BAB 16
BAB 16
Melamar Kerja
Melamar Kerja
Menunggu bola datang akan membuat lawan dengan mudah
merebutnya. Maka bola itu harus disambut dan dikejar agar lawan tak bisa
mendapatkannya. Begitupun dengan pekerjaan. Tak ada pekerjaan yang datang
menghampiri kita jika kita tidak mencarinya.
Edi membeli
kertas serta amplop untuk surat lamaran kerja. Setelah
dia menulis ‘surat lamaran kerja’ dan dimasukan kedalam amplopa itu, dia langsung
bergegas untuk mencari pekerjaan. Melamar
dari perusahaan satu ke-perusahaan yang lain sampai dapat pekerjaan. Jika tidak
nekat maka kita tidak akan bisa. Jika tidak berani maka kita tidak akan tahu.
Meskipun belum tahu seluk-beluk Kota Bandung Edi tetap nekat untuk melamar
pekerjaan sendiri. Baginya, dimana langkah kakinya membawanya pergi disitulah
masedepannya berada.
Tak tahu tentang Bandung. Dan tak tahu kemana kuda merah,
angkot ini akan membawanya. Mungkin jika terus berada di dalam angkot sampai
kapanpun dia tidak akan pernah mendapat pekerjaan. Dia memilih untuk turun dan
berjalan kaki untuk melamar pekerjaan dari perusahaan satu ke perusahaan yang
lain. dari mulai perindustrian sampai ke perkulian. Baginya pekerjaan apa saja
sama, asal halal. Langkah kakinya perlahan membawanya pada sebuah terminal
bayangan para angkot. Sang calok teriak-teriak mencari penumpang. Cuaca panas
tak menyurutkan semangat mereka untuk tetap teriak-teriak demi penumpang.
Sungguh, sungguh membutuhkan kesabaran. Jadi, kenapa aku tidak seperti mereka?
Aku harus tetap semangat meskipun panas matahari menembus batok kepalaku.
Ucapnya dalam hati.
Beberapa iklan lowongan pekerjaan yang ditempel pada
tiang listrik, tembok-tembok, pohon dipinggir jalan, semua sudah dia hubungi.
Namun dari sekian banyaknya perusahaan yang ia hubungi hanya satu yang langsung
merespon. Tapi sayangnya
bukan menawarkan lowongan pekerjaan melainkan iklan Jasa SEDOT WC. Untuk apa remaja ini menghubungi jasa sedot WC?
Cuaca mulai terik,
debu jalanan yang bercampur dengan keringat membuat muka terasa sangat panas
dan kucal. Matahari tak
bersahabat hari ini. Rasa lelah
mengharuskannya untuk beristirahat
di tepi jalan sambil minum es kelapa. Pasti segar sekali. Di pinggir jalan pasar dengan sebuah gerobak sederhana Edi melihat ada bapak-bapak yang menjual es kelapa muda. Umur tua tidak menyurutkan
semangat Bapak ini untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Edi duduk di kursi plastik yang disediakan setelah dia
memesan satu gelas es kelapa muda.
“Bapak asli orang Bandung?” Edi membuka percakapan.
Meskipun sedikit ragu namun ternyata tidak seperti apa yang dia fikirkan.
“Bukan, dek. Saya ini perantauan. Bukan warga asli
Bandung.” Jawabnya tersenyum kalem. Si Bapak tukang es masih sibuk
mengaduk-ngaduk air kelapa dalam akuarium kaca.
“Sejak umur berapa Bapak merantau kesini? Betah disini?”
Tanyanya lagi. Tampaknya es kelapa muda yang sudah membasahi tenggorokannya
membuat dia makin lancar berbicara. Buktinya dia berani untuk bertanya-tanya.
“Wah, saya sudah lama banget. Sejak saya lulus SMA saya
sudah datang kesini. Bahkan saya menikah juga dengan orang sini. Yah, beginilah
di kota besar.”
“Adek bukan orang sini ya?” Si Bapak balik bertanya. Dia
duduk tepat disebelah Edi.
“Bukan, Pak. Saya baru datang kesini. saya mau nyari
pekerjaan.” Edi menjawab polos. Dia menyunggingkan bibirnya.
“Cari kerja di kota besar itu susah. Kalau gak punya
ijaza atau keahlian khusus mentok-mentok hanya jadi buruh. Semua tidak seperti
yang kamu lihat saat di tivi.” Kata si Bapak. Edi manggut-manggut.
“Itu alasan Bapak memilih untuk berjualan es?”
“Yah, itu salah satunya. Awalnya saya dulu melamar di
pabrik-pabrik, tapi kalau gak punya kenalan orang dalam atau gak punya uang
untuk nyogok tetap saja susah. Meskipun punya ijaza. Akhirnya daripada lama
menganggur saya memilih untuk jualan es. Hasilnya lumayan, cukup untuk
menafkahi anak dan istri saya. Ini juga halal.” Jelas si Bapak. Edi khusuk
menyimaknya.
“Anak Bapak ada berapa?”
“Saya punya dua anak dan semuanya perempuan. Yang satu
kelas tiga SMA. Seumuran kamu ini. Dan yang satu lagi masih SD.”
Edi menyeruput esnya dengan sedotan.
“Keluargamu ada dimana?” Tanya Bapak penjual es.
“Semuanya ada di Lampung. Saya disini sendirian. Menginap
tempat kenalan asal Lampung.”
“Apa kamu yakin bisa mendapat pekerjaan disini?”
“Seperti Agama yang harus diyakini. Kita juga harus yakin
dengan apa yang akan kita lakukan. Bagaimana kita bisa jika kita tidak memiliki
keyakinan. Bagi saya, dimanapun tempatnya dengan keyakinan pasti saya bisa. Dan
doa.” Edi membalas cepat.
“Awalnya saya pengin kuliah, tapi karena keterbatasan
ekonomi saya tidak bisa memaksa.” Sambungnya.
“Entah mengapa biaya kuliah di Indonesia ini mahal
sekali. Bapak tidak sependapat dengan hal ini. Banyak anak yang ingin
sungguh-sungguh kuliah namun karena mahal terpaksa mereka harus mengubur
harapan itu. Adajuga yang mampu untuk kuliah namun tidak bisa memanfaatkan
kesempatannya itu. Mereka justru senang-senang tanpa mikir kuliahnya. Banyak
potensi yang belum bisa digali dari generasi bangsa di Negeri ini. Harusnya,
remaja seperti kamu inilah yang memutus budaya buruk di Negeri ini.”
Setelah melepas lelah menikmati segarnya es kelapa muda
dipinggir jalan Edi kembali melanjutkan usahanya untuk mendapatkan pekerjaan.
Kakinya masih sanggup untuk membawanya keliling Jl. Sukarno Hatta untuk
mengantarnya melamar pekerjaan. Semakin siang matahari semakin terasa menusuk
batok kepala. Edi terus berjalan dan pindah dari perusahaan satu ke perusahaan
yang lain. terus seperti sampai akhirnya ada sebuah hotel yang membutuhkan
karyawan. Setelah memastikan jika itu bukan iklan jasa sedot WC akhirnya Edi
memberanikan diri untuk melamar di hotel itu.
“Maaf, Pak. Saya mau nanya, apa itu benar-benar iklan
lowongan pekerjaan?” Tanyanya sopan. Sang scurity yang berjaga di depan
beranjak dari duduknya.
Sang scurity melirik kertas putih yang tertempel pada
dinding posnya. “Iya benar.” Jawabnya.
“Bukan iklan jasa sedot WC kan?” Tanya Edi lagi takut
salah melamar pekerjaan. Cukup sekali dan tidak mau terulang untuk yang
keduakalinya.
“Ya bukan atuh, jang. Etamah memang iklan lowongan
pekerjaan. Kamu teh mau melamar kerja?” Tanya sang scurity dengan logat khas
yaitu Sunda.
Edi mengangguk cepat. “Iya-iya, benar, Pak. Saya mau melamar
kerja. Ada?”
“Ya jelas ada atuh.” Balasnya. “Badan kamu teh mani penuh
keringat gitu? Kamu habis darimana?” Tanya sang scurity curiga. Matanya terus
meneliti tubuh Edi.
“Habis jalan-jalan. Yasudah, saya tak masuk ke dalam dulu
ya, Pak. Mau melamar. Terimakasih.” Kata Edi dan berlalu dari hadapan sang
scurity yang masih melenggong sambil garuk-garuk kepala.
Scurity menggeleng, “aya-aya wae. Zaman udah berubah.”
Edi berjalan bingung di dalam hotel. Dia bingung harus
kemana untuk memberikan surat lamarannya. Dia masih tengok-tengok kebingungan
dan akhirnya seorang perempuan menghampirinya.
“Kamu teh kenapa clingak-clinguk gitu? Kamu maling ya?”
Tanyanya sinis. Tatapannya sangat tidak suka.
“Mbak ini bercanda. Mana ada maling ditempat rame kayak
gini. Saya itu mau melamar kerja.” Edi menjawab sambil tersenyum polos.
Khasnya.
“Mbak, mbak, mbak. Emang saya mbak-mbak apa. Panggil saya
Teh Iin. Tauk! Saya resepsionis disini.” Katanya memperkenalkan diri. Yah,
meskipun sedikit judes tapi gak papa. Yang jelas dia bisa membantu Edi yang
kebingungan.
“Iya Mbak. Eh, Teh Iin.” Edi nyengir lebar.
“Kamu teh mau melamar kerja?” Tanya sang resepsionis. Edi
mengangguk cepat.
Si resepsionis mengambil amplop lamaran kerjanya. Edi
dipersilahkan untuk duduk pada kursi sofa yang berada didepan meja bundar
tempat Iin berada. Iin masih sibuk dengan komputernya lalu menelvon seseorang
menggunakan telepon yang berada disampingnya. Tak lama kemudian Iin menatap Edi
sinis dan memintanya untuk masuk kesebuah ruangan yang berada dua kamar dari
dirinya berada.
Ternyata benar kata orang, nyari kerja di kota itu gak
semudah dengan yang kita bayangkan. Setelah berusaha mencari dan terus mencari.
Setelah berjalan puluhan kilometer sampai akhirnya menemukan perusahaan yang
membutuhkan karyawan. Edi tetap saja gagal. Dia tidak diterima di hotel itu.
Setelah melakukan wawancara di dalam ruangan yang
diketahui ruangan HRD, Edi harus keluar ruangan dengan wajah lesu. Wajah sedih.
Wajah kekecewaan. Dia tidak diterima di hotel itu. Hotel membutuhkan seorang
karyawan yang ahli dalam bidang listrik. Sedangkan Edi tahu tentang listrik
saja tidak. Tidak ada jabatan lain untuk Edi. Sekelas tukang kebun dan OB pun
tidak ada. Edi kembali harus terus berjuang melawan kenyataan.
Inilah jawaban dari semua pertanyaan yang berada jauh
dari kota. Apa benar di kota itu enak? Apa benar, cari kerja di kota itu
gampang? Apa benar di kota banyak lapangan pekerjaan? Apa benar nasib bisa
berubah dengan datang ke kota? Apa benar kota bisa menjamin kemakmuran? Semua
pertanyaan yang timbul dari masyarakat pedalaman yang tidak tahu apa-apa. Yang
mereka tahu hanyalah tontonan di tivi dan juga dari cerita tetangga yang pernah
merasakan hidup di kota. Semuanya itu bohong. Katanya mudah. Katanya enak.
Katanya nyaman. Katanya makmur. Katanya gajihnya besar. Katanya, katanya,
katanya dan akan terus katanya sampai kita mengalaminya sendiri. Membuktikan
bahwa ‘katanya’ itu tidak bisa dijadikan pedoman.
“Kamu darimana, Ed?” Tanya Arman ketika melihat Edi
dengan wajah kusut tiba didepan pintu. Arman masih menikmati penyakit organik
yang menjadi idaman laki-laki. Rokok.
“Iya. Darimana kamu?” Tambah Riyan, sepupu Arman. Riyan
terlihat sedang sibuk dengan hapenya. Mungkin dia sedang smsan dengan pacarnya.
Atau dengan depkolektor. Tidak ada yang tahu.
“Habis main bola sama anak-anak di depan. Dilapangan
kampung.” Jawabnya tersenyum lebar. Senyum yang tidak ingin keluar dari
bibirnya.
“Hah! Main bola?” Tanya Arman meyakinkan. Edi mengangguk.
“Sama anak-anak kecil?” Arman kembali bertanya. Edi kembali mengangguk.
Hening.
HAHAHAHAAA......
Tawa itu pecah tiba-tiba. Edi yang masih bingung kenapa
kedua temannya itu tertawa dia langsung ikut tertawa. Padahal dia tidak tahu
apa yang sedang dia tertawakan. Biasa jadi dia yang sedang ditertawakan.
Berhenti sejenak. Saling memandang. Dan, tawa itu pecah kembali menggegerkan
tetangga kontrakan sebelah.
***
Pagi pun tiba. Kaki yang kemarin berjalan puluhan
kilometer kini tampak terasa sakitnya. Tampak terasa lemasnya. Kaki serasa
berat untuk dibawa jalan. Padahal pekerjaan belum dapat. Bagaimana mau melamar
kerja kalau kaki sakit? Akhirnya, dengan pengetahuan tentang tegnologi yang
sangat seadanya Edi menemukan solusinya. Dia memanfaatkan internet untuk
mencari lowongan pekerjaan.
Edi pergi ke warnet terdekat. Disana dia mulai menjelajah
dunia maya untuk mencari lowongan pekerjaan. Banyak sekali lowongan pekerjaan
yang ditawarkan namun tidak ada yang masuk dalam kriterianya. Semua perusahaan
membutuhkan seorang Sarjana. Sedangkan Edi hanya tamatan SMA. Satu-satu
perusahaan yang membutuhkan lulusan SMA hanyalah sebuah outlet elektronik yang
berada di dalam sebuah mall elektronik yaitu BEC. Bandung Elecktronik Centere.
Mungkin disana dia bisa diterima. Mungkin memang nasibnya
berada di sana. Bukan hotel atau pun jasa sedot WC. Tak menunggu lama Edi
segera menyerahkan surat lamarannya kesana. Dia berjalan sendiri kembali
menyisiri ramainya Sukarno Hatta melewati alun-alun Bandung. Butuh dua jam
melalui kemacetan Kota Bandung dan akhirnya dia sampai di BEC. Dia segera masuk
ke dalam untuk menuju lantai 2 dan mendatangi outlet nomor 14. Dia sudah berada
di outlet itu. Seorang laki-laki mengambil surat lamarannya. Edi duduk dikursi
plastik untuk menunggu.
Syukur deh. Akhirnya setelah satu jam menunggu nama dia
dipanggil juga. Seorang laki-laki putih bermata sipit berperut besar terlihat
sedang memeriksa nilai-nilai ujian yang dipajang dalam Ijazanya. Edi menelan
ludah. Laki-laki itu mempersilahkannya untuk duduk sementara dia terus
memeriksa.
“Kamu punya E-mail?” Tanya seoran perempuan yang juga
bermata sipit, berkulit putih dan berperut besar. Lebih besar dari perut si
laki-laki disampingnya.
Edi melenggong sejenak. Dia menelan ludah lalu perlahan
menggeleng kalem. Si perempuan mengerjap.
“Kakus ada?” Pertanyaan apalagi ini ? Tak ada yang dia tahu dari pertanyaan-pertanyaan itu. Edi diam membisu.
Mungkin dia sedang berdoa agar Tuhan segera mencabut nyawanya saat itu juga.
Cepat Tuhan. Cepat cabut nyawanya.
Edi masih diam.
Pasangan suami istri itu saling menatap.
Hening.
Hanya membutuhkan waktu lima menit untuk mereka berkata
“tidak”. Tidak diterima. Edi kembali gagal. Pengetahuannya tentang tegnologi
dan tentang tren masa kininya sangat minim sehingga perusahaan tidak bisa
menerimanya. Jelas. Ini toko elektronik, bukan warteg. Jelas saja pengetahuan
tegnologi menjadi nomor satu. Dan jelas saja Edi ditolak. Dari sekian
pertanyaan tak ada yang bisa dia jawab. Hanya satu yang berhasil dia jawab.
“Kenapa nilai ujian nasional kamu kecil?”
“Karena saya tidak terlalu pintar.”
Bergeser tidak jauh dari BEC akhirnya Edi mendapat kabar
baik. Kabar yang dia peroleh dari seorang pedagang asongan yang dijumpainya dua
jam yang lalu di jalan Dago. Sebuah restoran membutuhkan karyawan sebagai
waiters. Ini kesempatan baik. Pasti tidak membutuhkan keahlian dalam bidang
per-listrikan. Dan tidak juga membutuhkan keahlian dalam bidang
per-tegnologian. Ini sangat cocok. Inilah jawaban dari segala perjuangannya.
Edi berjalan santai untuk menuju ketempat itu. Sebuah
restoran. Mengenggam sebuah alamat yang ditulis dalam secarik kertas
memudahkannya untuk menemukan restoran itu. Ya, restoran itu berada tepat
dihadapannya. Edi tersenyum lega. Akhirnya restorannya ketemu juga.
Tak berlama-lama Edi segera masuk ke dalam dan menyodorkan
surat lamaran kerja. Dia akan bilang bahwa dia siap untuk bekerja. Dia akan
bekerja dengan sungguh-sungguh. Tidak akan mengecewakan.
Namun, harapan hanyalah tinggal sebuah harapan. Harapan
yang hanya menyisakan isapan jempol. Harapan yang hanya berakhir dengan
kekecewaan. Tepat dua satu jam yang lalu ada orang yang sudah mengisi
kekosongan itu. Ada yang yang lebih dulu datang untuk melamar kerja. Dan saat
ini, tidak adalagi lowongan. Baik pada waiters. Juru masak. Bahkan sampai
tukang cuci piring. Edi kembali harus kembali berlinang airmata. Dia harus
kembali terus berjuang.
Nampaknya, menyendiri adalah solusi dari semua kegagalan
yang telah menimpanya. Edi duduk pada sebuah pohon mangga yang tertanam rimbun
di taman Tugu Bandung Lautan Api. Dia duduk disana sendirian meratapi nasib
yang tak juga kunjung membaik.
Udaranya sejuk. Namun berbanding terbalik dengan keadaan
hatinya saat ini. Matanya menatap jauh kedepan. Tak ada pemandangan indah yang
bisa dia lihat disana selain kumpulan gembel yang menjadi penghuni Tegalega.
“Sedang ada masalah?” Seorang laki-laki paruh baya
tiba-tiba membuyarkan semua lamunannya.
Edi menoleh. “Bapak ndak lihat apa kalo saya lagi sedih?
Jelas saya ada masalah, Pak!” Jawabnya sinis. Suasana hatinya masih kesal
dengan kegagalan yang dialaminya.
“Kamu stres?” Bapak-bapak disampingnya itu kembali
bertanya. Dia duduk tepat disamping Edi.
“Ya jelas saya stres to, Pak. Gak peka!” Balasnya acuh
tak acuh.
“Urusan cewek?”
“Weh, Bapak ini sok tau juga ya. Manamungkin saya stres karena
cewek, lawong cewek aja ndak punya. Saya stres Pak. Melamar kerja ndak ada yang
diterima. Padahal sudah puluhan perusahaan yang saya datangi. Tapi satu pun
ndak ada yang mau nerima. Saya stres ini.” Balasnya lesu. Raup wajahnya tampak
tak bersemangat sekali.
“Oh.” Si Bapak membalas singkat.
Edi mengerutkan dahi. Menatap kesal Bapak yang sedang
duduk disampingnya itu. “Sebenarnya Bapak ini siapa to? Datang-datang bukannya
bawa solusi malah bawa masalah. Ganggu orang lagi merenung aja.” Katanya kesal.
“Memang merenung bisa menyelesaikan masalahmu?”
“Ya,- ya ndak juga. Tapi kan,-..” Belum selesai kalimat
Edi diucapkan si Bpak memotongnya.
“Saya Ridwan.” Ucapnya tiba-tiba memperkenalkan diri. Edi
mendengkus kesal. Padahal tak ada yang nanya siapa namanya. Edi masih terlihat
kesal.
Edi menjabat tangan Ridwan. “Saya Edi. Edi Saputra.”
Tak lama berbincang-bincang ringan, Ridwan pamit untuk
pergi. Padahal suasana untuk berbincang-bincang masih sangat mengasyikkan.
Namun entah mengapa Ridwan memilih untuk buru-buru pergi. Mungkin lain kali
bisa disambung kembali obrolan yang sempat terputus.
BAB 17
Perusahaan Palsu
Perusahaan Palsu
Siapa yang betah jika merantau tapi menganggur? Siapa
yang bakalan betah kalau tinggal dirumah orang hanya tidur-tiduran aja? Tak
ingin menganggur akhirnya Edi memilih untuk mengambil keputusan tanpa sebuah
kepastian. Dan pada akhirnya, hanyalah sebuah kekecewaan yang dia terima.
Sebuah lembaga yang mengatasnamakan perusahaan berhasil menipunya. Entah
mengapa sangat malang sekali nasib remaja ini. Namun, dari semua itu dia
mendapat banyak pengalaman berharga. Pengalaman untuk tertipu.
Satu bulan setelah keberangkatannya ke Bandung sampai
saat ini dia masih saja menganggur. Kesana-kemari, berbagai macam cara sudah
dia lakukan untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, semuanya belum membuahkan hasil
hingga akhirnya dia mendapatkan pekerjaan. Sebuah perusahaan jasa bersedia
untuk menerminya sebagai karyawan tapi dengan satu syarat.
“Eehh, mas Edi. Gimana mas, Udah dapat
kerja, belum?” Tanya ibu-ibu penjaga warteg langganannya. Edi duduk didepan etalase yang berisi deretan menu makan.
“Belum dapet Bu. Ndak tau ini. Ternyata di Kota cari
kerja susah banget. Saya ndak tau lagi gimana nasib saya ini. Serba ndak
jelas.” Edi menjawab murung. Dia benar-benar sudah tidak tahu bagaimana lagi
untuk mendapatkan pekerjaan di Kota.
“Yo sing sabar bae to, Mas. Mengko juga nak wis waktune
yo olih kerjaan. Ojo lali dungane.” Kata si Mbok Dikem, penjaga warteg.
“Iyo mas, sabar bae. Anak saya juga dulu gitu, gak
dapat-dapat pekerjaan. Tapi, begitu dapat, ya lumayan hasilnya.” Tambah Harno,
suami Dikem yang tengah membuatkan es teh.
Edi tersenyum kecil lalu menyantap nasi yang berada
dihadapannya sementara menunggu es teh yang dipesannya jadi. Si penjaga warteg
masih sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa pelanggan datang untuk sekedar
membeli sayur atau pun lauknya saja. Untuk para perantau seperti mereka ini,
hal-hal seperti itu sudah sangat biasa. Kadang pada saat tanggal tua buku
catatan Harno dan Dikem penuh dengan bon-bon para pelanggan. Wajar.
“Besok rencananya saya mau tes interviw, Pak. Ada satu
perusahaan yang ingin mewawancarai saya.” Kata Edi memberitahu Harno yang baru
saja menyodorkan segelas es teh dihadapannya.
“Walah, ya syukur kalo gitu. Di perusahaan apa, Mas?”
Tanya Dikem tersenyum lega.
“Di PT. Indah Perkasa. Di bagian Staf Informasi.”
“Nandi kui
Pa’e?” Tanya Dikem pada suaminya. Wajah Dikem tampak curiga. “Mase kudu
ati-ati. Di Kota itu
banyak penipuan, jangan sampai sampean tertipu. Sudah banyak pendatang kayak mase ini yang jadi korban tipu-tipuan di
sini.” Pesan Dikem. Edi terdiam sejenak. Ia tersenyum dan
mengangguk lugu.
***
Jauh dari Kota Bandung. Berada diseberang Selat Sunda
Pulau Sumatera. Sebuah keluarga kecil tampak sibuk dengan kegiatannya
masing-maing. Seorang gadis kecil bernama Rina tengah sibuk meremas-remas
adonan gorengan. Dan seorang perempuan paruh baya terlihat sibuk menyiapkan
kayu bakar untuk membuat api. Dan seorang laki-laki paruh baya terlihat sibuk
dengan kambing-kambing yang semakin bertambah banyak. Laki-laki itu sibuk
mencari rumput untuk kambing-kambingnya. Mereka adalah keluarganya Edi.
“Mas Edi lagi ngapain ya Bu disana?” Tanya Rina sambil
terus menguleni adonan gorengan.
“Mungkin Mas mu lagi kerja kalo ndak ya lagi cari kerja.
Masmu juga kan jarang nelvon, jadi Ibu ndak tahu.” Jawab Suparmi sambil terus
meniup-niup api agar cepat nyala. Wajahnya tampak kucal sekali.
“Kira-kira di Kota itu enak ndak ya Bu? Aku kok jadi
penasaran.” Kata Rina menatap langit-langit untuk mengandai-ngandai.
“Ibumu ini juga ya ndak tau to ndok-ndok. Lawong Ibu mu
ini juga ndak pernah ke kota. Mana Ibu tau.”
“Aku pengin ke kota Bu. Nyusul Mas Edi.”
“Hus, kamu itu masih kecil. Kamu itu sekolah dulu yang
pinter, biar bisa ke kota. Wes, ndak usah ngelantur, sekarang adonannya sudah
siap belum? Kalo udah siap langsung di goreng aja pisangnya.” Kata Suparmi
memeriksa pekerjaan Putrinya. Sedangkan Rina segera menyiapkan adonan dan siap
untuk di goreng.
Tak lama kemudian
datang seorang laki-laki paruh baya. Ya, dia adalah paman Sarto. Paman Edi.
Beliau adik kandung Suparman. Entah, tumben sekali dia datang ke gubuk reot
itu. Padahal sebelumnya jarang bahkan hampir tidak pernah. Namun akhir-akhir
ini dia jadi sering datang. Tumben sekali.
“Gimana kabar Edi di kota, Mbak? Apa sudah dapet kerja?”
Tanyanya pada Suparmi yang masih sibuk dengan gorengannya. Sarto berdiri seraya
senyam-senyum dihadapan kakak ipar yang masih menggoreng pisang.
“Kayaknya belum. Mungkin masih mencari. Namanya juga
berusaha, ndak ada yang cepat. Yang cepat itu hanya nyeduh mie instan.” Balas
Suparmi acuh-tak-acuh.
“Kan saya sudah pernah bilang, ndak usah sok-sok-an cari
kerja di kota. Ngeyel. Lebih baik cari kerja disini, di Kampung! Lawong orang
kampung kok gaya-gayaan ke kota. Ndak pantes.” Katanya sambil terus tertawa
menghina. Sarto memang tipe orang yang seperti itu. Maklum, dia orang kaya dan
kakaknya, Bapaknya Edi, orang miskin.
Astafiruwlahh.... Suparmi langsung mengelus dada
setelah mendengar kata-kata adik iparnya itu. Dia tidak pernah berfikir jika
adiknya itu tega merendahkan kakaknya sendiri. Sedangkan Rina yang masih muda dan masih belum bisa
menahan emosinya, dia ingin sekali rasanya ngelempar muka pamannya itu
dengan gorengan yang masih panas.
Rina menatap Sarto
sinis. Tangannya terasa gatal pengin melempar pamannya itu dengan gorengan. “Bu, orang satu itu kok sombong banget, sih?” Ucap Rina sambil terus menggoreng. Hampir saja
penggorengan itu melayang di wajah Sarto.
“Sudah, biarin aja. Kita doain saja semoga kakak-mu bisa
cepat dapat pekerjaan dan bisa mewujutkan impiannya. Biar orang yang
merendahkan kita malu karena udah merendahkan orang lain.” Ucap Suparmi.
“Sudah lama To disini?” Tanya Suparman yang baru saja
sampai dari ladang. Dia baru saja mencari rumput untuk hewan ternaknya. Masih
tampat semerawut.
“Ndak terlalu lama. Cuma pengen nanyain Edi saja, udah
dapet kerja apa belum. Ternyata belum. Kasihan sekali anak itu. Terlalu banyak
bermimpi.” Balas Sarto menyunggingkan bibirnya.
“Manusia itu hanya ada dua cara, berusaha dan berdoa.
Jika dua-duanya sudah dilakukan dan belum juga dapat apa yang diinginkan,
berati Allah belum ridho untuk memberikan. Berati kita harus lebih giat lagi
dalam berusaha dan berdoa. Pasti Allah akan memberikannya jika kita mematuhi
perintahnya.” Kata Suparman dihadapan Sarto yang terlihat sebal. Dia mengerjap
pahit.
Merasa kesal dengan ceramahan kakaknya Sarto memilih
untuk cepat pergi dari hadapan kakaknya. Ia tidak mau mendengar ceramah-ceramah
kakaknya yang sok alim. Katanya. Baginya, tak penting doa atau tidak yang pasti
dia dapat uang. Toh buktinya tanpa banyak berdoa dia bisa memiliki uang banyak.
Punya mobil. Punya rumah bagus. Punya tanah luas. Namun itu hanya sementara.
***
Ke-esokan paginya. Akhirnya waktunya juga tiba. Ini
adalah hari dimana Edi harus menjalani interviw kerja di perusahaan Indah
Perkasa. Perusahaan yang katanya membutuhkan karyawan sebagai staf informasi.
Sejak subuh tadi Edi sudah siap. Bahkan dia sudah sangat siap. Setelah sholat
subuh dia berdoa berharap dilancarkan prosesnya dan bisa diterima disana. Ini
hari yang sangat penting.
Tepat pukul tujuh pagi. Satu jam sebelum proses interviw
berlangsung Edi sudah berangkat. Lagi-lagi angkot merah yang membantunya untuk
sampai di tujuan. Angkot langganannya. Tampilannya sudah sangat rapih sekali.
Dia sangat tampan. Dia juga sudah sangat siap untuk bekerja.
Setengah jam kemudian angkot merah itu berhenti pada
sebuah komplek perumahan elit. Dari luar sana tidak tampak seperti ada
aktivitas perusahaan. Seuasananya tenang. Tak ada tanda-tanda perusahaan.
Teringat dengan kata-kata Dikem, penjaga warteg, Edi memilih untuk tetap
hati-hati.
Didepan sana. Tepat seratus meter dari tempatnya sekarang
berdiri terdapat sebuah sekolah dasar yang sangat ramai. Sekolah itu berada di
dalam komplek perumahan. Edi melangkah kalem kesana. Dia berhenti. Ada beberapa
pedagang makanan dengan gerobak terlihat berjejer dibalik pintu gerbang
sekolah. Tepatnya dipinggir jalan. Edi duduk pada kursi yang telah disediakan
setelah memesan satu cangkir kopi.
Dia tidak langsung menuju di kantor perusahaan yang akan
dia tuju. Ada yang ganjil pada tempat itu. Edi duduk sambil ngopi. Sementara
menikmati kopi dia juga bisa bertanya tanya kepada si pedagang kaki lima
tentang tempat itu. Hampir limabelas menit dia berbincang-bincang dengan
penjual ketoprak. Ada banyak informasi yang dia dapat. Dan, tak ada tanda-tanda
negatif tentang tempat itu. Semuanya baik-baik saja. Bahkan dengan perusahaan
Indah Perkasa itu juga baik-baik saja. Itu memang ada dan lokasinya berada
tepat diujung komplek itu. Satu arah dari tempat sekarang dia berada.
Seorang scurity menyambutnya begitu dia sampai di depan gerbang.
Dia dipersilahkan untuk masuk ke dalam. Di dalam sudah ada beberapa calon
pekerja juga yang sepertinya sedang menunggu interviw. Edi duduk pada sebuah
kursi lipat yang berada disebelah pintu. Tak lama kemudian resepsionis
memanggilnya dan dia diminta untuk melengkapi berkas persyaratan. Edi melangkah
maju kedepan meja olimpik tempat resepsionis itu berada. Wanita dengan jilbab
merah itu tersenyum manis kepadanya. Setelah memasukan namanya ke dalam
komputer Edi kembali diminta untuk duduk menunggu giliran untuk di interviw.
Hanya beberapa menit saja setelah Edi menyodorkan berkas-berkas persyaratannya keluar seorang laki-laki
dewasa dengan postur tinggi besar dengan wajah masam. Bahkan, maki-makiannya bisa didengarnya yang berada didekat
piintu. “SAYA ITU CARI
KERJA BUAT CARI UANG, MALAH DISURUH BAYAR. KERJAAN APA INI!” Makinya sementara terus melangkah keluar ruangan. Entah
apa yang terjadi dengan laki-laki itu.
Ada apa dengan dia? Kenapa dia marah-marah? Apa maksut
dari kalimatnya? Apa benar kata-kata Dikem? Ahhhhh... Ini bukan waktunya untuk
berdebat dengan dirinya sendiri. Ini waktunya untuk berjuang kerja.
Akhirnya, tibalah gilirannya untuk di intervieu.
Di dalam ruangan itu, terdapat dua orang yang tugasnya mengintervieu
karyawan baru. Satu perempuan dan satu lagi laki-laki. Masih muda-muda. Begitu masuk, Edi langsung dihadapkan dengan penguji
satu yaitu seorang laki-laki. Amar. Beberapa
pertanyaan diajukan kepadanya. Dan anehnya, dari semua pertanyaan itu semua dia
bisa menjawab dengan mudah. Tak ada pertanyaan yang pernah diajukan kepada
perusahaan sebelumnya yang pernah ia datangi. Bahkan, kali ini tak ada
pertanyaan yang menyinggung soal pekerjaannya. Aneh?
Banyak hal-hal ganjil pada perusahaan ini. Mulai dari
lokasinya. Seragamnya. Kedisiplinannya dan soal karyawannya. Perusahaan mana
yang menempatkan staf yang memiliki tato? Sepertinya perusahaan malah tidak
menerima calon karyawan yang memiliki tato. Namun, mengapa penguji yang
dihadapannya itu bertato?
Semuanya berjalan sangat cepat. Seperti tak terjadi
apa-apa. Semuanya serba tiba-tiba.
Tiba-tiba saja Edi sudah menandatangani sebuah perjanjian yang bahkan dia
sendiri tidak tahu perjanjian apa itu. Aneh. Seharusnya dia membaca dahulu
sebelum menandatangi sebuah surat apalagi perjanjian. Namun mengapa ini tidak?
Semuanya cepat terjadi.
Interviw selesai dan sekarang Edi sudah mendapatkan apa
yang selama ini dia cari. Pekerjaan. Sekarang dia sudah bekerja sebagai staf
informasi di PT. Indah Perkasa. Namun, semua itu tidak mudah untuk dia
dapatkan. Semuanya harus dia dapatkan dengan rupiah.
Perjanjian yang dia tandatangi itu ternyata sebuah surat
perjanjian diamana dia setuju dengan pertauran perusahaan yang meminta uang
sebagai ongkos training. Sebagai biaya pelatihan selama dua jam. Dan rupiah
yang dia keluarkan tidak sedikit untuk ukuran manusia seperti dirinya. Entah
mengapa dia bisa menyetujui perjanjian itu. Padahal dia cari kerja untuk dapat
uang. Bukan cari kerja untuk mengeluarkan uang. Pantas saja laki-laki itu
marah-marah. Ada yang salah dengan perusahaan ini.
Banyak yang fiktif. Banyak yang aneh. Dan banyak yang
ditutup-tutupi. Semua janji-janji yang dijanjikan hanyalah fiktif belaka
seperti sebuah sinetron televisi. Termasuk gaji besar yang dijanjikan. Setelah
seminggu bekerja Edi merasakan banyak kejanggalan pada perusahaan itu. Banyak
informasi yang dia dapat dari bekas-bekas karyawannya. Tak ada kabar positif
tentang perusahaan itu. Semuanya negatif. Semuanya bohong. Diketahui perusahaan
itu sering sekali gonta-ganti karyawan karena satu persatu karyawannya
mengundurkan diri. Penyebabnya karena banyak kebohongan pada perusahaan itu.
Edi berhenti. Dia mengundurkan diri secara baik-baik. Dan
sekarang, dia kembali menjadi pengangguran yang ndak jelas harus mau kemana.
Uang bekal yang dia punya sudah dia gunakan untuk membayar perjanjian beberapa
hari yang lalu. Tak ada income yang dia dapat setelah pengeluarannya. Entah
bagaimana nasibnya.
Adilkah jika melihat koruptor berkeliaran dengan
santainya, tetap dihargai dan harta berlimpah? Adilkah ini Tuhan?! Remaja ini mulai
putus asa. Tak selera untuk sekedar bergerak. Dia biarkan perutnya itu lapar.
Airmata terus mengalir membasahi lantai karpet di rumah kontrakan tempat dia
numpang. Meratapi semua kegagalan yang terus saja membayanginya.
Edi duduk disudut kamar. Ia ratapi nasib yang tak kunjung
usai ini. Tangisnya membelah siang dan air matanya membelah Samudra. Dia
tertunduk disudut ruangan sendirian. Sebatangkara. Tak ada tempat untuk
mengadu. Lukanya semakin menjadi jika mengingat keluarga di rumah. Tak ada
kebanggaan yang bisa dia berikan. Kesunyian mengisi renung hati yang lara itu.
Tuhan tak menjawab doanya. Seperti mawar yang enggan untuk bersemi kembali,
itulah dirinya saat ini. Bahkan, untuk sekedar beranjak saja dia tak bisa.
Haruskah berakhir seperti ini? Haruskah kematian yang mengakhiri semua ini?
Warren Buffet: “Kegagalan Bukanah Akhir Dari Segalanya
Melainkan Kesuksesan Yang Memutar.”
BAB 18
Jadi Pedagang Asongan
Jadi Pedagang Asongan
“Kamu teh kenapa kok tiba-tiba ngajak ketemuan? Aya
naon?” Tanya Mamat, si pedagang asongan yang menjadi temannya sejak beberapa
minggu yang lalu.
Bingung harus bagaimana lagi utnuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya sementara dia penganggungguran akhirnya dia mengambil sebuah
keputusan. Keputusan yang dianggapnya bisa membantu. Tak adalagi harapan untuk
mendapat kerja. Bekal untuk biaya sehari-hari habis. Semua itu membuat Edi
semakin gelisah. Dan akhirnya, dia memilih untuk menjadi pedagang asongan
menerima tawaran Mamat.
“Aku bingung Mat. Aku udah ndak kerja lagi diperusahaan
itu. Aku ketipu. Sekarang aku jadi pengangguran lagi. Sepertinya aku mau
menerima tawaranmu itu.” Ucap Edi menatap jauh kedepan. Kedua laki-laki itu
duduk bersebelahan pada sebuah kursi semen yang berada dipinggi lapangan di
Tegalega.
“Kamu teh serius? Tidak bercanda?” Tanya Mamat kaget.
Matanya menatap wajah Edi curiga.
“La kamu pikir wajahku lagi bercanda apa! Ndak to?” Kata
Edi kesal. Mamat menggeleng bloon. “Ya berati aku serius. Aku ndak bohong. Aku
sungguhan.” Sambungnya.
“He’eh-he’eh, gitu aja ngambek. Ulah pundung atuh. Okeh,
saya akan membantu kamu. Tapi ingat, kamu jangan ngambek-ngambek lagi. Tambah
melas muka kamu.” Bisik Mamat cengingisan sendiri disebelah Edi yang mulai
kesal. Dia mendengkus kesal dengan tingkah usil Mamat.
“Tapu urusan modal gimana?” Tanya Edi bingung.
“Ah, masalah etamah rebes. Beres. Semuanya bisa diatur.
Kamu tinggal setor aja. Yang penting kamu setiap haris setor sama bosa
berdasarkan jumlah yang sudah ditentukan.”
“Hum, tak pikir gratis.”
“Ehhh... Buenget siak gratis! Enak aja minta gratis.
Bayar, tapi nyicil.” Kata Mamat nyengir lebar dihadapan Edi. Edi merengut
kesal.
Mamat memberinya sebuah kotak untuk memulai dagang. “Menteri
Ekonomi.” Itulah dua kata yang Edi tulis tepat di depan kotak agar semua orang
tahu jika si pedagang asongan ini punya mimpi yang sangat besar. Pedagang
asongan juga manusia yang memiliki cita-cita. Hum, akhirnya Edi dapat
pekerjaan. Yah, meskipun hanya sebagai pedagang asongan namun harus tetap bersyukur,
setidaknya tidak menganggur.
Ke-esokan harinya, di pagi yang masih diselimuti dengan
embun. Kota Bandung belum terlihat sibuk. Suasana jalanan masih
sepi, tak banyak kendaraan yang hilir mudik atau para karyawan pabrik yang
berangkat kerja. Hanya beberapa angkot yang mulai beroperasi. Udara masih
segar, belum terselimut oleh polusi udara yang disebabkan oleh pabrik-pabrik
textil dan asap kendaraan. Diam-diam Edi pergi untuk memulai dagang tanpa
sepengetahuan Arman dan Riyan. Tak ada yang tahu dia dagang.
Mamat membawa Edi pada sebuah gedung yang kondisinya
sudah sangat buruk sekali. Ruangan dalam terlihat sangat berantakan. Kursi-kursi yang sudah rusak disetiap sudut, jaring-jaring laba-laba banyak
menempel pada dinding, genting yang sudah pada pecah, serta jendela yang hampir
semuanya rusak. Dinding-dinding
digambari graviti wanita-wanita sexy dan beberapa tokoh yang terkenal di Negeri
ini. Suasana di dalam rasanya
menjadi mencekam bak berada di rumah
hantu. Selain itu, didalam juga sudah
banyak pedagang asongan yang sedang berkumpul disalah satu ruangan yang
biasa digunakan untuk mengadakan pertemuan.
Apa ini? Tanya Edi dalam hati.
Edi dan Mamat duduk di sebuah balok kayu yang berada
didekat jendela. Tak lama Kemudian datang dua orang laki-laki dengan badan
tinggi-besar, rambut
panjang, anting ditelinga kanan dan kiri, gelang paku ditangannya serta kepala
yang botak. Penampilannya lebih menyerupai
toko material bangunan.
Oh, Ternyata
Mereka yang membagi tempat-tempat yang akan dijadikan lokasi jualan. Semacam kepala pereman. Aku baru tahu jika ternyata
pedagang asongan ada yang memimpin. Sedikit belajar Manajemen juga.
Tak ada yang bisa Edi hafal dari fisik laki-laki itu
selain tato ular besar yang melingkar pada lengannya.
“Kamu anak baru?” Tanyanya menunjuk tepat kewajah Edi.
Sanga tajam sekali.
Tubuh Edi bergerak gemetaran. Wajahnya memucat pasi.
Jemari tangannya otomatis bergerak-gerak sendiri. Dia menelan ludah lalu
mengangguk polos.
“Bagus. Sementara kamu jualan didampingi Mamat dulu.
Kalau sudah paham baru kamu bisa jalan sendiri. Biasanya anak baru banyak yang
goblok! Ngerti?” Kata laki-laki yang tengah berdiri seraya menyesap rokok yang
mengepulkan asap tebal. Lagi-lagi Edi hanya bisa mengangguk polos. Ia tak
berani untuk berkata-kata apalagi membantah. Yang hanya bisa dia lakukan
hanyalah nurut, nurut dan nurut.
Laki-laki itu terlihat sangat puas melihat Edi nurut
kepada mereka. Untuk anak-anak yang lain mereka masih berjejer sambil
bisik-bisik. Entah apa yang mereka semua bisikan. Mungkin juga membisikan
kehadiran anak baru ini. Atau hal lain? tidak ada yang tahu.
Lebih dari duapuluh anak yang menjadi pedagang asongan.
Dan saat ini mereka berada di dalam ruangan yang sama dengan Edi menunggu
perintah dari sang bos yaitu kedua laki-laki bertubuh besar itu. Mereka semua
terlihat sangat nurut dan patuh. Aneh, namun inilah faktanya.
Selasa pagi menjadi hari awal Edi memulai profesi barunya
menjadi pedagang asongan. Rasa canggung dan bingung masih menyelimuti dirinya.
Siapa yang tidak bingung dengan hal singkat ini. Apalagi Edi. Tak ada terlintas
sedikitpun dalam fikirannya untuk menjadi pedagang asongan. Namun, siapa juga
yang tahu alur kehidupan? Dan inilah kehidupan. Serba tidak terduga. Mungkin
ini akan menjadi awal? Mungkin juga ini akan menyenangkan? Atau mungkin.......
Achhh... Kenapa harus berfikiran negatif?
Kaki kasarnya mulai membawanya keliling. Banyak sekali
orang yang sedang duduk pada koridor stasion. Menunggu kereta datang dan
adajuga yang menunggu jemputan. Edi berjalan perlahan diantara orang-orang itu
sambil terus menawarkan barang dagangannya terutama minuman dan rokok. Banyak
sekali tanggapan dari mereka. Ada yang hiba. Ada yang membeli dan adajuga yang
acuh tak acuh dengan kehadirannya. Rasa lelah mulai terasa pada setiap langkah
kakinya. Edi menghentikan langkahnya untuk beristirahat. Tubuhnya bersandaran
pada tiang koridor. Hari ini panas sekali. Lihat saja, tubuh remaja itu basah
dengan keingat. Wajah hitamnya pun semakin terlihat hitam. Edi
mengipas-ngipaskan topinya ke badan untuk membuat AC buatan.
Tak banyak uang berhasil dia dapat. Hanya cukup untuk
setoran kepada bos dan sisanya untuk makan. Tak ada sisa yang bisa dia simpan
untuk keperluan sehari-hari. Hati kecilnya menangis, ingin sekali dia
menyisikan sedikit uang sebagai tabungannya untuk mendaftar kuliah. Namun,
harapan ya hanya tinggalah harapan. Sudah bisa makan saja sudah sangat
bersyukur.
“Halo sobat. Kumaha atuh dagangan hari pertamanya? Laku?”
Tanya Mamay sumeringah. Dia langsung menghampiri Edi begitu melihat sahabatnya
itu tengah beristirahat.
“Alhamdulilah, Mat. Lumayan. Kamu sendiri gimana?” Edi
bertanya balik. Tangannya masih sibuk mengibas-ngibaskan topi ketubuhnya.
“Kali aku mah jangan ditanya. Pasti laku atuh. Senior...”
“Walahhh, sombong tenan kamu. Aku pasti bisa ngalahin
kamu. Aku masih baru, jadi belum bisa menjual banyak.” Protes Edi memekikkan
bibirnya.
“Sok, coba saja buktikan. Aku mah pasti juaranya. Mamat!”
Katanya sombong. Dia menyondongkan dadanya kedepan.
Mereka berdua berbincang-bincang ringan. Tawa mereka
menghilangkan rasa lelah yang sempat mereka rasakan.
Waktu sudah mulai larut, akan lebih berbahaya jika mereka
terlambat datang. mereka harus segera pulang untuk menyetorkan hasil mereka
kepada Bos. Tak ada yang berani untuk melawan Bos itu. Melakukan setoran wajib
adalah cara paling aman bagi mereka sang anak jalanan.
Mereka berdua berjalan santai sambil terus ngobrol.
Jalanan mulai dipadati oleh para pengguna jalan. Jam sibuk tiba waktunya. Pada
jam-jam seperti ini banyak sekali karyawan pabrik-pabrik yang berebut jalan
untuk segera sampai dirumah. Bagi mereka anak jalanan pemandangan seperti ini
sudah biasa. Namun, bagi penduduk baru seperti Edi masih sangat asing. Pasti
dia akan terbiasa dengan semua ini. Semua perubahan dalam jangkauan matanya.
“Anak baru, lumayan juga. Gimana jadi pedagang asongan?
Asyik kan?” Tanya Bos Cecep tersenyum lebar. Dia terlihat sangat bahagia sekali
dengan uang setoran yang dia dapat.
“E- enak, Bos.” Edi menjawab ketakutan. Wajahnya perlahat
memucat pasi. Cecep masih tertawa dihadapannya. Edi segera meringsut
kebelakang.
Ditengah gemerlapnya bintang, dibalik dinginnya udara malam dan ditemani
secangkir kopi, Edi duduk diteras kosan yang
hanya berukuran kecil. Sempit untuk berdua. Jika kaki di selonjorkan, maka
setengahnya menggantung di udara.
Malam ini, suasana sangat damai sekali terasa. Tak
terdengar suara gemuruh pabrik-pabrik yang berdiri kokoh di daerah Moh Toha. Kesunyian
suasana malam membuat segar pikiran yang
sedang kacau. Sedikit terlupakan masalah-masalah yang selalu membuat beban
pikiran. Hal-hal yang biasanya memecah kesunyian tampaknya malam ini sedang
berlibur. Suasana seperti ini yang selalu dirindukan oleh masyarakat kota.
Tuhan, indah sekali keagungan-Mu.
Bola mata lebar itu perlahan terpejam. Secangkir kopi
masih stay dengan elegan disampingnya. Renungan. Edi melakukan renungan tentang
kegiatannya hari ini. Sangat sulit untuk dipercaya. Semuanya diluar dugaan.
Namun, dibalik sebuah kisah pasti akan ada makna. Dalam renungan itu dia terus
mencoba untuk mempelajari tentang hari ini. Bisa. Semua ini bisa dimengerti dan
dipahami. Ini adalah jalan. Ini adalah jalan terjal untuk mencapai sebuah
harapan. Ini bukan hambatan. Ini hanya ujian yang harus dilewati.
Edi membuka mata lebar. Menatap jauh kedepan. Cerobong
asap bisa dia lihat diujung sana. Dia teringat sesuatu. Pada udara, air, tanah
dan semua tentang alam. Udara tercemar dengan semua aktivitas pabrik-pabrik.
Asapnya mengepul luas mencemari udara sehingga menyebabkan udara kotor. Bau.
Air, air yang harusnya bersih kini juga tercemari oleh limbah pabrik-pabrik
yang membuang limbahnya ke sungai atau ke selokan-selokan kecil. semuanya
tercemar termasuk ladang sawah para petani. Dan tanah, hampir tak ada resapan
disana. Semua terlapisi oleh lapisan beton. Semua tanah tandus. Siapa yang
salah? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab dengan semua itu? Apakah
pemerintah? Apakah aparat keamanan? Atau......... Lalu, kenapa mereka tidak
menindaknya?
Kenapa mereka tidak menindak para penjahat besar itu? Kenapa
mereka dibiarkan merusak alam? Kenapa justru pedagang kaki lima dan pedagang
asongan yang selalu mereka tindak? Itukan demi sesuap nasi. Demi menghidupi
keluarganya. Demi untuk bertahan hidup. Apakah harus selalu rakyat kecil yang
menjadi korban?
Inilah realita. Semakin sulitnya mendapat lapangan
pekerjaan menyebabkan orang menghalalkan segala macam cara untuk bertahan
hidup. Termasuk harus melawan pemerintah. Jadi, segala macam cara dilakukan banyak orang agar bisa hidup dikota
besar. Meskipun harus bertentangan denga Pemerintah seperti menjadi pedagang asongan, pedagang kaki lima dan sebagainya.
Namun selagi itu halal Kenapa tidak?
Toh, banyak di luar sana yang memiliki jabatan tinggi
tapi menyesengsarakan rakyat. Harta mereka
berlimpah tapi tak tahu halal atau justru HARAM. Mereka mengambil hak yang seharusnya untuk rakyat
banyak. Mereka menyalahgunakan kekuasaan hanya untuk kepentingan mereka saja. Kasihan sekali mereka. Harusnya mereka segera sadar. Itu
Hanya Sementara.
Hari kedua. Melewati malam yang sunyi, tak terasa pagi
telah tiba. Itu tandanya Edi harus segera bergegas memulai profesinya. Pedagang
Asongan. Cuaca terlihat sangat cerah. Wilayah yang menjadi sasarannya hari ini
adalah terlimal Cicahem. Disana pasti akan sangat menguntungkan karena disana
pasti ramai sekali.
Benar, sangat ramai sekali. Seperti yang dia lakukan hari
kemarin, dia berjalan menawarkan minuman dan rokok. Hari ini berbeda. Hari ini
minat beli masyarakat cukup memuaskan. Banyak sekali yang membeli minuman atau
rokok kepada Edi. Biasa, terminal adalah sasaran empuk bagi pedagang asongan.
Dari sudut sana. Dibalik bus yang tengah terparkir
terlihat seorang remaja tengah memperhatikan Edi. Mamat. Disana Mamat
memperhatikan Edi yang cepat sekali menguasai pasar. Tampaknya Mamat
benar-benar akan kalah. Dari jauh sana terlihat Edi sibuk sekali melayani para
pembeli. Mamat tersenyum. Dia harus berhati-hati jika tidak ingin kalah dengan
si pendatang baru.
“Hari ini memang hari kamu. Kayaknya daganganmu lebih
laris dari daganganku. Untuk hari ini aku mengaku kalah.” Kata Mamat saat dia
duduk berdua dengan Edi dibawah jembatan penyeberangan.
“Kamu teh memang hebat. Alus pisan.” Katanya lagi
mengacungkan jempol.
Edi hanya tersenyum. Matanya melirik Mamat sesaat. Jari
tangannya mulai memutar tutup air mineral dan segera menenggaknya. Panas
sekali. Tenggoroan terasa kering. Setelah air membasahinya maka terasa sangat
segarrrr.... Dia kembali menggenggak air mineral dan membuang botolnya ke kotak
sampah disebelahnya. Mamat menyandarkan tubuhnya pada tiang dan memejamkan
mata. Dia tampak sangat lelah.
Edi masih istirahat. Melepas lelah hampir seharian
berjualan. Dari sana. Tepat kearah matanya memandang terlihat seorang laki-laki
tengah berjalan kearahnya. Laki-laki berkemeja putih itu tampak tidak asing
dimatanya. Apa benar itu dia? Adapalagi dia menghampiriku? Dan kenapa juga dia
ada disini?
“Edi Saputra?” Tebaknua begitu sampai dihadapan Edi. Dia
tersenyum lebar disana.
Edi mengangkat kedua alisnya. “Pak Ridwan? Yang ndak peka
itu?”
“Haahhh.... Kamu selalu menggoda saya. Oya, sedang apa
kamu disini?” Tanyanya.
“Wahhh.... Kok kebetulan terus gini ya kita ketemunya.
Udah kayak di sinetron-sinetron adja.”
“Jawab dulu pertanyaan saya? Kamu sedang apa disini? Kok
bawa kotak-kotak berisi minuman?”
“Ohhh.... Saya jualan, Pak. Sekarang saya udah punya
usaha sendiri Pak yaitu jadi pedagang asongan. Bapak siap-siap saja kalah
dengan saya.”
“Kamu jadi pedagang asongan?” Tanyanya kaget.
“Bapak ndak usah mulai ndak peka lagi deh. Kan barusan
juga saya sudah bilang. Masak ditanyain lagi.” Edi memprotes kesal. Duakali
Bapak dihadapannya ini tidak peka.
“Oke, saya ngerti. Sejak kapan?”
“Kemarin.” Edi menjawab singkat.
“Kemarin?”
“Bapak mau mulai ndak peka lagi? Saya barus saja jawab
lo, Pak.” Edi memprotes lagi. Kali ini sedikit lebih keras. Ridwan tersenyum
kalah dihadapan Edi. Edi lega akhirnya Ridwan kalah juga. Jadi tidak perlu
mengulang-ngulang jawaban.
Sebagai orang yang lebih muda akan sangat tidak sopan
jika menolak ajakan orang yang lebih tua. Akhirnya, Edi menerima ajakan Ridwan
untuk menemaninya berbincang-bincang sementara menunggu busnya datang.
disebelah sana, diselatan terminal mereka berdua ngobrol ditemani dengan dua
botol minuman bersoda.
Jauh obrolan mereka membuat Edi menceritakan pengalamannya selama dibandung kepada
Ridwan. Mulai dari ditolak perusahaan sampai ditipu oleh sebuah lembaga yang
menamakan dirinya PT. Dihadapannya Ridwan
hanya mengangguk-angguk mendengar dongengan remaja itu. Ridwan tampak khsusuk
mendengar kisah remaja malam itu. Bukan cara yang sangat mudah mencari kerja
dengan berjalan kaki menempuh jarak sampai puluhan kilometer. Kalau karena
kakinya sudah terbiasa maka sangat akan sulit untuk bisa bertahan. Namun Edi
membuktikannya. Dia sanggup bertahan.
Jangan pernah
menyerah. Semua kegagalan. Pasti akan ada keberhasilan. Jangan takut untuk
memulai sesuatu meskipun banyak orang menganggapnya itu mustahil. Buktikanlah
jika anggapan mereka itu tidak benar. teruslah berjuang dangan jangan mudah
menyerah. Karena hanya itu kunci mencapai sukses. Indonesia tidak akan pernah
ada jika para pejuangnya mudah menyerah. Berprilakulah seperti para Pejuang
Indonesia. Tidak banyak bicara namun banyak bekerja. Wiwit Sugiarto, Mahasiswa.
“Teruslah berjuang. Kejarlah cita-citamu. Jadilah orang
yang sukses. Dan, pastikan kamu tidak akan menjadi orang yang tamak atau
sombong jika kesuksesan berhasil kamu dapatkan. Tetaplah rendah hati dan
apaadanya.” Pesan Ridwan kepada Edi. Edi tersenyum lugu ketika Ridwan menepuk
bahunya.
Lima menit lagi bus jurusan Jogja akan segera berangkat.
Pak Ridwan segera menyudahi obrolan itu. Ridwan ke Jogja untuk mengurus
pekerjaannya. Hanya satu kalimat yang ada didalam pikiran Edi saat itu. ‘Saya
pasti akan menyusul anda ke Jogja.’
***
Suatu hal yan akhirnya menjadikannya seorang pembohong.
Padahal bukan itu yang diajarkan oleh kedua orang tuanya. Sesungguhnya
kebohongan ini membuat hatinya resah. Tidak nyaman. Ada rasa bersalah yang
menyelimuti hatinya. Rasa sayang kepada kedua orang tuanya membuat Edi lebih
memilih untuk berbohong daripada harus membuat kedua orang tuanya kecewa. Dia
tidak mau jika mereka tahu jika ternyata dia hanya seorang pedagang asongan di
Bandung. Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia yang bisa untuk dibanggakan.
Kekecewaan pasti akan membuat hari kedua orang tuanya sedih jika tahu putranya
menjadi pedagang asongan di Bandung. Itu, itu adalah alasannya dia memilih
untuk berbohong.
Tak apa dia merasa tidak nyaman, asal kedua orang tuanya
tetap nyaman jauh diseberang sana. Allah pasti tahu dan mengerti dengan semua
kebohongan ini. Pasti tahu.
Merasa ada yang ganjil, Arman mengamati benar-benar
tingkah Edi akhir-akhir ini. Dia mengamati kegiatan Edi mskipun tidak
seluruhnya. Rasa curiga menghinggapi kepalanya.
Ada yang aneh. Mengapa Edi jadi sering pulang malam?
Kenapa dia jadi sering berangkat sebelum yang laing terbangun? Dan, mengapa dia
bisa dengan mudah mentlaktir makan?
Beberapa hari ini Arman dihantui rasa penasaran terhadap
Edi. Arman tidak ingin menuduh, namun hanya itu yang ada di dalam kepalanya.
Menjadi kurir narkoba. Siapa yang tahu? Ini adalah kota besar, siapa saja bisa
menjadi apa saja termasuk pengedar narkotika. Tak ada salahnya mencurigai.
Hanya sebatas menjaga agar tidak terlalu jauh.
Dan sangat kebetulan sekali, beberapa hari ini penjualan
Edi meningkat sehingga dia bisa menyisihkan uang lebih untuk mentlaktir Arman
dan Riyan. Bahkan dia juga sudah bisa menabung dikit-dikit. Omong-omong, semua
itu tetap tanpa sepengetahuan Arman.
“Ed, kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sering pulang
malam?” Tanya Arman. “Apa kegiatanmu sekarang sampai mengharuskan untuk pulang
malam dan berangkat sebelum kami terbangun?”
“Iya. Kamu sudah kerja?” Tambah Riyan yang berada disudut
pintu sambil menyesap sebatang rokok.
“Um, saya sudah bekerja. Kerja di toko cat milik Kong
Along.” Edi menjawab kalem. Dia sudah menyiapkan jawaban itu sebelum pertanyaan
itu muncul.
“Alhamdulilah. Dimana itu tempatnya? Jauh darisini?”
Tanya Arman lagi. Arman jauh lebih sedikit lega dengan jawaban Edi.
“Tidak jauh. Di Jl. Soekarno Hatta nomor 09. Tidak jauh
dari lampu merah.”
“Hebat uy, sekarang mah sudah dapet kerja. Selamet ya,”
kata Riyan tersenyum lebar. Asap roko itu melayang-layang di atas kepalanya.
Arman manggut-manggut paham dengan jawaban Edi. Setidaknya rasa curiganya
sedikit terobati dengan jawaban itu. Setidaknya Edi jauh dari kurir narkoba.
BAB 19
Razia Satpol PP
Razia Satpol PP
Tak ada hal yang paling indah selain membuat sahabatnya
bahagia. Memperingati seminggu menjadi pedagang asongan Edi mentlaktir Mamat di
sebuah restourant langganannya. Disana, Mamat bisa memesan makan semaunya dan
tidak perlu khawatir dengan harga. Karena Edi yang akan membayar semuanya.
Namun, tlaktiran itu berlaku setelah mereka pulang dari ngasong hari ini. Ini
adalah hari minggu. Dan hari ini, semuanya berubah.
Hari ini Edi mendapat bagian tempat jualan di alun-alun Bandung. Katanya sih, area yang sangat rawan SATPOL PP. Namun,
dia tak berfikir kesitu. Dengan
senang hati Edi menyambut alun-alun
sebagai sasarannya. Bagaimana tidak, banyak sekali pengunjung di alun-alun, jadi,
bisa dipastikan dagangan bakalan laku keras di sana. Kondisi trategis, banyak
pengunjung, suasananya dingin, sangat tepat sekali untuk jualan, sekaligus berwisata. Menyelam
sambil minum air. Siap-siap meraup untung yang banyak. Optimis sekali. Namun
dia lupa.
“Untuk memperingati satu minggu aku jadi pedagang
asongan. Nanti setelah ngasong aku mau nlaktir kamu di restaurant langgananku.
Mau ndak?” Ucap Edi memberitahu Mamat. Mereka berdua sedang berjalan dengan
kalung kotak asongan yang menggantung di lehernya.
“Widihhhh.... Gaya pisan euy sekarang mah. Sudah punya
uang banyak mau nlaktir sagala? Sudah jadi orang sukses?” Seru Mamat
sumeringah. Edi hanya senyam-senyum.
“Kebetulan aku baru dapat rezeki. Yo ndak banyak, tapi
cukup kalau untuk membuat perut besarmu itu kenyang.”
“Gaya coy, mainnya mah sekarang restaurant. Hebat maneh
mah, Ed. Saya saja belum pernah makan di restaurant selama di Bandung.”
“Maka dari itu, aku mau ngajakin kamu makan disana. Biar
kamu ngerasain. Biar kamu ndak katrok gitu loh.”
“Idihhhh.... Ngejek aing siak? Ginih-ginih saya teh tidak
katrok-katrok amat. Nama saya saja Mamat. Saya juga tahu restaurant. Kehed!”
Protesnya sinis. “Tapi teh dimana tempatnya? Itu tempat teh pasti mahal pisan.
Emang duit kamu teh cukup gituh?”
“Ndak perlu khawatir dengan itu, aku sudah menyiapkan
uang dobel untuk membuat sahabatku ini bahagia. Tenang saja sobat.” Balas Edi
tersenyum lebar. Mereka berdua terpisah untuk menjajakan barang dagangannya.
Ini yang membedakan hari ini dengan hari-hari sebelumnya.
Selain bertempatan dengan hari seminggu dia menjadi pedagang asongan. Ini
adalah hari minggu. Dan, inijuga adalah awal dimana dia sudah tidak didampingi
lagi oleh asistennya yaitu Mamat. Dia sudah terpisah dari Mamat. Dia sudah
dipercaya untuk berjalan sendiri.
Sayang, Mamat
mendapat mendapat bagian di
terminal Luwi Panjang, yang letaknya sangat jauh dari alun-alun. Jauh darinya. Malang,
ini adalah hari minggu. Dan hari minggu
menjadi hari langganan razia Pol PP. Bagaimana jika benar-benar itu terjadi?
Bagaimana dengan Edi? Semoga dia tidak apa-apa.
“Ed, hati-hati, nyak. Kalo ada apa-apa, lari aja sekencang-kencangnya.
Kayak kuda.” Pintanya sambil menepuk pundak
Edi. Wajah Mamat tampak cemas.
“O, tenang aja. Aku bakalan lari seperti tikus got kalo
ada apa-apa. Tapi percaya sama Edi, ndak akan ada apa-apa.” Edi nyengir lebar
membuat Mamat semakin sebal. Ini bukan waktunya untuk bercanda.
“Ulah nyengir maneh. Buenget maneh
goreng pisan. Dasar budagh, diajak
serius malah bercanda. Kehed!”
Seru Mamat semakin kesal. Saking kesalnya
sampai bahasa sundanya keluar begitu saja. Percumah, Edi juga tidak tahu apa
yang dia katakan.
Edi memulainya dari parkir bawah tanah di alun-alun kemudian selanjutnya ke
alun-alun. Suasana cukup kondusif, pengunjung banyak, karena bertepatan dengan
hari minggu. Edi jalan sambil membawa kotak asongan yang di kalungkan di leher. Banyaknya pengunjung
yang antusias untuk membeli dagangannya membuat Edi lupa. Lupa jika alun-alun
rawan Razia. Tak ada sedikitpun pikiran itu dikepalanya. Hanya ada
kuliah-kuliah dan kuliah. Pintu kuliah yang sudah berada di ujung sana.
Ternyata mereka salah. Siapa bilang di alun-alun
berbahaya? Buktinya dia bisa menjual banyak. Buktinya dia bisa mendapat uang
banyak. Buktinnya dagangannya laku. Dan buktinya dia masih aman-aman saja.
Mereka semua bodoh. Mereka semua terlalu termakan dengan rasa takutnya. Padahal
disinilah gudangnya uang.
Andai setiap hari seperti ini pasti aku akan cepat bisa
mendaftar kuliah. Aku pasti bisa menabung untuk biaya kuliah. Terimakasih
Ya-Allah. Terimakasih atas rezeki ini. Terimakasih atas nikmat-Mu.
Tak mau melewatkan kesempatan Edi kembali beraksi. Tangan
kanannya menggenggam satu botol mizune dan tangan kirinya menggenggam satu
bungkus rokok. Dia tidak mau banyak istirahat. Karena baginya hanya akan
membuang-buang waktu. Langkah kaki membawanya berada tepat di puas para pedagang
kakilima berjualan. Selatan alun-alun. Tepat disamping pagar.
Bagaikan kapas yang tiba-tiba saja dihantam oleh angin
puting beliung, seluruh pedagang kaki lima berhamburan. Tercecer. Lari
kesana-kemari mencoba untuk menghindari kejaran. Didepan sana, tepat di depan
gerbang alun-alun, dua mobil warna hitam berhenti dan menurunkan pasukan.
Pasukan bersenjata berupa tongkat itu langsung menyerbu para pedagang kaki lima
dan pedagang asongan yang lain. Gembel, pengemis dan pengamen pun ikut menjadi
sasaran empuk mereka. Tidak ada yang bisa menyelamatkan barang dagangan mereka.
Semuanya dihancurkan. Diratakan dengan aspal. Mereka, Satpol PP.
Oh, Tuhan, inikah jawaban-Mu?
Hanya satu yang bisa dilakukan yaitu menghindar. Lari
sejauh mungkin agar tidak ditangkap. Edi, dengan kaki kuatnya langsung berlari
menjauh dari pasukan itu. Tak dia perdulikan lagi berapa banyak minuman dan
rokok yang berjatuhan dari dalam kotak. Yang dia tahu, dia harus lari
sekencang-kencangnya agar tidak tertangkap.
Disana, terlihat seorang pedagang tengah tertunduk
menangisi barang dagangannya dihancurkan bak serpihan kapal pecah. Tak bisa dia
melawan pasukan itu. Yang dia bisa hanya menangis meratapi kejadian yang
menimpa mereka. Ada yang berani melawan, namun mereka justru menjadi bulan-bulanan
pasukan itu. Ada yang mencoba menghalangi tapi justru dilempar ke aspal.
Kakinya sudah berasa berlari melampaui batas. Kakinya
mengatakan jika dia harus berhenti untuk istirahat. Namun, ternyata pasukan itu
lebih bandel dari dia. Terlihat dua orang berseragam tengah mengejarnya dari
belakang. Mereka menenteng dua tongkat sementara terus berlari mengejar Edi.
Kaki sudah tidak kuat lagi untuk diajak kejar-kejaran, namun jika tidak terus
berlari dia akan ditangkap. Harus bagaimana ini? Jika tetap diam maka dia pasti
akan ditangkap dan dibawa ke kantor. Dia pasti akan masuk dalam jeruji besi.
Dia pasti akan masuk panti sosial. Ini tidak bisa biarkan. Bagaimanapun dia
harus tetap lari agar tidak ditangkap. Tapi....... Akhirnya keajaiban itu
datang.
Ya-Allah,
hamba tidak mau berakhir dengan kekecewaan, hamba ingin akhir dari semua ini
bahagia. Hamba ingin membahagiaan kedua orang tua, hamba tidak mau di bawa ke kantor polisi,
apalagi harus dipenjara, hamba sangat tidak meginginkan hal ini. Tolong bantulah
hambamu yang lemah ini Ya-Allah.
Edi memaksakan untuk tetap berlari sampai ke Pasar
Baru belakang alun-alun Bandung yang jaraknya sekitar 1 kilo meter
dari alun-alun. Apa yang mereka
telan sebelum bertugas sampai-sampai mereka masih saja kuat untuk mengejar Edi?
Padahal Edi sudah tidak sanggup lagi. Ingin sekali berhenti namun pasti akan
tertangkap. Edi berhenti. Badannya membungkuk untuk membuang sisa-sisa lelah.
Nafasnya masih ngos-ngosan. Kepalanya membungkuk dan terlihat dari selangkangan
dua petugas masih mencoba untuk menangkapnya. Mulut menganga, napas ngos-ngosan,
keringat mengalir dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sepertinya
petugas-petugas itu memang habis makan obat kuat. Tak ada henti-hentinya untuk
mengejar remaja ini. Padahal jaraknya sudah jauh sekali dari target operasi.
Dibayar berapa mereka?
Ya-Allah,
jika ini sudah menjadi jalan hamba yang engkau berikan maka
hamba akan menerimanya dengan iklas. Namun, hamba memohon agar kedua orang tua
hamba diberi kesehatan dan dimudahkan rizkinya.
Berdoalah sebelum kau tertangkap.
***
“Saya dengar kamu jadi pedagang asongan? Apa benar?”
Tanya Arman mengintrogasi Edi setelah dia sampai di rumah kos. Riyan terlihat
juga duduk disampingnya.
Edi tidak menjawab. Dia hanya diam merasa bersalah. Seharusnya
sejak awal dia jujur. Jika sejak awal dia jujur pasti masalahnya tidak akan
serumit ini. Namun, nasi yang sudah menjadi bubur akan tetap berupa bubur tidak
bisa kembali menjadi nasi.
“Kamu tau resiko dari semua ini?” Kata Arman lagi. Edi
hanya menunduk diam dengan seribu rasa bersalahnya. Hatinya berdeham.
Jantungnya berdetak melebihi ritme.
“Maaf.” Katanya singkat. Kepalanya masih menunduk tidak
berani menatap mata Arman yang menyala-nyala bagai lampu tembak.
“Maaf? Maaf kata kamu?!” Makinya. “Kamu tau berapa banyak
orang yang sudah kamu buat kecewa? Dan berapa banyak orang yang sudah kamu
bohongi? Tauk?!”
Edi menggeleng sementara terus menunduk.
Arman menarik nafas dalam lalu berkata. “Saya tidak akan
menyalahkanmu jika sejak awal kamu jujur. Disini kami keluargamu, jadi setiap
tindakanmu kami harus tahu. Karena kamu tanggung jawab kami. Dan kami akan
sangat kecewa jika kamu membohongi kami seperti ini.”
“Harusnya kamu bisa lebih dewasa.” Tambah Riyan acuh tak
acuh.
“Kami hanya tidak ingin hal buruk terjadi pamau. Kau
tahu, kau jauh dari orang tua. Dan kau juga seharusnya tahu, apa sebenarnya
tujuanmu kesini. saya bisa memaklumi keputusanmu ini. Saya bisa mengerti. Yang
saya sayangkan kenapa kamu harus berbohong hanya untuk menutupinya.”
“Saya ndak mau sampean tahu dan akan memberitahu keluarga
saya dirumah tentang apa pekerjaan saya. Saya ndak mau membuat mereka kecewa.
Saya sudah berusaha, tapi ndak ada satupun usaha saya yang membuahkan hasil.
Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk menyambung hidup di sini. Saya ndak
mungkin bergantung pada sampean.” Edi mencoba untuk menjelaskan meskipun butuh
tenaga besar untuk menggerakan mulutnya.
“Dan kamu tahu, dengan kamu seperti ini itu akan membuah
keluarga kamu jauh lebih kecewa.” Kata Arman seolah tidak percaya.
“Saya harap sampean tidak memberitahu keluarga saya.”
“Saya bukan tipe orang yang suka mengadu. Saya akan tutup
mulut asalkan kamu mau berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Mengerti?”
“Mengerti Mas, mengerti. Terimakasih banyak. Sekali lagi saya
minta maaf sudah bohong. Saya ndak ada maksut buruk dengan semua ini.” Kata Edi
yang langsung mencium punggung tangan Arman. Wajahnya tampak lega sekarang.
Setidaknya dia tidak perlu khawatir tentang keluarganya.
“Ingat, jangan diulangi lagi.” Kata Riyan seolah
mengingatkan Edi. Edi tersenyum yakin.
Pagi yang cerah untuk dua remaja yang baru saja melewati
masa puber pertamanya. Edi dan Mamat. Mereka terlihat berdua di taman Tegalega.
Edi tampak dengan wajah seriusnya sedangkan Mamat tampak dengan wajah
bingungnya.
Mamat mengerjap,
“Ed, kenapa atuh ngajak ketemuan tiba-tiba?” Tanyanya bingung. Dia menyipitkan
matanya tanda pertanyaannya itu serius.
Edi menarik nafas dan berkata. “Aku mau bayar utang. Aku
juga sekalian mau bilang......” Katanya menggantung.
“Iye teh aya naon? Siga serius pisan? Ada apa?” Tanya
Mamat semakin bingung. Dia tidak mengerti dengan sahabatnya itu. Dia sulit
sekali untuk dibaca.
“Sepertinya mulai sekarang aku mau berhenti jadi pedagang
asongan.”
Mamat terdiam seketika. Dia melenggong. Mulutnya menganga
bego.
Suasana hening.
“Berhenti?” Tanya Mamat terkejut.
“Kamu apa ndak denger kata aku barusan?”
“Yeee.... Saya juga teh denger! Tapi kan biar kayak di
tipi-tipi gitu, dramatis. Kamu mah tidak peka!” Balas Mamat sinis. “Tapi teh
serius kamu mau berhenti?”
“Harus berapa kali aku mengulang kalimatku? Ya-aku serius
to. Aku udah mutusin.”
“Tapi teh kenapa atuh kamu sampe mau berhenti segala? Ada
masalah?”
“Ndak ada. Aku hanya ndak mau membuat orang kecewa. Aku
mau cari kerja lagi.”
“Cari kerja? Hahahaaa......” Katanya tertawa lebar. “Mau
cari kerja kemana lagi? Ke Citarum? Apa ke Saritem?” Mamat masih tertawa
sendiri dihadapan Edi.
“Edi-Edi, maneh teh aya-aya wae. Kemarin saja kamu sudah
mati-matian cari kerja gak dapet-dapet. Sekarang malah mau cari kerja lagi.
Mimpi kamu!”
“Aku ndak perduli. Aku mau cari kerja yang ndak melawan
pemerintah. Aku ndak mau disalahkan.”
“Heh pengecut! Kita juga melawan pemerintah bukan tanpa
alasan. Kamu lihat pejabat di sana, apa mereka semuanya benar? Apa semuanya
baik? Tidak! Mereka jahat. Kalo mereka baik tidak mungkin mereka mencuri uang
rakyat. Alias K-O-R-U-P-S-I! Jadi siapa sekarang yang melawan pemerintah?
Mereka atau kami?” Mamat justru marah dengan pernyataan Edi. Edi masih tenang
dihadapannya.
“Tidak semuanya buruk,” Kata Edi yang langsung disambar
oleh Mamat.
“Iya, tapi kebanyakan!” Mamat semakin sinis. Tampaknya
dia sangat kesal sekali dengan pemerintah. Dan sepertinya dia tidak ingin
membahas pemerintahan.
“Kamu teh jangan jadi pemimpi. Ujung-ujungnya kecewa.
Kayak saya ini!” Kata Mamat lagi.
“Kemarin, hampir saja aku ketangkep petugas. Untung ada
orang yang menolongku disana. Kalau tidak, sekarang aku pasti sudah di dalam
penjara dan tidak bisa ketemu kamu.” Ucap Edi memberitahu kejadian kemarin.
Mamat harus tahu.
“Kamu teh serius?”
“Apa wajahku terlihat seperti orang yang lagi bercanda?”
Tanya Edi. Mamat menggeleng kalem. Wajah yang tadinya memerah padam kini mulai
memudar.
“Kenapa kamu tidak cerita sama saya?”
“Kalu aku cerita memang kamu bisa bantu? Kamu bisa
melawan petugas-petugas itu? Ndak bisa kan?”
Mamat hanya diam merasa menyesal sudah memaki-maki
sahabatnya itu. Wajahnya tampak sekali menyesal.
Mereka saling menatap. Benih air mata menggenang di
pelopak matanya. Seperti sepasang kekasih yang akan berpisah untuk selamanya, mereka berdua pelukan sambil nangis-nangis. Drama sinetron benar-benar terjadi disini. Sepertinya
mereka sangat menikmati adegan ini sampai tak sadar jika banyak orang disekitar mereka yang
menyaksikan. Setelah hampir satu menit mereka pelukan, barulah mereka sadar
jika banyak mata yang melihat ke-arah mereka.
Astafiruwlahh........... Edi cepat-cepat melepaskan
pelukan itu.
Kalian tahu bagaimana rasanya malu? Rasanya ditertawakan
orang karena dikira homo? Ya, ini yang sedang mereka rasakan. Malu! Mereka
cengar-cengir menyikapi beberapa pasang mata yang masih melotot ke-arah mereka.
Tatapan itu sangat jijik sekali. Gelagat mereka menunjukan mencoba untuk
menjelaskan, namun terlambat. Tidak akan ada yang percaya dengan mereka. Mereka
sudah tertangkap mata sedang berpelukan.
Komentar
Posting Komentar