PERI DIPAGI HARI


PERI DIPAGI HARI
Satu bulan sudah aku menjadi karyawan deres karet. Oke, maaf. Maksutku Buruh ders karet. Kini aku sudah bisa mengumpulkan uang yang lumayan. Aku bisa menabung dan membeli handphone baru meskipun murah. Handphone akan aku gunakan untuk mempermudah berkomunikasi dengan teman-teman yang akan memberikan info apapun terhadapku. Info orang meninggal juga bisa.
Pagi, Ed. Apa kabar?’ Tiba-tiba terdengar suara merdu dari belakangku. Entah siapa itu dia di sana. Namun, suara merdunya mampu membuat hati gundah ini terasa damai. Kupejamkan mata dan kubayangkan sosok bidadari cantik datang menemuiku di pagi hari.
Salah tingkah aku setelah mengetahui sosok yang berada di belakangku. Bukan bidadari. Bukan juga seorang putri. Namun ia adalah Peri. Peri dipagi hariku. Ia adalah Suci. Entah makanan apa yang baru ia makan sampai amnesia datang ke rumah kecilku ini.
Kamu kok gak bilang-bilang mau kesini?’ aku beranjak kaget. Mataku gugup, jantung berdebar-debar, namun hati bahagia. Bahagia ada Peri dihadapanku.
Suci tertawa kecil, entah apa yang ia tertawakan. Mungkin karena melihhat expresiku yang sangat gugup melihat tiba-tiba ia datang ke rumahku. Tak ada wanita sebelumnya yang berkunjung ke gubuk reot ini. Suci adalah wanita pertama dan satu-satunya yang aku cinta yang datang ke gubuk reotku.
‘Bagaimana aku mau bilang? Kan kita sudah satu minggu gak pernah ketemu. Mau SMS, kamu gak ada hape,’ jawabnya mengangkat bahu.
O-iya-ya. Aku lupa.’ Aku menepuk jidat menghindari salah tingkah yang berkelanjutan.
Oya, katanya kamu punya hape baru ya?’
Kok kamu tau? Emang tau darimana?’
Aaaaahhh.. itu gak penting. Mana, aku minta nomor kamu, biar bisa aku hubungin kalau ada pengumuman dari sekolah.’
Akhirnya kami tukeran nomor hape lalu kami ngobrol-ngobrol dengan canda tawa. Dari dalam, Ibu membawakan dua cangkir minuman, buat aku dan Suci. Ibu sangat bahagia sekali dengan kedatangan Suci, karena Ibu juga suka dengan sosok Suci yang sederhana dan baik. Ibu mengharapkan suci jadi menantunya. Wahai Ibuku, terlalu tinggi sekali harapanmu.
Dengan menggunakan sepeda Ontel milik Bapak, kami boncengan pergi ke sungai yang tidak jauh dari rumah. Mencari udara segar dan rekreasi adalah tujuan utamanya. Apalagi tempat rekreasi orang Kampung selain sungai? Mall? Masuk saja mungkin nyasar. Kolam renang? Lebih baik untuk beli ikan asin daripada untuk bayar tiket masuk kolam. Orang kampung sepertiku lebih baik digunakan untuk makan daripada untuk rekreasi. Menurutku, aku setiap hari sudah rekreasi. Di sawah, di ladang, ngobrol dengan kambing dan ke sungai. Tak perlu mahal dan tak perlu hidup boros. “Lawan Hidup Boros Sekarang Juga.”
Ku-ayuh pedal menyisiri jalanan terjal menuju sungai. Berat kurasakan saat jalanan menanjak. Aku tak percaya, ternyata Suci berat juga. Aku mengeluarkan segenap tenagaku. Keringat menggumpal seperti jagung mewarnai wajah polos ini. Kakiku sudah tidak kuat lagi di rasakan, namun hatiku tetap ingin mengayuh, mengayuh sampai menuju pelaminan dengan Suci. Tuhan, salahkah aku dengan harapan ini? Bersediakah kiranya engkau untuk segera menghilangkan harapan mustahil ini.
Tak paham aku dengan Suci. Bukannya jengkel atau jijik naek sepeda ontel tua, jalanan yang jelek, Hamparan pasir berdebu yang menempel di mukanya, Hamparan rumput dan Sungai yang kecil. Namun, ia justru terlihat sangat bahagia. Ia seperti menikmati perjalanan ini. Heran. Heran sekali aku. Atau dia hanya berpura-pura? Tak mungkin. Senyumnya terpancar penuh kebahagiaan. Tawanya memecah kesunyian. Sinar matanya menerangi kegelapan. Terang, sangat terang. Bagaimana bisa? Bisa.
Menjadi anak dari pasangan Guru PNS membuat Suci hidup berkecukupan. Apa yang ia mau pasti bisa langsung terwujud. Rekreasi bisa langsung ke tempat-tempat yang mahal. Lingkungan bersih. Tidak pernah ia menemukan suasana seperti di kampung kecilku ini. Suasana yang masih asli. Suasana yang masih murni. Tak ada Monopoli dan Polusi.
Ternyata kamu berat juga, ya? Kakiku serasa mau copot ini,’ aku tertawa kecil. Bermaksut membuat suasana jadi lebih Fun. Bukannya membalas Suci justru cengingisan. Sepertinya ia sangat puas dengan penderitaanku ini.
Ahh, masak gitu aja gak kuat. Kan kamu cowok, jadi harus kuat dong,’ Suci mulai meremehkan kejantananku. Ia mulai menguji kemampuan laki-laki dihadapannya ini.
Aku si kuat-kuat aja. Tapi kayaknya, yang bikin berat dosa kamu, deh.’ Aku membalasnya. Sekarang gantian aku yang cengingisan sambil terus mengayuh sepeda menembus hamparan ilalang dengan bunga-bunga indah yang menari-nari bersama iringan merdu suara burung pipit di pagi hari. Sangat romantis. Sederhana, namun cukup berkesan.
Huu, enak aja. Aku kan baik, jadi dosanya dikit. Emang kamu, jahat.’ Suci mulai berani bersikap manja kepadakau. Ya-Tuhan, sungguh cantik sekali gadis ini. Ingin sekali aku memanjakannya. Tak berdaya aku saat melihat Suci dengan manjanya merebahkan kepalanya kepunggungku.
Sesampainya kami di sungai, kami langsung menuju tempat dimana biasanya aku memancing dengan Bapak. Suasana pagi dan udara yang masih segar, ditambah sura kicauan burung menambah suasana jadi indah membuat kami hanyut dalam dunia keromantisan. Gemericik air mengalir menjadi sebuah biola mengiringi sang burung pipit bernyanyi. Kutatap air yang mengalir mencari telaga. Ia seperti mencari labuhan terakhir. Seperti aku. Aku yang ingin berlabuh dihati Suci. Air jernih terus mengalir membuat hati serasa damai, pikiran tenang, dan jiwa serasa terbang di kayangan. Kupejamkan mata dan kubayangkan mimpi-mimpiku tercapai dengan lancar. Semua terasa sangat indah, tak inginku terbangun dari lamunan ini. Namun, seperti ada air hujan yang turun mengenai wajahku. Air itu. Dia membuyarkan lamunanku. Oh, ternyata ini bukan air hujan atau air mata. Namun itu adalah air sungai yang dengan sengaja Suci cipratkan ke wajahku. Nampaknya ia ingin main-main denganku. Akhirnya kami main siram-siraman air disungai. Kami saling mengejar untuk saling membalas. Terbawa yuvoria kebahagiaan berdua. Tak sadar, kami berdua telah bergandengan tangan.
Hening.
Kebersamaan kami tak serta merta menjadikan kami sepasang kekasih. Tak ada kata cinta yang terucap dari dua sejoli ini. Aku tahu Suci menunggu aku menyatakan cinta kepadanya. Namun, aku tak cukup mampu untuk melakukannya. Bukan aku banci. Bukan Aku Homo. Bukan juga aku tak cinta. Namun aku lebih ke sadar diri! Siapa sih yang tak suka dengan gadis pintar, cantik lagi. Aku hanya tidak ingin gara-gara pacaran aku jadi lupa dengan tujuanku. Aku juga tak ingin kehilangan sahabat yang baik seperti Suci. Dan sosok wanita yang aku cinta. Itu alasan aku sampai detik ini belum menyatakan cinta kepadanya. Semoga lewat buku ini dia bisa tahu jika ternyata aku mencintainya.
Hari proklamasi hasil SMPTN telah diplokamirkan. Seperti yang sudah ditafsirkan, aku gagal dalam ujian ini. Dengan berat hati aku harus menguburkan dalam-dalam ke-inginanku untuk melanjutkan kuliah tahun ini. Dengan muka penuh kekecewaan aku pergi ke-sungai dan merenungi yang telah terjadi.
Di atas sebuah batu dan dibalik sejuknya udara sore hari di sungai serta suara-suara burung yang berkicau ria aku merenungi nasib. Aku menangis sedih, karena harus menunda untuk melanjutkan kuliah tahun ini. Kicauan burung pipit yang dengan lincahnya seolah menjadi sountrack kesedihanku ini. Langit merah di atas sana seolah-olah menjadi saksi atas kesedihanku. Angin sungai menusuk pori tak  terasa begitu berarti dibandingkan dengan sedihnya hati ini. Aku tidak yakin, apakah tahun depan bisa kuliah jika melihat ke-adaan yang seperti ini yang serba kekurangan. Jika dilihat dari latar belakang aku hanya anak seorang penjual gorengan. Pekerjaanku hanya buruh deres karet, tidak punya tanah, rasanya itu tidak mungkin terjadi. Kecuali ada keajaiban yang datang kepadaku. Aku mulai bimbang, aku mulai tidak yakin dengan tujuan yang semula hendak aku capai. Keraguan dan ketakutan mulai menyelimutiku.
Aku berfikir, “andaikan aku anak orang kaya. Pasti aku tidak harus menunda kuliah seperti ini dan harus sedih seperti ini.” Sesekali aku mengusap air mata yang menetes melewati selah hidung,  bernaung di garis bibir, sampai akhirnya tiba pada sebuah muara.
Saat aku tengah duduk santai di atas batu. Aku melihat se-ekor burung kecil terbang kesana kemari membawa sehelai rumput alang-alang. Apa yang ia lakukan? Semangat sekali burung itu? Kuperhatikan aktivitas burung tersebut. Sungguh, sungguh tak kusangka. Ternyata ia sedang membangun sangkar. Aku melihat burung kecil, dengan suara kecil, paruh kecil, sayap kecil, dan kaki yang kecil, tapi dia mampu  membangun sangkar yang begitu besar dengan menggunakan rumput alang-alang yang tergolong rumput berat. Rasa takjubku kepada burung itu.
Kenapa aku lemah? Aku lebih besar dari burung itu. Aku diberi tangan, kaki, pikiran, dan fisik yang sempurna. Kenapa aku harus menyerah dan pesimis? Bangkit kembali semangat yang hampir saja lunah bersama dengan harapan yang pupus. Aku yakin, Jika burung sekecil itu mampu membangun sangkar yang cukup besar sendirian, kenapa aku tidak. Sebagai manusia yang diberi akal dan fikiran Aku yakin, di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, selagi kita mau berusaha. Meskipun itu terlihat mustahil. Namun, itulah kehidupan, sulit untuk ditebak.

Komentar

Postingan Populer