SEPULUH_Panti Asuhan



“Loh, Put, Nina mana? Gue kok gak liat dia disini?” Tanya Niko yang sejak tadi celingak-celinguk mencari Nina namun tak terlihat. Padahal biasanya jam-jam segini Nina sedang sibuk baca novel di taman kampus.
Putri mengangkat bahu. “Kurang tau. Aku juga daritadi nungguin dia, tapi sampai detik ini belum juga nongol tu anak.”
“Apa dia sakit?”
Apa sebenarnya yang terjadi dengan cowok ini? Mengapa dia mempertahankan cewek yang samasekali tak mencintainya? Apa cowok ini buta? Harusnya dia sadar jika disebelahnya itu ada cewek yang sangat mencintainya. Aneh sekali. Cowok ini justru ngejar-ngejar hati yang tak mungkin bisa ia miliki. Harusnya dia membuka mata dan melihat jika disebelahnya itu ada cewek yang siap untuk menerima cintanya.
Cinta memang aneh. Lebih memilih yang tak pasti daripada yang sudah pasti ada.
Putri hanya bisa menghembuskan nafas pasrah saat Niko mulai mencemaskan Nina. Baginya terlalu berlebihan. Nina bukan gadis kecil lagi yang harus selalu mendapatkan perhatian. Dia sudah dewasa dan pasti tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Niko tak perlu sampai begitu mencemaskan keadaan Nina. Astaga, kenapa dengan Putri? Mengapa dia seperti ini? Ataukah dia cemburu dengan sahabatnya sendiri?
Berkali-kali Niko mencoba untuk menghubungi Nina, namun nomornya tidak aktif. Di sms pun tidak ada balasan samasekali. Jelas, Nina meninggalkan hapenya di dalam kamar. Seribukali pun Niko berusaha menghubungi tetap saja Nina tak menjawabnya.
“Penting banget ya Nina buat kamu?” Tanya Putri acuh tak acuh.
Lo pasti tahulah jawabannya. Bagi gue Nina itu beda. Dia gak seperti cewek-cewek lain yang gue kenal. Dia itu unik. Itu yang bikin gue susah lepas dari dia.
“Meskipun bertepuk sebelah tangan?” Timpal Putri.
Niko terdiam sejenak lalu berkata, “suatu saat pasti Nina akan jatuh dipelukan gue. Pasti gue bisa mendapatkan cintanya.”
Nina, Nina, dan selalu Nina. Setiap cowok yang bertemu dengannya pasti langsung memujinya. Nina memang sangat special.
***
EEGGRREEEKKKK........
Suara cendawa mengganggu gendang telinga Dimas. Dimas langsung menoleh cepat kearah suara itu. Nina terlihat sedang panik menutup mulutnya. Matanya melotot bingung menatap Dimas yang bengong menatapnya. Simbok tersenyum saat melihat keempat bola mata itu saling bertemu dalam tatapan yang sama.
“Sory, reflek.” Nina nyengir dengan gelagat malu-malu menatap Dimas. Dimas masih geleng-geleng melihat Nina.
“Gila lo, ya. Dasar cewek stres! Lo darimana sih datangnya?”
“Kok kamu sewot? Kamu gak iklas ngasih aku makan? Bilang dong!” Timpal Nina.
“Cewek stres, udah dikasih makan juga, malah marah-marah. Hiii... ogah deh gue ketemu sama cewek kayak lo lagi. Sumpah, gue bisa mati berdiri kalo ketemu ama lima cewek yang sifatnya sama semua kayak lo.” Dimas menggigil geli.
Nina manggut-manggut, “hati-hati lho, kalo sekarang benci entar lama-lama kamu jadi jatuh cinta sama aku. Gimana? Kan aku jadi malu. Jangan yeaa, aku cantik loh. Jangan jatuh cinta yaaaa?” Goda Nina spontan lalu ngakak gak ketahan. Dimas melengos sebal. Bibi senyam-senyum.
***
BRUUMMMM....
Sedan merah merapat di sebuah rumah kos yang dipenuhi dengan cewek-cewek. Andai saja bukan Simbok yang meminta mungkin Dimas ogah nganterin cewek stres itu pulang. Namun, sebagai bentuk tanggung jawabnya dengan berat hati Dimas harus mengantarnya meskipun gendang telinganya hampir saja pecah mendengar ocehan Nina disepanjang jalan. Dimas sudah berada di rumah kos-kosan tempat Nina tinggal. Seseorang sudah terlihat menunggu di depan sana.
“Lo darimana, Nin? Kenapa semalam gak masuk kerja? Lo sakit? Lo gak papa kan?” Tanya Niko.
Hampir satu jam Niko menunggu Nina di depan kamar kosnya. Dia duduk diatas lincak yang disediakan untuk tamu.
Niko melirik sedan merah yang masih terparkir di sana, “dan siapa dia? Kenapa lo bisa sama dia? Ada hubungan apa lo sama dia?”
“Niko, kamu apa-apaan sih?! Gak perlu segitunya juga kali. Dia itu bukan siapa-siapa. Dia itu cuma temen aku aja.”
“Temen? Kok gue baru tau?”
“Udah ah, aku capek. Aku mau istirahat dulu. Kalo kamu masih mau disini, silahkan. Tapi diluar! Aku mau istirahat.” Kata Nina sementara tangannya memutar knop pintu kamar. “Oya, jangan ganggu aku!”
Jahat banget Nina ngomong kaya gitu. Padahal bukan tipe dia banget berkata-kata kasar kayak gitu. Tapi dia harus, dia harus bersikap gitu. Dia harus membuat Niko menjauhi dirinya. Harus!
Sedan merah itu berlalu dari hadapannya. Ia melihat seorang cowok dalam kemudi. Niko menatapnya curiga. Tak lama kemudian giliran dia yang meninggalkan tempat itu.
Di atas kemudi Niko masih memikirkan Nina. Entah bagaimana lagi cara agar Nina mau menerima cintanya. Hampir dua tahun mereka bersama, dan hampir dua tahun cintanya bertepuk sebelah tangan. Namun, sulit hatinya untuk berpaling dari cewek ceria dan unik seperti Nina. Laki-laki seperti apa yang Nina cari? Niko masih bertanya-tanya diatas kendaranya. Motornya meluncur cepat.
***
“Ayo anak-anak, kumpul kesini. Ibu mau ngenalin kalian sama seseorang.” Seru Bu Tuti pada anak-anak. Dimas terlihat sedang berdiri diruang tamu panti asuhan tepat disebelah Bu Tuti.
Dimas mengunjungi Panti Asuhan. Pagi ini pengurus panti akan memperkenalkannya kepada anak-anak panti. Agar lebih dekat dan mudah beradaptasi. Bagi Dimas, menghabiskan waktu dengan anak-anak itu lebih bahagia daripada menghabiskan waktu dengan kedua orangtuanya yang tak pernah akur. Dimas ingin lebih dekat dengan anak-anak.
“Ini namanya kak Dimas. Kak Dimas yang akan membantu kita untuk mengembangkan panti ini. Kak Dimas juga seorang Mahasiswa di Kampus terbaik di Jogja. Kalian bisa belajar banyak dari kak Dimas. Tapi ingat, tetep jaga kesopanan.” Beritahu Tuti kepada anak-anak yang antusias mendengarkan. Hanya satu anak yang tampak cuek dan tak bersemangat.
Dimas melihat gadis cilik itu. Matanya terus mencari. “Silahkan, ayo kenalan sama anak-anak.” Kata Tuti.
Dimas memperkenalkan dirinya kepada anak-anak. Dia juga menerangkan bagaimana caranya bersabar dan bagaimana pentingnya pendidikan itu. Ilmu yang ia dapat dari Lisa ia sampaikan kepada anak-anak panti. Termasuk, bagaimana caranya mencintai lawan jenis kita yang sesungguhnya. Harus bisa menerima dengan lapang dada dari setiap keputusan Tuhan. Dimas juga berjanji akan mendatangkan guru mengajar untuk menambah jam belajar anak-anak. Setiap minggu dia akan membawa anak-anak jalan agar tidak bosan berada di panti.
Setelah memperkenalkan diri, Dimas langsung memberikan hadiah berupa kue kepada anak-anak. Mereka saling berebut namun tetap tertip. Bahagia sekali mereka mendapat hadiah dari Dimas. Namun, tidak untuk gadis cilik satu ini. Dia diam, tak seceria yang lain. Dimas terus memperhatikan dia, masih saja gadis cilik itu lesu.
Dimas mendekati Bu Tuti lalu membisiki telinganya. Ia bertanya siapa dia sebenarnya dan kenapa dia tidak se-ceria yang lain? Dimas sangat ingin tahu, karena dia melihat ada yang ganjil dengan gadis itu.
Bu Tuti menatap kearah gadis itu setelah Dimas membisiki telinganya. Gadis itu hanya menunduk malas. Ternyata namanya Alia, gadis berusia sembilan tahun itu memang sedang tidak bersemangat. Alia adalah anak paling cerdas dan penuh kejutan diantara yang lain. Setiap ada lomba di sekolahnya dia pasti jadi juara. Daya tangkapnya cepat, daya ingatnya juga kuat. Namun sayang, nasib Alia tidak seberuntung teman-temannya yang sejak awal berada di panti.
Sejak sembilan tahun yang lalu Alia sudah tinggal di panti. Namun sampai sekarang belum ada keluarga yang mau mengangkat/mengadopsinya sebagai anak. Sedangkan teman-teman yang dari awal bersama dia di panti sudah mendapatkan orang tua angkat baru. Ingin sekali Alia memiliki kedua orangtua yang utuh. Dulu, Alia dititipkan oleh Ibunya yang saat itu sedang ada masalah keluarga. Kedua orangtuanya bertengkar hebat, dan si kecil Alia terpaksa dititipkan oleh Ibunya ke panti karena ia takut tidak bisa mengurusi Alia yang dulu masih berusia satu setengah tahun.
Mendengar cerita itu Dimas langsung terdiam. Batinnya merintih, senyumnya  memudar. Dirumah, kedua orangtuanya terus saja bertengkar. Tak pernah akur. Apa aku akan seperti Alia juga? Mungkin nasibku akan sama dengan nasib si kecil ini? Dimas masih bertanya-tanya dalam lubuk hatinya. Andaikan dia bisa membuat kedua orang tuanya itu berdamai pasti akan dia lakukan, meskipun nyawa sebagai taruhannya.
Sungguh tega orang tua yang membuang anaknya sendiri.
“Nama kamu siapa?” Tanya Dimas sambil mengulurkan tangannya. Alia menongak. “Kenapa kamu gak ikut sama teman yang lain?” Sambung Dimas.
Gadis kecil itu hanya Diam.
“Alia, ditanya kak Dimas, sayang. Gak boleh gitu, harus di jawab kalau ada yang nanya. Kan Alia anak pinter.” Timpal Bu Tuti. Alia melirik Ibu Pantinya lalu saliman.
“Namaku Alia, Kak.” Ucapnya lirih sambil salaman dan mencium tangan Dimas. Dimas mengusap pucuk kepalanya dengan lembut. Setetes air mata jatuh ditangannya.
“Kamu gak lapar?” Tanya Dimas. Alia hanya menggeleng-geleng.
“Kamu mau apa?”
“Aku mau orang tua, Kak. Aku pengen kedua orang tua yang mau ngajak aku jalan-jalan. Aku mau ada yang nganterin aku sekolah. Aku juga mau ada yang ngelonin aku kalo mau bobok.” Jawabnya yang dibarengi dengan air mata yang menggenang di pelopak  matanya.
“Kan ada Bu Tuti. Bukannya sama saja? Malah Bu Tuti lebih perhatian.” Jelas Dimas mencoba untuk menghibur. Gadis itu mengucek matanya dengan kaos yang ia pakai.
“Iya sayang, kamu gak usah khawatir, Ibu akan selalu menjagamu seperti anak Ibu sendiri.” Bu Tuti duduk dihadapan Alia sambil membelai rambutnya. Air mata Alia membasahi seluruh pipinya yang tembem. Dimas tersenyum kecil. Sesekali ia  mengusap air matanya.
Andai tidak ada orang tua yang tega meninggalkan anaknya di panti asuhan, mungkin tidak akan ada anak-anak yang menderita batinnya. Alia mungkin bukan satu-satunya anak yang bernasib malang. Pasti masih banyak Alia-alia lain yang berada diluar sana. Bahkan, mungkin banyak yang bernasib lebih buruk dari Alia. Lalu, seberapa banyak orang tua yang tega membuang anaknya sendiri? Bagaimana nasib anak-anak yang mereka buang? Bersabarlah Alia, pasti ada hari bercahaya untukmu didepan sana. Tutur Dimas sambil menatap Alia yang  tengah menangis dipelukan Bu Tuti.
***
TRINIINIING.... TRINIIIING.....
Telvon rumah berdering. Simbok langsung mengangkatnya, “halo, asalamualaikum.”
Sangat mengejutkan. Setelah lebih dari lima bulan tidak ada kabar kini Miranda, Mama Dimas tiba-tiba saja menelvonya melalui telvon rumah. Ada apa Miranda menghubungi Dimas? Setelah sekian lama ia mencoba untuk melupakan kenangan yang pernah terjadi akankah Miranda akan mengingatkan kenangan masalalu yang buruk itu lagi? Akankah disaat Dimas mulai merasa nyaman dengan Jogja Miranda akan membuatnya kembali tidak nyaman?
“Simbok!” Suaranya terdengar nyaring ditelinga. Simbok masih melongo sambil terus menempelkan telvon yang lebih mirip batu bata itu ditelinganya. Simbok tidak percaya jika orang yang menelvonnya itu adalah majikannya yang dulu ia tinggal pergi. Suaranya sangat khas.
“Simbok kok diam? Jawab Mbok!” Serunya dibalik telvon.
“Iya-Bu.” Simbok menjawab lirih. Nadanya terbata, ada ketakutan di dalam dirinya.
“Simbok sekarang lagi dimana? Terus Dimas mana? Saya mau bicara sama dia!”
“Mas Dimas lagi keluar, Bu. Dari pagi tadi belum pulang. Saya juga ndak tau Mas Dimas pergi kemana. Biar nanti saya beritahu Mas Dimas kalo Ibu nelvon setelah Mas Dimas pulang.”
“Yasudah, nanti kalau Dimas sudah pulang ngomong sama dia suruh nelvon saya. Saya mau bicara sama dia.” Pinta sang Miranda yang baru saja kedatangan tamu diruang kerjanya.
“Iya, Bu. Baik.” Jawab Simbok memperhatikan telvon yang langsung terputus.
Diruang kerjanya Miranda sudah ditunggu oleh seorang wanita yang seumuran dengannya. Wanita itu tampak akrab dengannya. Oh, dia Sintia.
***
Disebuah kafe bergaya eropa tampak seorang gadis remaja sedang tertawa ria bersama teman-temannya. Gadis berparas cantik itu terlihat sangat bahagia sekali. Diatas meja tiga porsi kentang goreng, serta tiga gelas minuman, dan beberapa cemilan lainnya terlihat menggoda. Gadis cantik itu terus saja tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tiga gadis itu terus saja tertawa tanpa henti. Beberapa tamu yang duduk disebelah meja merekapun sampai pergi karena merasa terganggu. Yang satu menggunakan baju warna merah setengah dada. Gadis berambut merah ikal itu duduk dengan santai diantara gadis lainnya. Ia terlihat lebih anggun ketimbang kedua sahabatnya.
Gadis itu meraih segelas milkshake dihadapanya dan menyeruputnya perlahan. Sedangkan kedua sahabatnya sibuk dengan kebiasaan mereka yaitu selfie-selfie untuk kemudian mereka up load ke media social. Gadis itu hanya tersenyum ketika melihat sahabat-sahabatnya itu exis dimuka umum.
NUUTTT!!! NUTT!!!!
Hapenya bergetar tiba-tiba,
“Suutttt... Suutttt.... Diem-diem! Aku ada telvon.” Gadis berbaju merah itu meminta ke-dua sahabatnya untuk diam agar tidak mengganggunya.
“Halo sayang,” suara dari seberang sana. Jauh dari tempat mereka sekarang sedang nongkrong.
“Iya Tante. Gimana tante, apa ada yang bisa aku bantu?” Tanyanya.
“Gak ada, kok. Tante cuma mau bilang kalau kamu harus jaga kesehatan. Kan sebentar lagi kamu mau pindah ke Jogja. Jangan sampe sakit, ini Mama kamu lagi sama Tante. Mau makan siang bareng.” Pesan seseorang yang menelvonnya di seberang sana.
“Iya Tante, aku bakalan jaga kesehatan. Tante jangan khawatir. Aku bisa pegang amanah, kok. Tante juga jangan lupa kesehatannya dijaga, jangan kerja terus. Nanti kan kalo sakit kasihan, Om.” Kalimat terakhirnya dalam telvon itu. Ia tersenyum lebar.
Gadis itu langsung duduk dengan wajah sumeringah di sofa tempat semula ia duduk. Diletakan HP di atas meja. Ia masih senyum-senyum gak jelas. Ia menyeruput milkshake dihadapannya.
“Lo-gak papa, kan?” Tanya salah satu sahabatnya.
“Iya, kenapa lu senyum-senyum sendiri gitu? Kesambet setan apaan lu sampai kayak orang gila gitu?” Tambah satu temannya lagi yang langsung menyeka jidatnya. Gadis itu tidak membalas. Ia justru masih senyam-senyum sendiri gak jelas.
“Aku dijodohin.” Kata si gadis kepada kedua sahabatnya.
APAAAA!!!!
“Lu serius? Sama siapa?”
“Aku juga belum tau. Mama gak bilang. Yah, semoga aja sih ganteng, baik, pinter dan yang pasti perhatian.”
“Terus, kalo ternyata dia jelek gimana? Misalnya mukanya mirip Tukul. Hiii, gue sih ogah.”
“Bener tuh, kalo dia jelek gimana. Lu gak mau kan punya suami jelek?”
“Ya, gaklah. Dia pasti ganteng, orang Mamanya juga bilang kok kalo dia ganteng. Barusan aja Mamanya nelvon aku. Yah, aku mah nurut aja sama orangtua. Takut kualat.”
“Gimana ceritanya lu bisa sampe dijodohin sama tu cowok? Emang masih jaman, ya, perjodohan-perjodohan? Itukan waktu masih jaman Siti Nurbaya. Sekarang jaman moderen kaleee, udah gak jamannya di jodoh-jodohin.” Satu sahabatnya mengangguk mengiyakan kata-kata itu.
“Jadi, Mamaku dan Mama dia itu sahabatan sudah lama, mereka sudah saling kenal bahkan sudah menjadi rekan bisnis. Gak mau salah mendapat pasangan jadi mereka menjodohkan kami saja yang sudah pasti latar belakangnya. Gitu. Jadi, bukan soal jamannya atau tidak. Ini soal masadepan.” Jelasnya membuat kedua sahbatnya hanya melenggong sambil terus menatapnya.
“Lu udah pernah ketemu sama nyokapnya?”
“Belum.”
“Anaknya?”
“Juga belum.”
“???”
Siapa yang bisa menentang kemauan orang tua apalagi Ibu. Meskipun hati tidak ingin tapi demi membuat ibu tersenyum pasti kita rela melakukan apa saja. Yah, termasuk menjual kebahagiaan kita. Sesuatu yang sudah tidak lazim untuk dilakukan namun masih ada yaitu perjodohan. Terdengar kolot namun nyatanya masih ada.
***
“Halo bro,” Lanang datang tiba-tiba mengagetkan Dimas. Dimas meliriknya sesaat lalu kembali fokus dengan layar tivi.
“Apa?! Hola-halo, hola-halo. Gimana nenek lo kabarnya, sudah sehat? Apa makin parah?” Balas Dimas senonoh. Semalam baru saja Lanang membohongi dirinya.
Lanang nyengir sambil duduk didepan Dimas, “yo, jangan gitu to Mas bro. Maafin aku. Bukannya aku mau bohong, tapi sumpah, semalem itu aku takut buanget’e. Lawong aku ndak pernah nabrak orang. Minta maaf yo, mas bro karena sudah bohongi kamu dengan bilang kalo nenekku sakit.” Lanang memohon penuh sesal. Dimas acuh tak acuh.
“Oooo, jadi kamu to yang sudah mencelakakan perempuan cantik itu. Jadi bukan Mas Dimas? Enak yo jadi kamu, nabrak anak orang ndak mau tanggung jawab. Malah kabur! Kurang ajar!” Simbok menyambar sinis.
“Yo ndak gitu lo, Mbok. Habisnya semalem itu aku takut banget, jadi aku nenangin diri dirumah.” Balasnya menyesal.
“Heleh, banyak alasan!” Balasnya sinis.
Dimas hanya tersenyum melihat Lanang sama Simbok. Mereka memang gak pernah akur. Lanang mengisyaratkan kepada Dimas bahwa Dimas harus menjelaskan kepada Simbok agar Simbok gak marah-marah sama dirinya. Dimas mana perduli. Kini mereka sudah berada dimeja makan.
“Mau ngapain kamu?” Simbok membentak Lanang saat tangannya hendak mengambil nasi untuk ikut makan bareng.
“Ngambil nasi, Mbok. Mau makan.” Lanang menjawab polos.
“Ora iso. Iki buat Mas Dimas, bukan buat orang yang lari dari tanggung jawab. Namanya saja yang Lanang, tapi orangnya ndak Lanang. Banci!” Sengal Simbok yang langsung membuat Lanang terdiam. Lanang menelan ludah.
“Mas, aku ndak banci, to?” Lanang mencoba untuk mencari pembelaan. Dimas hanya mengangkat bahu lalu dia mengambil nasi dan melahapnya.
Entah apa yang terjadi tiba-tiba Dimas teringat dengan cewek stres yang makannya banyak kemarin malam. Nina. Dalam satu sendok nasi seperti terlihat Nina sedang menari-nari sambil mengulurkan lidah mengejek Dimas. Dimas memikkan bibirnya bingung. Lanang mengamati wajah Dimas yang mulai gila. Ia mengerutkan dahi. Aneh, ono opo karo Dimas? Lanang menggumam.
“Oya Mas, tadi waktu sampean keluar Ibu nelvon. Katanya mau ngomong sama Mas Dimas. Soalnya mau nelvon ke HP sampean ndak aktif katanya nomornya.” Simbok menyampaikan pesan Miranda, Mamanya.
Pesan itu membuyarkan semua khayalan indah Dimas. Semuanya berubah menjadi gelap dan hitam. Dimas menatap Simbok lalu berpaling. Selera untuk makan hilang dalam waktu beberapa detik saja.
“Katanya Ibu kangen sama Mas Dimas.” Sambungnya saat Dimas hendak beranjak dari duduknya. Dimas kembali duduk.
“Mbok, lain kali kalo ada yang nelvon gak usah diangkat. Biarin aja.” Pinta Dimas tanpa melihat wajah Simbok. Matanya tertuju pada meja dihadapannya. Jantungnya berdetak melebihi ritme.
“Tapi Mas,~” Belum selesai Simbok berkata Dimas sudah memotongnya. “Gak ada tapi-tapian, Mbok.”
“Koe arep nangendi, Mas?” Tanya Lanang yang melenggong disamping Dimas. Dimas hendak beranjak pergi.
“Mau ke toilet! Ikut?”
“Wedos, ke toilet kok ngajak-ngajak!”

Komentar

  1. Play at LuckyLand Casino - MapyRO
    Find 경산 출장샵 a map 당진 출장샵 showing LuckyLand 순천 출장안마 Casino and other gaming facilities in This is not only for children ages 2 years or older, but also for older,  Rating: 논산 출장마사지 5 · ‎2 화성 출장샵 votes

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer