Lidahnya seperti terkunci untuk berucap. Lisa bisa mengerti itu.
“Dim, apa kamu sadar dengan yang kamu lakukan ini? Kamu bukan seperti Dimas yang aku kenal sejak kecil. Lihat dirimu, berantakan, amburadul tak terurus seperti barang yang sudah diasingkan ke gudang. Mau sampai kapan kamu seperti ini?!” Lisa masih ngoceh dihapadannya meski tak direspon. Lisa hanya ingin Dimas kembali seperti dulu lagi. Seperti Dimas yang dia kenal. Padahal sudah berbulan-bulan yang lalu tragedi itu berlanagsung. Seharusnya dia sudah bisa mengiklaskan semuanya.
“Kamu bahkan tidak perduli lagi dengan kesehatanmu. Lihat aku di sini, aku akan pergi untuk kuliah.Lalu kamu, apa? Gak jelas, kan? Mau sampai kapan Dimas? Katanya dulu kamu pengen jadi pengusaha sukses!Pengen jadi Menteri!Terus bagaimana bisa semua itu terwujud jika kamu seperti ini? Aku mohon, berhentilah menyiksa diri seperti ini, tidak ada gunanya! Daripada waktumu habis untuk menyiksa diri, lebih baik kamu gunakan waktu yang ada untuk melakukan hal-hal yang jauh lebih bermanfaat daripada mengurung diri di dalam kamar.” Lisa menghardik Dimas dengan kalimat panjang lebar, tujuannya agar Dimas sadar jika yang dia lakukan itu salah. Sedangkan bibi hanya menagis menguping pembicaraan Lisa dibalik pintu kamar. Airmata Lisa menetes. Setetes air mata yang mungkin akan menjadi saksi kebersamaannya dengan Dimas.
“Aku mohon Dimas, jadilah kamu Dimas yang dulu, Dimas yang aku kenal sejak kecil. Dimas yang ceria, pinter, lucu, baik, perhatian dan Dimas yang selalu ada saat aku butuh. Tidak seperti sekarang ini. Ini bukan Dimas seperti yang aku kenal. Dimas yang aku kenal itu kuat. Gak cemen kayak gini!” Tambahnya. Dimas hanya terdiam dalam duduknya. Dia tak membalas samasekali kalimat panjang lebar yang keluar dari mulut Lisa. Hari ini Lisaseperti berbicara dengan patung.
Dimas hanya menunduk diam. Membisu seribu bahasa. Bahkan Dimas tak mau menatap wajah Lisa yang sejak tadi berdiri dihadapannya. Entah apa yang ada dalam fikirannya saat itu. Lisa saja sudah gak sanggup lagi untuk melihatnya. Tinggalkan aku sendirian disini. Mungkin itu yang ingin Dimas katakan, namun penyesalan membuatnya sulit untuk berucap.
Setetes airmata Lisa mendarat di lantai. Dimas melihat lantai kamarnya  dibasahi oleh satu dua dan lebih tetes air mata. Dimas masih menunduk, tak mau melihat kearahnya sedikitpun. Andai Lisa bisa melakukan itu, pasti dia akan memeluk erat Dimas, mungkin ini untuk yang terakhir kalinya karena setelah ini mungkin dia akan pergi jauh. Jarak yang membuatnya tak bisa melihat kembali wajah laki-laki ini. Selain itu, ada hal lain yang sekarang membatasinya untuk bertemu dengan Dimas. Suatu hal yang menjadi rahasia keluarga Lisa. Mungkin, jika nanti saatnya tiba Dimas akan tahu sendiri tanpa diberi tahu.
“Ya-sudah Dimas, jika kamu tidak mau mengucapkan sesuatu untukku, aku anggap diam-mu mewakili semua kata-kata yang ada di dalam hatimu. Aku minta maaf jika selama ini ada salah kepadamu. Aku pergi, dan jika kamu ingin tetap seperti ini, silahkan. Namun jika kamu ingin kita bisa bertemu lagi, berubahlah.Berubahlah menjadi Dimas yang sesungguhnya.” Kalimat terakhir Lisa sebelum ia meninggalkan kamar yang baunya  gak karuan itu.
Dimas masih menunduk sampai Lisa tiba di halaman depan rumah. Diam-diam Dimas mengintip dari jendela kamar yang letaknya di lantai dua. Si Bibi yang mengantarkan Lisa sampai pintu gerbang. Lisa melirik keatas sana. Dimas masih berdiri diam. Cegah aku Dimas. Panggil namaku. Harapan Lisa dalam hati.Namun, ternyata itu hanya sebuah khayalan saja. Tak ada kalimat yang keluar untuk mencegahnya. Dimas masih hanya diam diatas sana.
“Maafin Mas Dimas ya, Mbak Lisa. Bibi jadi ndak enak sama Mbak Lisa.” Bibi tiba-tiba menarik lengan Lisa yang hendak keluar gerbang. Mewakili Dimas Bibi meminta maaf kepadanya. Wajahnya nanar menatap Lisa.
“Iya, gak apa-apa kok, Bi. Lagian aku juga ngerti, dia masih sedih dengan kejadian beberapa bulan yang lalu. Jika aku jadi dia mungkin aku bakalan ngelakuin hal yang sama.” Jawabnya mencoba untuk tetap tegar. Senyumnya itu memberi syarat bahwa dia tidak apa-apa.
“Terimakasih ya, Mbak. Bibi doain semoga di sana Mbak Lisa baik-baik saja dan menjadi Mahasiswi yang sukses.” Bibi tersenyum tulus.
“Amin. Yasudah, aku pulang dulu ya, Bi. Oya, jangan bosan-bosan mengurus Dimas.” Kata Lisa. Satu langkah kakinya melangkah ia membalikan badan, “oya, satu lagi, Bi. Tolong bilang ke Dimas kalau aku akan dikirim untuk kuliah ke-luar Negri.” Pesan terakhir Lisa kepada bibi. Bibi mengangguk paham. Langkah kaki perlahan membawa Lisa sampai ke dalam rumah yang berjarak hanya beberapa rumah saja dari rumah Dimas.
Kasihan sekali Mbak Lisa, udah cantik, baik, tapi harus merasakan sakit hati karena cinta. Cinta memang terkadang menyakitkan. Bibi menggumam sambil berjalan menuju ke dalam rumah.
Untuk persiapan agar tidak keteteran Lisapecking pakaian ke dalam koper besar yang akan ikut bersamanya menuju entah kemana. Lisa mencicil agar besok tinggal berangkat saja dan tidak ada barang yang tertinggal. Kepergian, kampus, semuanya dirahasiakan oleh kedua orangtua Lisa, sehingga tidak akan ada yang tahu dia mau kuliah dimana.
“Gimana keadaan Dimas sayang?” Tanya sang Mama kepada Lisa yang sedang sibuk melipat baju dan memasukannya ke-dalam koper hitam besar.
“Yah, ya begitulah, Ma. Masih hanya diam. Kadang aku juga kasihan jika melihat dia, tapi mau gimana lagi, begitulah keadaannya.” Lisa menjawab sambil terus sibuk memasukan baju ke dalam koper.
“Kedua orang tuanya bagaimana?” Mama terus saja menjejalinya dengan pertanyaan yang seharusnya tidak ia jawab. Itu privasi orang lain, bukan hak Lisa untuk menjawab.
Tangannya terhenti sejenak, ia tatap sang Mama sesaat, “Kenapa Mama bertanya seperti itu?”
“Ya kan Mama cuma nanya saja. Dengar-dengar kedua orang tuanya sedang tidak baik hubungannya. Sejak kecil juga kan Dimas selalu mainan disini karena kedua orang tuanya yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.” Sang Mama membuka kembali memory lama yang bersemayam dalam benak Lisa. Lisa teringat saat-saat dulu masi berusia tujuh tahun, waktu masih duduk dalam bangku SD kelas satu. Lisa sering main bareng dengan Dimas. Saat itu dia belum tahu dan belum merasakan yang namanya “cinta.” Semuanya masih lucu dan sangat polos.
Lisa tersenyum sendiri mengingat masa-masa itu. Semuanya terasa lucu dan sangat indah. Andai, masa itu dapat terulang kembali. “Heh, bukannya jawab kok malah senyum-senyum sendiri,” Mama membuyarkan semua lamunan putrnya itu.Lisa tak ingin menjawab karena ia sadar jika itu bukan haknya. Lisakembali melanjutkan pekerjaannya.
“Mama seneng akhirnya kamu sudah lulus. Itu tandanya kamu akan segera kuliah.” Tiba-tiba kalimat itu menghentikan tangan Lisa.
“Maksut Mama?”
“Iya, dengan begitu kamu akan jauh dari Dimas, membawa cinta kamu. Mungkin di sana kamu bisa melupakan Dimas. Ingat ya sayang, kamu dan Dimas itu berbeda. Mama gak akan setuju jika kamu menjalin hubungan dengannya. Mungkin dulu Mama mengijinkan karena hanya sekedar teman. Namun sekarang tidak! Kamu tau kan kita harus menikah dengan orang yang se-iman dengan kita? Yang memiliki visi dan misi yang sama dalam menjalani hidup.” Mama membuka kembali perdebatan antara anak dan ibu yang sering terjadi. Namun kali ini Lisa memilih untuk diam dan tidak memperdulikan omongan Mama. Bagi Lisa semuanya sudah berakhir.
Mamanya memang seperti itu, sering sekali melarang Lisa untuk menjalin hubungan dengan laki-laki yang bukan se-Agama dengannya. Makannya dua wanita dengan karakter yang berbeda namun sedarah itu sering berdebat gak jelas hanya gara-gara masalah yang sepele. Namun masalah sebenarnya bukan itu.
Sulit memang untuk menyatukan dua manusia yang berbeda. Ibarat air dan minyak yang tak akan pernah bisa menyatu. Andaipun itu terjadi pasti akan ada  keributan yang mungkin akan berlangsung selamanya. Manusia  memang ditakdirkan sebagai makhluk sosial, namun manusia juga ditakdirkan memiliki kepercayaannya masing-masing sehingga sulit untuk berastu satu sama lain. Jikapun itu terjadi harus ada salah satu yang merelakan meninggalkan kepercayaannya.
“Mas Dimas, Mbak Lisa baru saja pamitan untuk pergi. Mas Dimas ndak mau mengucapkan satu kata-katapun?” Bibi memberitahu Dimas yang masih setia duduk pada kursi yang mengarah kejendela.
Dimas hanya diam. Tak mau menjawab pertanyaan Bibi. Matanya sayup mengarah kedepan. Sejauh mata memandang tatapannya kosong seperti orang tak bernyawa.
“Ya-sudah kalau begitu, Bibi tak beres-beres di dapur saja. Nanti kalau Mas Dimas butuh apa-apa tinggal panggil Bibi saja.” Bibi meninggalkan Dimas bersama dengan rasa sedihnya.
***
Dalam sebuah gedung besar yang menjulang tinggi sebuah percakapan sedang terjadi. Percakapan yang hanya digunakan oleh orang-orang yang tergolong higklas. Dalam sebuah meja panjang dengan suguhan makanan serba mahal itu dikelilingi oleh orang-orang berdasi yang tengah bersantai menikmati hidupnya. Merayakan keberhasilannya.
“Selamat Pak Surya, akhirnya proyek Anda terlaksana juga. Kami semua akan mendukung sampai proyek Anda berkembang pesat.” Kata salah satu orang berdasi dari sembilan yang juga bersamanya.
Surya adalah nama dari Papa Dimas yang berbisnis dalam bidang properti khususnya perumahan. Selain properti pertambangan juga menjadi salah satu usahanya. Di sana mereka sedang berpesta karena baru saja membebaskan tanah yang akan dibangun perumahan elit di atasnya.
“Terimakasih Pak Jamal. Semua ini juga tidak luput dari kerjasama kita semua. Jadi, mari kita rayakan beherhasilan ini. Mari-mari, mari kita bersulang.” balas Papanya Dimas kemudian mereka mengangkat gelas yang berisi wine kebudian bersulang.
Dalam kamar yang bau dan berantakan masih duduk terdiam membisu seorang laki-laki yang tidak henti-hentinya menyesali perbuatannya. Tak henti-hentinya meratapi kesedihan karena kehilangan kekasih yang sangat dikasihinya. Entah sampai kapan dia akan seperti ini, hanya waktu yang akan menjawabnya.
Dimas beranjak dari duduknya, ia mengambil ponsel genggam yang terletak di atas kasur. Ia mencari dan terus mencari nomor kontak Papanya, kemudian pencariannya terhenti tepat pada kontak yang bernama Dinda. Ia menangis, airmatanya terjatuh tepat di atas layar tauckren yang berukuran lima inci. Ingatannya kembali kepada masa-masa ia menjalin kasih dan saling bercanda gurau, menikmati indahnya sanset di pantai mutun yang terletak di daerahnya. Namun semua itu kini tinggal kenangan. Semuanya telah diambil oleh Sang Maha Pencipta. Kenangan akan tetap menjadi kenangan dan masalalu akan tetap menjadi masalalu yang akan selalu dikenang sampai kapanpun.
Ia kembali mencari nomor kontak Papa dan akhirnya, “Pa, Papa lagi dimana?” Tanyanya dalam telvon yang tersambung dengan Papanya. Ia mendengar sangat berisik sekali di seberang sana. Jelas, Papanya sedang berpesta bersama teman-temannya.
“Dimas, kalau mau nelvon nanti saja, Papa sedang sibuk banget ini. Kalau ada yang mau diminta kamu ngomong saja sama Mama kalau enggak tunggu sampai Papa gak sibuk.” Balas Papanya dengan suara gak seberapa jelas karena sudah mulai terkena efek dari minum wine.
“Tapi, Pa, kapan Papa gak sibuknya?” Dimas kembali bertanya.
“Yasudah, Papa lagi sibuk ini.” Papa memutus telvonnya. Tak ada lagi suara-suara berisik karena telvon sudaha terputus.
Dimas terdiam. Duduk di atas kasur sambil mengusap wajah yang sangat kusut itu. Ia sangat kecewa dengan sikap Papa, namun ia tak bisa apa-apa selain menerima dan diam. Berulang kali ia mencoba untuk menghubungi Mama namun tetap tak bisa. Nomornya tidak aktif, dan yang satu lagi selalu sibuk. Kedua orang tuanya sangat sulit untuk dihungi. Dimas frustasi, ia benci dengan kedua orang tuanya yang sibuk dengan urusannya masing-masing tanpa perduli dengan perasaan putra semata wayangnya ini.
PRRAAAAKKKKK!!!!!
Suara bunyi pecahan terdengar ditelinga Bibi yang tengah membersihkan ruang tamu. Dimas membanting HP-nya di atas lantai keramik sampai hancur berkeping-keping. Seperti hatinya saat ini. Ia duduk di sudut samping sebuah lemari, menangis sedih meratapi nasibnya. Mengguguk. Harus kehilangan orang yang dicintai dan tidak pernah mendapat kasih sayang orang tua. Tangannya meremas-remas kepalanya sendiri seolah ia menginginkan beban dalam kepalanya itu enyah dari otaknya.
Mendengar suara pecahan dari kamar Dimas, Bibi langsung memeriksanya ke atas. Ia mengetuk-ngetuk pintu dari luar namun tak ada balasan. Ia hanya mendengar suara rintihan seseorang dari dalam kamar. Tidak salah lagi, itu pasti suara Mas Dimas. Pikir Bibi dalam hati. Ia langsung saja membuka pintu tanpa menunggu Dimas yang membukakannya. Matanya menyelidik seisi kamar. Ia melihat serpihan-serpihan HP yang baru saja Dimas banting. Matanya terhenti pada sosok yang tengah meringkuk disudut ruangan. Dia adalah Dimas bersama dengan kesedihannya.
Bibi mendekati Dimas lalu bertanya, “Mas Dimas kenapa? Apa yang terjadi, Mas?” Bibi mengelus-ngelus kepala Dimas. Dimas masih mengguguk, ia sangat ingin sekali merasakan belaian lembut seorang Ibu bukan belaian seorang pembantu. Tapi sayang, tangan pembantu itulah yang sering membelainya.
Dimas tak menjawabnya, lagi-lagi ia hanya mengguguk tersendu. Tak tega melihatnya si Bibi langsung merangkul tubuh Dimas dengan erat. Tak kuasa menahan sedih Bibi pun ikut menangis. Naluri seorang perempuan apalagi seorang ibu pasti paham dengan masalah yang terjadi pada Dimas.
“Mas, mungkin ibu sama bapak memang benar-benar sedang sibuk, jadi ndak bisa diganggu. Kalau sudah selesai urusannya mereka pasti pulang dan ada untuk Mas Dimas.” Bibi mencoba untuk menenangkan Dimas. Bajunya basah karena air mata Dimas.
“Tapi, Bi, mau sampai ka-pan?! Aku sudah gak bisa lagi hidup seperti ini, Bi. Hidupku seperti gak berarti. Lebih baik aku mati saja agar gak merasakan hidup seperti ini!”
“Hush, ndak baik berbicara seperti itu. Mas Dimas itu masih cukup bahagia karena masih dikaruniai kedua orang tua yang utuh. Coba Mas Dimas bayangkan, diluar sana sangat banyak remaja yang tidak memiliki orang tua, bahkan sejak mereka kecil.” Bibi kembali mencoba untuk menenangkan.
“Tapi, Bi, percuma aku punya mereka jika mereka tidak ada buat aku!”
“Kan masih ada Bibi yang selalu merawat Mas Dimas. Bibi gak pernah bosen-bosen untuk mengurus Mas.Sampai kapanpun. Jadi Mas ndak usah takut jika tidak akan adalagi yang perhatian karena Bibi akan selalu memberi perhatian yang lebih untuk Mas Dimas.” Dimas memeluk Bibi dengan erat. Bibi tersenyum menerimanya. Dalam batinnya ia juga merintih kasihan.
Bagaimana bisa kasih sayang seorang pembantu lebih besar daripada kedua orang tua kandungnya sendiri? Apakah itu yang membedakan si kaya dan si miskin? Si kaya hanya sibuk mencari uang dan uang sedangkan si miskin tidak punya uang namun memiliki kasih sayang kepada anak yang lebih berharga daripada sekedar uang.

Komentar

Postingan Populer