Bab 1 Nusantara Mendukung


Mei 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang menyebabkan Bangsa Indonesia dilanda kemiskinan dan kekacauan hebat. Alih-alih ingin mempertahankan Pemerintahan Soeharto yang terpilih secara aklamasi parlemen untuk ketujuh kalinya justru membuat turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto. Mahasiswa mulai bergerak dan memprotes keras pemerintahan Soeharto hingga menimbulkan kerusuhan secara besar-besaran. Yang terdaftar dalam sejarah sebagai Tragedi Mei 1998.
Pada bulan Mei 1998 masa Pemerintahan Soeharto berakhir. Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan digantikan oleh wakilnya yang saat itu adalah BJ. Habibie.
Order baru berakhir berganti Reformasi. Namun bukan itu yang akan dibahas. Empat tahun sebelum runtuhnya masa Order Baru, seorang Ibu tengah mengandung tua. Sebuah keluarga kecil yang hidup ditengah-tengah hutan belantara Sumatera yang hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga saja hidup dengan penuh kekurangan. Krisis ekonomi sangat berdampak bagi rakyat Indonesia.
Suparman dengan istrinya yang bernama Suparmi bertahan hidup dengan cara bercocok tanam mulai dari sayuran sampai buah-buahan. Tepatnya pada bulan mei 1994 seorang bayi laki-laki mungil terlahir didunia ini. Suparmi melahirkan anak pertamanya. Seorang bayi laki-laki gagah dan tampan yang diberi nama Edi Saputra.
Empat tahun kemudian barulah Peristiwa yang sering disebut dengan Kerusuhan Mei 1998 itu berangsur membaik. Bayi laki-laki yang dulu masih merah kini sudah mulai besar berumur delapan tahun. Edi Saputra. Itu nama yang diberikan Suparman untuk Putranya. Ditengah-tengah kerusuhan yang terjadi di Pusat, Jakarta, mereka mampu bertahan dengan segala kekurangannya. Menggantungkan diri dari hasil bumi. Harga bahan pangan mahal sedangkan hasil pertanian tak laku.
Keluarga kecil itu masih bisa bertahan sampai akhirnya Era Reformasi menjadi penguasa Negeri ini. Namun, peninggalan-peninggalan Kerusuhan Mei 1998 masih dirasakan oleh keluarga ini yaitu Kemiskinan.
“Apa cita-citamu, Le?” Tanya Suparman kepada putranya ditengah-tengah kebun singkong miliknya. Mereka biasa berkebun karena memang itulah pekerjaan mereka sejak jaman dulu. Turun temurun. Le, sebutan untuk anak laki-laki.
“Aku mau jadi Menteri, Pak.” Edi menjawab polos. Mereka berdua duduk dibawah pohon pisang sementara menunggu sang Ibu mengantarkan nasi untuk makan siang.
“Kok jadi Menteri to, Le? La kenapa?” Suparman bertanya antusias. Hatinya tersenyum mendengar cita-cita putranya yang sangat tinggi.
“Aku mau membangun Negeri ini. Aku mau kaya. Banyak uang. Bisa keliling dunia.” Edi membalasnya.
“Wah, besar juga keinginanmu, Le. La kamu itu jadi Menteri hanya pengen kaya apa karena pengen mensejahterakan rakyat?”
“Dua-duanya.”
“Ya ndak boleh gitu. Itu namanya serakah. Kamu ndak bisa memiliki dua hal sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Harus ada yang terlebih dulu kamu dahulukan.” Edi mengangguk kalem. Wajah polosnya membuat Suparman tersenyum.
“Le, Negara kita ini sedang menghadapi krisis moneter dan ekonomi. Kamu, sebagai calon generasi bangsa harus bisa membangun Negera ini agar jauh lebih baik lagi. Kamu ndak boleh mengikuti hal-hal yang menyimpang seperti yang dilakukan orang-orang disana. Kamu harus jadi panutan. Kamu harus jadi contoh.” Pesan Suparman untuk putranya. Suparman mulai menyenderkan pinggangnya pada batang pisang.
“Tapi gimana caranya Pak? Kita kan ndak punya uang. Kita miskin.”
“Hoalah Le, Le, kamu itu ya kok lucu. Uang itu bukan segalanya. Yang paling penting tu Ilmu. Ilmu lebih berharga dari uang. Kamu lihat Pak Soekarno sama Pak Soeharto, mereka apa punya uang, ndak Le. Mereka jadi pemimpin karena mereka punya Ilmu. Mereka pinter. Jadi, kalo kamu pengin jadi pemimpin, jadilah orang pinter.”
“Berati aku harus terus sekolah dong Pak?”
“Yo jelas. Kamu harus terus sekolah sampai jadi Sarjana. Sarjana yang berbobot. Tapi ingat Le, jangan sombong. Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin tua semakin menunduk, semakin dekat dengan tanah. Sadar jika akhirnya pasti akan kembali ke tanah. Jangan malah ndangak. Ndak boleh.” Ucap Suparman mewanti-wanti putranya. Dia tidak ingin putranya itu menjadi orang yang sombong yang lupa akan kewajibannya sebagai muslim.
Edi mengangguk kalem. Mengerti apa yang dikatakan Bapaknya. Tak lama kemudian seorang perempuan datang membawa rantang. Dari jauh sana terlihat senyum tulus terpancar dari bibirnya. Perempuan dengan kembet serta baju batik itu berjalan perlahan dibawah teriknya matahari. Wajar saja, jam satu siang. Waktunya matahari bermain.
Suparmi membuka rantang yang dia bawa. Satu rantang berisi nasi dan satu rantang lagi berisi sayur. Plastik hitam berisi krupuk dia buka. Ini saatnya makan siang sebelum melanjutkan pekerjaan lagi. Membersihkan rumput yang tumbuh dengan subur ditengah-tengah tanaman.
Lihat keluarga sederhana itu, meskipun dengan menu makan yang sangat sederhana dan dibawah teriknya matahari yang hanya dihalangi oleh pohon pisang serta ditengah-tengah perladangan, mereka masih bisa makan dengan lahap. Masih bisa kenyang. Masih bisa tertawa. Ternyata bahagia itu mudah. Cukup mensyukuri apa yang kita punya. Itu saja.
***
Disuatu tempat yang berada dipuncak paling tinggi di Bukit Barisan Sumatera, dua orang anak tengah terlihat duduk bersebelahan menatap jauh kedepan. Menatap luasnya nusantara dari atas sana. Mereka bahkan masih berseragam merah-putih lengakap dengan tas dan juga sepatu. Semeribit angin menampar kulit mereka dengan lembut. Suara-suara Lutung menggema meramaikan hutan bukit barisan.
Mereka menggangtung tasnya pada batang pohon yang berada disebelahnya. Rumput hijau, langit mendung,  perbukitan, udara dingin dan juga suara-suara burung menjadi teman mereka disana. Itu tempat favorit mereka. Tempat yang selalu mereka kunjungi saat stres karena sekolah. Tempat yang hanya mereka saja yang tahu. Dan tempat yang selalu bias menyapu pipi mereka dengan lembut lewat udara.
“Va, apa cita-citamu?” Edi memulai percakapan. Matanya masih menatap jauh kedepan. Hamparan hutan lebat terlihat jelas disana. Sumatera masih sangat alami.
“Cita-cita? Aku tak tau, aku belum memikirkan cita-citaku. Kau sendiri, apa cita-citamu?” Ova justru bertanya balik. Dua sahabat itu mulai bercakap ringan.
“Aku mau jadi Menteri.”
“Menteri? Untuk apa?”
“Untuk membangun Negara ini. Kata Bapakku aku harus bisa menjadi panutan bagi orang banyak. Menjadi contoh.”
Ova menoleh kearah sahabatnya. “Kata Mamakku, tujuh tahun yang lalu Indonesia mengalami kekacauan hebat. Mamakku saja kalau tidak kabur ke Sumatera mungkin sudah tidak bisa melahirkan adekku. Kata Mamakku, banyak terjadi diskriminasi tujuh tahun yang lalu. Tapi aku juga tak tahu. Aku masih kecil. Dan aku, tak mau mengalami tragedi yang seperti Mamakku ceritakan itu.” Ova tertawa kecil.
“Aku harus jadi Sarjana.” Kata Edi spontan yang langsung membuat Ova terkejut. Ova menatap Edi serius.
“Sarjana? Sekarang saja kita masih kelas enam SD. Mau berapa lama lagi untuk jadi Sarjana? Tak tahan aku dengan sekolah. Banyak PR, ulangan, masuk pagi, matematika. Hah, aku tak tahan. Malah aku tak mau sekolah rasanya.”
“Kata Bapakku aku harus terus sekolah sampe jadi Sarjana. Kalo pengen jadi Menteri aku harus punya ilmu. Aku harus pinter. Aku mau sekolah di Jogja.”
Kata Bapakku terus. Ova menggerutu.
“Kau yakin? Ulangan matematika kita saja dapat 3, gimana kita bisa terus sekolah? Yang ada kita dikeluarkan dari sekolah. Ini saja kita sudah bolos sekolah untuk pergi ketempat ini.” Kata Ova.
“Tapi aku harus terus sekolah. Aku pengin keliling dunia. Dan tempat pertama yang pengen aku datengi adalah ini,” Edi menunjukan kliping yang isinya bangunan-bangunan yang ada di Jogja salah satunya Tugu Jogja. Selain itu adajuga Keraton dan bangunan bersejarah lainnya. Ova hanya memekikkan alisnya melihat sahabat yang dianggapnya aneh itu.
Edi beranjak. Dia mengibas-ngibaskan celananya lalu memanjat pohon yang ada disebelahnya. Aneh. Ova hanya bisa menatap tingkah aneh sahabatnya itu. Sekolah memang bisa bikin orang stres. Pikir Ova. Edi masih terus memanjat sampai pada tempat tertinggi pada pohon itu.
“Kau mau ngapain?”
“NUSANTARAAAA.... AKU PASTI AKAN MENAKHLUKANMU. AKU PASTI AKAN JADI SARJANA. JOGJA, TUNGGU AKU. AKU PASTI AKAN DATANG!” Teriaknya sekeras mungkin mengarah jauh ke sana. Suaranya menggema diselah-sela lebatnya hutan bukit barisan. Angin yang akan membawa suara itu untuk sampai ketempatnya. Itu adalah doa dia. Dibawah, Ova hanya menatap tidak percaya sahabatnya itu.
***
Tujuh tahun kemudian,
“Diiii, EDI!!!” Panggilan itu. Teriakan itu yang setiap pagi selalu menggegerkan orang se-RT dalam beberapa tahun ini. Dan sepertinya teriakan itu tidak akan terdengar lagi setelah ini.
“Iya-iya, tunggu sebentar. Aku tak make sepatu dulu.” Seru seorang remaja membalas panggilan itu. Remaja itu tengah riweh memakai sepatu tanpa kaos kaki.
“Kau masih tak pakai kaos kaki?” Tanyanya heran.
“Udah, kamu ndak usah kenyih. Ayo kita berangkat.”
Dua remaja SMA itu segera melangkahkan kakinya meninggalkan gubuk kecil dihadapannya. Mereka terlihat bersemangat sekali.
Ini bukan kisah romansa seorang remaja SMA. Bukan juga kisah Malin Kundang yang durhaka terhadap Ibunya. Ini adalah cerita remaja desa yang pengin pergi ke Jogja untuk melanjutkan “Pendidikan”. Kuliah di Kota Pelajar. Aku tak tahu akan memulai cerita ini darimana. Aku bukan ahli sastra yang pandai merangkai kata-kata. Aku hanya remaja yang ingin berbagi cerita kepada kalian semua.
Kelulusan SMA telah tiba. Semua siswa di sma lulus seratus persen. Edi menjadi salah satu siswa yang tidak berprestasi di Ujian Nasional ini. Tidak papa. Baginya, berhasil menyelesaikan SMA adalah prestasi yang paling diharapkan. Dia bukan orang kaya yang bisa dengan mudah memilih Universitas setelah lulus SMA. Dia juga bukan orang pintar yang bisa dapat beasiswa untuk Kuliah. Sekali lagi, aku hanya remaja yang pengin menghibur kalian semua lewat cerita ini.
Beda mereka beda juga dengan dia. Edi. Mereka sibuk untuk memilih-milih Universitas yang akan dijadikan tempat untuk melanjutkan pendidikan mereka. Tak ada yang salah pada mereka semua karena orangtua mereka memiliki banyak uang. Bagi Edi yang tak punya uang, diam adalah cara terbaik seraya menanti keajaiban datang. Keajaiban untuk lulus ujian SMPTN. Beasiswa kuliah.
“Ya, doakan saja to, Pak. Semoga aku bisa lulus ujian SMPTN ini. Biar aku dapet beasiswa. Jadi aku bisa kuliah.” Katanya dihadapan sang Bapak yang tengah leyeh-leyeh diatas lincak reot diruang tamu. Suparman.
“Nak, Bapakmu ini hanya bisa mendoakan saja, semoga kamu lolos SMPTN dan bisa kuliah seperti apa yang kamu impikan selama ini. Bapak mohon maaf tidak bisa menguliahkan kamu seperti yang telah menjadi mimpimu sejak dulu. Bukan karena Bapak tidak mau, tapi karena keadaan kita yang membuat Bapak tidak bisa membiayai kuliah kamu. Ketahuilah anakku, Allah pasti membantu umatnya yang mau bekerja keras. Insyaallah, dengan kerja keras dan doa, kamu bisa mewujudkan keinginanmu itu.” Suparman menggenggam bahu putranya memberikan bekal omongan berharap doanya terwujud.
“Amin. Bapak itu ndak usah susah-susah untuk mikirin biaya kuliahku. Bapak cukup membantu dengan doa saja. Biar aku yang mikirin kuliah.” Edi membalas sambil tersenyum tulus. Ia tidak berharap Bapaknya itu membantu kuliahnya karena ia tahu keadaannya ini.
“Gimana?” Dalam langkah ia bertanya. “Kau jadi kuliah di Yogya?” Sambungnya sambil duduk diatas sofa. Sofa yang empuk.
“Ndak tahu. Kalo aku lulus di SMPTN ya aku jadi kuliah di Jogja. Kalo ndak lulus ya ndak jadi. Ndak punya uang aku.” Edi membalas polos.
Si lawan bicara mengerutkan dahi. “Berati kau tidak akan kuliah. Aku tak yakin kau lulus di SMPTN.”
“Loh, kamu kok malah doain aku gagal? La kamu itu koncoku apa bukan jane?!”
“Ya bukannya gitu. Aku juga kan tahu bagaimana kualitas otakmu itu. Kita dari SD selalu bersama. Jadi,-... Yah, aku tahu banyak lah tentang kau.”
“Maksutmu aku bodoh?” Tanyanya. Dia mengangguk tak bersalah. “Kalo aku bodoh berati kamu juga bodoh. Kan kita dari SD selalu bareng. Selalu satu kelas!” Edi membalas kesal.
“Ya kau jangan bawa-bawa aku dalam kebodohanmu itu. Kita beda.”
“Ya kamu juga jangan bawa-bawa bodoh untuk menghinaku. Kita itu sama.” Edi membalas sengit. Dia hanya memasang muka sebal. Mendengkus-dengkus seperti tikus mencari mangsa.
“Aku doakan kau agar lulus SMPTN. Tapi kalau kau tak lulus bagaimana?”
“Ya ndak kuliah. Biaya kuliah sangat mahal. Untuk kelas orang-orang seperti aku ini manamungkin terjangkau. Kalo kamu mungkin bisa. Kan kamu orang kaya.”
“Benar juga. Aku juga tidak tahu kenapa di Negeri ini biaya kuliah sangat mahal sekali. Padahal Negara kita ini Negara kaya. Merdeka sejak tahun 1945. Tapi masih saja rakyat dibuat sengsara. Kayak mana para pemimpin Negara ini?”
“Lakok kamu tanya sama aku? Tanya sama orangnya sana. Aku ditanya ya ndak tahu.” Edi membalas lalu cekikian sendiri. Dia semakin terlihat kesal. Dia menggeram mirip kucing garong kehilangan ikan asin.
Namanya Ova. Ova Bayu Saputra. Dia adalah sahabatnya Edi sejak kecil. Mereka selalu bersama dari mulai SD sampai lulus SMA. Remaja berdarah Batak berkolaborasi dengan Cina itu sangat beruntung karena terlahir dari rahim seorang Ibu yang serba berkecukupan. Sahabatnya adalah Edi. Edi Saputra. Dan ini adalah kisahnya.
Tak lama mereka berbincang-bincang, tiba-tiba saja seorang wanita cantik gemulai dengan mata sedikit merah, rambut panjang ical berkulit putih dan satu yang menjadi ciri khasnya yaitu Sutil tampak berdiri santai didepan pintu dapur. Oh, wanita itu Ibunya Ova. Namanya Ibu Sachi. Jelas sekali beliau baru saja dari dapur karena membawa Sutil ditangannya. Berarti, beliau habis masak. Pikir Edi tersenyum nakal. Beliau berdiri senderan pada tiang pintu dengan wajah sedikit kumal karena asap. Ah, dugaannya tepat sekali. Ibu yang memiliki rambut ical dan mata sipit itu masih berdiri dipintu sambil meminta mereka untuk segera makan. Awalnya Edi malu-malu tapi sangat mau. Pura-pura menolak tapi berharap dipaksa menerima. Tetap duduk namun berharap makan diantarkan. Yah, itu sudah menjadi jurus andalan tamu seperti dia. Benar kan?
Mie instan kuah yang berkolaborasi dengan telor membuat mereka tidak sabar untuk melahapnya. Edi segera ngambil piring lalu menuangkan mie kedalam piring itu. Agar lebih kenyang, dia memberi juga sedikit nasi. Sedapnya aroma telor serta bumbu mie membuat mereka tak sabar untuk segera melahapnya. Perutnya pun sudah mulai berdansa-dansa menunggu datangnya mie instan telor. Mereka menikmati hidangan sederhana itu.
***
Suatu pagi yang tak cerah menjadikan Edi seperti hidup pada gurun pasir penghisap. Edi hanya diam menunggu pasir itu benar-benar menghisap tubuhnya. Sahabat-sahabat disekolahnya tengah berkumpul pada parkiran sekolah. Hanya perbincangan ringan, namun sangat menyiksa batin bagi dirinya. Berkumpul diantara motor yang masih terparkir bebas, mereka semua asyik ngobrol sambil ketawa-ketawa. Ada yang duduk dibawah, ada juga yang duduk di atas motor yang di standar dua. Ada juga yang duduk sila sambil menopangkan dagu di atas kedua tangannya menjadi pendengar setia. Adajuga yang hanya menunduk diam merasa malu dengan obrolan ini. Ya, dia adalah Edi. Edi yang bodoh. Edi yang miskin. Dan Edi yang tak bisa Kuliah.
Tuhan, dosakah dia? Kenapa dengan dia Tuhan? Maafkanlah dirinya. Dia hanya remaja yang masih bergejolak emosinya. Dia hanya remaja biasa yang malang.
Memang seharusnya rasa iri tak tumbuh dalam diri Edi. Namun semua obrolan itu membuat rasa iri akhirnya mncul dari dalam dirinya. Siapa yang tidak merasa iri dengan sahabat-sahabat yang bisa melanjutkan sekolah tetapi kita tidak? Kalian semua juga pasti akan merasakan hal yang sama.
Akibat rasa ketidak percayaan diri itu akhirnya Edi bingung akan berkata-kata apa dihadapan sahabatnya. Dia tidak tahu topik apa yang cocok untuk mengalahkan topik yang tengah dibahas para sahabatnya yaitu ‘kuliah’. Ingin sekali ia bergabung meramaikan obrolan itu. Namun, rasa malu membuat dia minder dan mulutnya terbungkam. Ia hanya menjadi pendengar setia yang kadang meneteskan airmata.
Karena merasa tidak memiliki topik yang menarik untuk mengalahkan topik tentang kuliah akhirnya Edi memilih untuk meninggalkan panggung obrolan itu. Dia meringsut kepojok kelas sendirian. Merenungi nasib yang masih tidak ia percaya. Tak seharusnya dia begitu. Ini semua adalah jalan Tuhan. Seharusnya dia sadar. Seharusnya dia tahu jika dibalik gelap pasti terselip sinar terang.
Tidak ada yang tahu apa motivasinya dan tidak ada yang tahu apa pula tujuannya. Gadis itu datang seperti jalangkung. Tak diundang. Gadis itu berdiri kikuk dihadapan Edi yang masih menunduk sedih. Dia langsung menyeka airmatanya ketika sadar ada seseorang dihadapannya. Ia mendongak keatas.
Edi terkejut ketika tahu siapa gadis yang berdiri dihadapnnya itu. Dia beranjak menatap lamat-lamat sang gadis. Sesekali Edi menelan ludah ketika senyum indah gadis itu terpancar dari bibirnya. Dia masih belum percaya dengan hal ini. Harus diakui rasa tertarik itu ada, namun Edi memendamnya karena tidak mungkin dia bersamanya. Gadis itu adalah Suci. Sosok gadis cantik nan anggun yang menjadi primadona sekolahnya. Selain cantik, karena kecerdasannya jugalah yang membuatnya sangat populer. Suci seperti sosok manusia yang terlahir dengan penuh kesempurnaan. Semua laki-laki ingin menjadi kekasihnya. Semua berlomba-lomba untuk mencuri perhatian Suci. Tidak jarang juga dia menolak cowok-cowok yang nembak dia. Gadis berparas cantik, postur tinggi, rambut lurus serta kulit yang putih telah menghipnotis semua laki-laki yang ada di SMA. Ova pun tertarik dengan gadis itu.
“Kamu disini. Aku sejak tadi mencarimu sampai keliling toilet. Namun tetep aja gak ketemu. Malah ketemu disini sekarang.” Katanya tersenyum nakal dihadapan Edi yang masih berdiri kaku.
Toilet? Iya toilet. Yang benar saja. Kau samakan Edi dengan toilet? Hum, hanya dia yang tahu.
“Silahkan duduk.” Edi mempersilahkan Suci duduk. Lalu Edi menyusul duduk disebelah Suci. Masih kaku.
“Ada apa kamu mencariku?” Tanyanya ragu. Nafasnya tak mengikuti ritme. Sepertinya dia nerfes disamping gadis itu.
“Aku juga masih bingung. Aku tak tau kenapa aku bisa mencarimu. Harusnya kau yang mencariku.” Balasnya membuat Edi semakin salahtingkah. Dia mesam-mesem disampingnya.
“Mengapa kau bercucuran keringat? Kau tampak tegang. Santai saja, Edi.” Kata Suci menyikut bahu Edi.
***
Seperti biasa, sepulang sekolah kegiatan rutinnya yaitu membantu Bapak, Suparman untuk mencari rumput di ladang untuk makan kambing. Diusianya yang sudah semakin tua tak memungkinkan Suparman untuk terus bekerja keras. Edi yang harus menggantikaannya. Khususnya mencari rumput.
Dua ekor kambing hasil panen padi Suparman beberapa bulan yang lalu adalah harta paling berharga baginya dan keluarga. Tak adalagi barang berharga di dalam rumah selain kambing dan satu Sepedah Ontel Tua milik Suparman yang menjadi modal transoprtasi Edi kesekolah.
Dalam gubuk reot ini tidak hanya ditinggali oleh Edi, Suparman dan juga Suparmi, sang Ibu. Namun masih ada satu lagi gadis polos yang hidup bersama mereka. Namanya Rina Aryanti. Dia adik Edi. Anak perempuan satu-satunya. Dia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama yang tidak lama lagi pasti akan mengakhiri masa itu.
Sore itu, disebuah halaman yang berada di belakang rumah dan disebelah kandang kambing terlihat Suparman sedang jongkok sambil mengasah sabit. Edi tahu pasti Bapaknya itu hendak mencari rumput. Pada jam-jam menjelang sore seperti ini sudah menjadi kebiasaan Bapaknya untuk mencari rumput. Mata Edi memperhatikan tubuh rapuh Suparman. Dia menarik nafas kalem. Dia merasa tidak tega melihatnya. Edi segera menghampiri Suparman untuk menggantikan mencari rumput. Di ambil posisi Suparman. Dan kini Edi yang mengasah sabit. Kau tahu? Kambing disana sudah mulai teriak-teriak kelaparan. Telinga tetangga kalau tidak kebal pasti akan langsung mengeluarkan cairan.
Bapak mau kemana? Ini kan sudah sore, Pak?” Tanya Parmi dengan tumpukan piring yang sudah bersih ditangannya. Ibu hendak membawa piring-piring itu ke dalam rumah.
Bapak mau ke kebun sebentar, Bu. Bapak mau lihat kebun saja.”
Tapi Pak, ini kan sudah sore. Sudah jam lima. Apa ndak lebih baik Bapak mandi saja, terus istirahat. Besok baru ke kebun. Bapak juga kan lagi ndak enak badan. Istirahat saja.” Bujuk Suparmi kalem. Dia masih berusaha menghalangi niat sang suami yang memaksa untuk pergi ke kebun.
“Ndak apa-apa. Sebentar saja, Bu. Ya-sudah, Bapak berangkat dulu ya, Bu?” Bapak melangkahkan kakinya meninggalkan rumah. Ibu hanya diam saat Bapak memiliki keinginan. Tak bisa apa-apa.
Beberapa jam kemudian Edi kembali membawa rumput satu karung yang dia letakkan di boncengan sepedah ontel. Dia tampak lelah sekali. Kambing-kambing sudah tidak cerewet lagi. Pantas saja, mereka semua sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Rumput hijau cukup untuk membungkam mulut kambing-kambing itu. Untuk melepas lelah Edi duduk pada sebuah lincak reot disebelah pintu dapur.
“Edi,” panggil Ibu.
Dia menoleh, “iya, Bu. Ada apa?”
“Coba kamu cari Bapakmu diladang. Tadi Bapakmu pamitnya cuma sebentar, tapi kok sampai jam segini belum pulang. Ibu khawatir, soalnya sedang ndak enak badan Bapakmu itu.” Perintahnya cemas. Wajahnya tampak gelisah sekali.
“Yasudah, aku tak langsung keladang saja. Ibu tenang saja.”
Edi segera berlari menyusul Bapaknya.
Beberapa menit kemudian dia sampai di ladang. Dia masih mengatur nafas. Betapa kagetnya dia begitu sampai di ladang. Suasana mencekam. Langit yang mulai gelap serta angin yang bertiup kencang menggoyangkan pepohonan yang menjulang tinggi. Seperti ilalang yang tiada daya terhempas angin. Sangat kuat sekali kekuatan angin. Sungguh hebat yang namanya angin. Bermanfaat dan berbahaya.
Suara gemuruh angin yang menggema ditambah suara anjing hutan yang terus menggonggong terdengar seperti sebuah kontes paduan suara. Sangat kompak. Didukung dengan beking vokal yaitu gemuruh angin membuat semakin sempurna. Mereka saling memadukan suara sehingga menghasilkan nada indah namun menyeramkan. Edi hanya bisa merinding ketakutan. Bola matanya tak berkedip. Mengantisipasi serangan anjing yang tak terima terhadap komentar buruknya. Anjing-anjing itu pasti akan marah jika mendengarnya.
Sejauh mata memandang tak juga terlihat tanda-tanda keberadaan Suparman. Beberapa fikiran negatif muncul dari dalam kepala remaja ini, mulai dari: Bapak diculik hewan buas, hilang entah kemana, pingsan, dan hilang dibawa hantu. Oke, yang terakhir sepertinya tak mungkin. Hantu mana yang akan menculik bapak-bapak yang sudah tua?
Dia sudah memeriksa dari ujung ladang sampai ke ujung ladang. Jurang-jurang bertebing curam juga sudah dia periksa dengan teliti. Namun tak juga dia melihat keberadaan Bapaknya. Semakin tinggi lokasi kita berdiri maka kita akan dengan mudah melihat sesuatu yang ada disekeliling kita. Edi tersenyum menatap pohon tinggi dihadapannya. Cepat dia memanjat pohon itu. Yang menjulang tinggi keatas. Diatas sana pasti aku bisa melihat posisi Bapak. Fikirnya.
Kuatnya angin pada sore itu cukup untuk membuat pohon itu oling kesana dan kemari. Berada di atas pohon yang tengah terbawa arah angin membuat tubuh merinding dan sangat was-was apabila tiba-tiba pohon tumbang. Suara gonggongan anjing seolah mengiring angin yang terus saja membuat pohon itu goyang-goyang. Dari atas sana tak juga ia melihat sang Bapak. Mungkin kurang tinggi. Dia kembali memanjat semakin tinggi. Tak adajuga Suparman dari atas sana. Sebentar lagi pasti Adzan Magrib akan berkumandang.
Baru saja kaki menginjak tanah, Adzan Magrib berkumandang. Itu artinya sampai Magrib Suparman belum juga dia temukan. Edi kembali kerumah dengan wajah tampak lesu. Banyak sesal dalam dirinya. Harusnya dia bisa menemukan dan membawa Bapaknya itu kembali. Kemana sebenarnya Suparman? Bukankah dia pergi ke ladang? Hanya satu bukan ladangnya?

Komentar

  1. Agen Slot Terbaik

    Agen Situs Terbaik
    Situs Agen Judi Online
    https://bit.ly/2ENk1VF

    Untuk semua para Bettor di seluruh Indonesia
    Ayo Buruan gabung sekarang juga bersama kami di situs 88CSN.
    Situs 88CSN merupakan sebuah situs yang sudah lama berdiri yang menyediakan jasa permainan judi yang terpercaya dan teraman dengan pelayanan yang terbaik dan proses deposit & withdraw tercepat !

    HOT PROMO :

    Bonus Deposit New Member 120%
    Bonus Deposit Happy Hour 25%
    Bonus Deposit Poker 20% Permainan Poker.
    Bonus Deposit Harian 5% untuk semua Permainan.

    Rebate :
    Casino 0,8%
    Sportbook 0,8%
    Slot Games 0,8 %

    Minimal deposit 50rb
    Minimal penarikan 50rb
    Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
    WA : 081358840484
    BBM : 88CSNMANTAP
    Facebook : 88Csn
    https://bit.ly/2ENk1VF

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer