BAB 33
BAB
33
BIAYA RUMAH
SAKIT BAPAK
Saat itu Tujuh bulan aku menjadi kuli panggul. Aku
telah memiliki cukup uang untuk mendaftar kuliah di universitas negeri yang ada
di jogja hasil kerja menjadi kuli panggul selama enam bulan. Aku bahagia sekali
hari itu. Akhirnya impianku yang selama ini aku perjuangkan bisa terwujud. Jadi
perjuanganku selama ini tidak sia-sia. Aku ingat bagaimana perjuanganku selama
enam bulan terakhir demi mencari uang untuk kuliah kini menemui titik terang. Berbagai
rintangaan telah aku lalui demi kuliah. Dari mulai jadi pedagang asongan, jadi
penjual es kelapa muda, jadi kuli panggul, sampai harus berhadapan dengan
preman-preman dan polisi. Aku sudah tidak lagi memikirkan hal itu, yang aku
pikirkan hanyalah pintu gerbang kuliah yang sudah terbuka lebar untuk aku. Rencananya
satu minggu lagi aku mau ke jogja untuk mendaftar secara langsung di
universitas gajah mada (UGM). Semoga aku dapat diterima disana. Semua
persyaratan telah aku lengkapi termasuk tiket kereta yang akan membawaku ke
jogja.
Untuk menghemat biaya transport. Aku akan menggunakan
transportasi darat untuk pergi ke jogja yaitu kereta api. Selain harganya yang
murah, aku juga ingin sesekali mencoba naik kereta. Di lampung aku belum pernah
naik kereta, makannya saat pergi ke jogja nanti aku memilih untuk naik kereta
dibandingkan bus atau pesawat yang harganya jauh lebih mahal.
Aku dapat merasakan bagaimana bahagianya hatiku saat
itu. Semuanya terasa indah, pintu kuliah sudah di depan mata. Semua keperluan
dan persyaratan sudah aku lengkapi tanpa kurang sedikitpun. Semua teman-teman
di pabrik juga sudah mendoakan aku agar bisa diterima di UGM. Termasuk Yulia.
Dia adalah perempuan kedua yang mensuport aku setelah Lina tentunya.
Tiga hari terakhir, sebelum aku mengajukan surat
pengunduran diri kepada PERSONALIA, aku sudah memikirkan semuanya, aku sudah
mantap untuk mengundurkan diri. Aku juga sudah pamit kepada ibu RT, pak RW,
serta para tetangga yang selalu membantuku. Mereka semua mendukung langkahku untuk
kuliah, aku bahagia banget saat itu. Semua orang disana mendukungku, bahkan
pintu rumaah mereka akan selalu terbuka buat aku jika maen ke bandung. Tutur
para tetangga.
Dua hari menjelang keberangkatanku ke jogja.
Perasaanku selalu gak enak, seperti ada sesuatu yang terjadi kepadaku. Kerja pun serasa malas.
Tidak seperti biasanya bekerja dengan semangat. Kini aku malah malas
sekali, rasanya pengen cepet-cepet pulang, mau makan males, pokoknya
ngapa-ngapain males. Aku tidak tau apa yang sebenernya terjadi, namun semua itu
serasa tiba-tiba. Padahal aku bekerja di pabrik tinggal dua hari lagi, tapi aku
malah malas-malasan.
Aku sempet ditegur dengan pak entis. Beliau mengira aku
kerjannya tidak bener karena beberapa kali aku melakukan kesalahan seperti: istirahat
sebelum waktunya, banyak bengong, sering duduk-duduk, gak mau disuruh-suruh. Di
pikiranku seperti ada yang mengganjal, sehingga membuat kerjaan aku tidak
benar.
Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi kepadaku hari
itu. Tapi yang jelas, perasaanku sangat tidak enak. Temen-temen pun merasakaan
hal yang sama. Mereka menganggap aku beda hari itu. Sesekali mereka nanya ke
aku, tentang apa yang sedang aku pikirkan. Namun, seperti yang sudah aku
katakana. Aku saja tidak tau apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.
‘MANEH ULAH LOBA CALIK. GAWE SENG BALEG ATUH.’ Seru pak entis dengan nada tinggi.
‘Maaf pak. Sepertinya
saya lagi gak enak badan.’ Kataku lemas.
Pak entis hanya diam, kemudian kembali mendata kain
yang akan dikirim.
‘Gi, maneh kunaon kitu? Loba melamun?’ tanya iwan lirih.
‘Aku juga gak tau. Perasaanku gak enak banget.’ Jawabku
berbisik.
‘Sakit sigana mah maneh.’
‘Gak tau wan. Mungkin saja.’
Kesehatan bapak semakin hari semakin berkurang. Sesak
yang dideritanya semakin membuat bapak tersiksa. Bapak tidak bisa bekerja lagi,
beliau hanya bisa sitirahat di rumah. Jika bapak melakukan sesuatu yang membuat
ia lelah, maka sesak nafasnya akan kambuh. Jika sesaknya kambuh, bapak sepeti
orang yang sedang sekarat, nafasnya susah, matanya melotot, kejang-kejang,
serta mulutnya menganga lebar sambil megangin dada. Jadi bapak tidak bisa
bekerja lagi, pekerjaan yang biasa dikerjakan bapak, kini ibu yang menghendel
semuanya. Termasuk mencarikan rumput untuk kambing.
Seminggu yang lalu bapak memaksakan untuk bekerja.
Namun, bukannya lancar malah bapak harus di bawa ke klinik di kecamatan karena
pinsan. Badan bapak pun semakin kurus, nafasnya tersendak-sendak, bicara pun
sedikit susah. Bahkan tidak jarang rina menangis ketika melihat bapak susah
nafas. Setiap hari rina menemani bapak, takut bapak butuh apa-apa. Jadi rina
selalu di samping bapak, agar ada yang dimintain tolong. Ibu dan rina gentian:
saat rina sekolah, ibu yang menjaga bapak. Kemudian saat ibu cari rumput di
ladang, maka rina yang akan menggantikan ibu untuk menjaga bapak.
Rina sekolahnya mulai terbengkalai, dia jadi jarang
masuk karena biaya SPP yang belum juga dilunasi. Beberapa kali dia mendapatkan
surat peringatan dari kepalah sekolah agar cepat-cepat melunasi SPP yang sudah
satu semester nunggak. Namun, karena tidak punya uang, apalah daya si miskin
ini. dia hanya bisa menjawab “iya” dan selalu “iya” untuk sekedar membuat
kepala sekolah diam.
‘Bu, aku dapat surat dari kepala sekolah lagi. Kepala
sekolah bilang, aku harus cepet-cepet melunasi tunggakan SSP-ku.’ Rina memelas.
Ibu terdiam, beliau kebingungan. ‘Iya, sabar ya
nak. Bilang sama kepala sekolah kamu. Ibu pasti melunasinya. Pasti.’ Ibu menoba untuk membuat hati rina tenang, dengan menahan
perasaan sedih yang sangat dalam.
Rina manggut-manggut tanda paham. Meskipun rina tau,
kalo SPP-nya tak mungkin terbayar. Karena ibu selalu bilang seperti itu saat
rina minta uang buat bayar SPP. Rina juga tau, jika ibu tidak punya uang.
Karena makan aja Cuma krupuk lauknya.
‘Kamu enak ya mbing. Gak perlu hidup susah.’ Rina curhat
di depan kambing. Rina duduk termenung di kandang kambing. Dia meliaht kambing
yang tinggal tersisa dua ekor, karena yang lain sudah terjual untuk biaya
berobat bapak selama seminggu terakhir. Rina sedih bercampur bingung. Dia tidak ada lagi harapan untuk sekolah,
tidak ada lagi cita-cita untuk dirinya. Disaat kebingunan melanda hati rina,
dia tidak tau lagi mau cerita sama siapa. Satu-satunya orang yang biasa
mendengar curhatan rina hanya aku. Ingin rasanya rina menceritakan yang terjadi
di rumah kepadaku. Namun ibu melarangnya, dengan alasan tidak mau mengganggu
aku di tanaah perantauan.
Sungguh mulia sekali hati ibu. Saat di rumah
kesusahan, saat di rumah butuh bantuan, saat kesedihan melanda di rumah, beliau
tetep tidak ingin mengganggu aku yang sedang mengejaar impianku. Jika aku
teringat hal itu, ingin rasanya aku membasuh kaki ibu kemudian bersujud di
hadapannya sambil mencium kakinya. Tidak ada kasih sayang yang melebihi kasih
sayang seorang ibu.
Ibu duduk termenung di kursi dapur yang sudah reot
sambil memikirkan beban yang harus ia tanggung. Ibu sudah tidak lagi jualan
gorengan, modalnya habis untuk biaya berobat bapak. Tidak ada lagi yang berharga,
hanya tersisa dua kambing yang masih kecil. Jika dijual, uangnya pun tidak
seberapa. Dan ada sepetak tanah dan rumah tempat kami berlindung dari dinginnya
angina malam, serta panasnya terik matahari dan dinginnya air hujan.
‘Ya-Allah, kuatkan hamba dalam manghadapi cobaan yang
engkau berikan. Jangan biarkan hamba lemah dengan cobaan-MU. Hamba tau, engkau
pasti memiliki alasan tertentu sehingga engkau memberi hamba cobaan seperti
ini.’ Ibu berdoa dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Kesedihan masih menyelimuti hati rina. Dia tidak tau
mau berbagi rasa dengan siapa lagi. Karena tidak mungkin dia cerita dengan
teman satu sekolahnya. Satu-satunya orang yang mau mendengar curhatan rina ya
hanya aku. akhirnya, rina pergi ke-rumah bowo. Rina meminta agar bowo menelvon
aku karena rina ingin bicara denganku. Dia sudah tidak menghiraukan lagi
kata-kata ibu. Yang rina piker saat itu hanya aku harus tau masalah yang sedang
terjadi dirumah. Dia tidak perduli jika harus dimarah ibu, setidaknya dia bisa
mengurangi beban hati yang ia derita setelah berbagi denganku.
Siang itu, cuaca sangat terik. Beberapa kali aku pergi
ke sumur untuk membasuh muka biar agak dingin. saat aku sedang istirahat di
kamar sambil tiduran, Bowo menelvon. dengan cepat aku memangkatnya. Namun,
suara yang aku dengar bukan suaranya bowo, melainkan suara cewek yang
sepertinya sudah tidak asing lagi di telingaku. Ya, itu adalah suaranya rina.
‘Kak,’ rina lirih.
‘Rina,
kamu kenapa? Kok suara kamu seperti itu.’ Tanyaku
kaget.
Hihihhkkhikhikk,,,,,, Rina menagis mendengar suaraku.
Dia tidak menjawab pertanyaanku, dia malah nangis karena tak sanggup menahan
kepedihan yang tengah ia rasakan.
‘Kamu kenapa rina?’ aku menegaskan.
‘Ka-kak-apa kabar?’ Tanya rina dengan suara tersendu.
‘Baik. Jawab pertanyaan kakak. Kamu kenapa? Apa yang
sedang terjadi?’
Kemudian rina menjelaskan semua yang sedang terjadi di
rumah. Sambil menangis rina cerita bahwa di rumah sedang kebingungan uang,
bapak sakit, kambing tinggal dua, bahkan sampai dia harus nunggak bayar SPP.
Tidak adalagi yang membantu kedua orang tuanya. Satu-satunya adik dari bapak
yaitu paman sarto malah terkesan cue k,
tidak mau membantu keluarga kami yang sedang kesusahan.
Paman sarto malah memanfaatkan masalah yang menimpa
kami demi kepentingannya sendiri. Paman sarto memang ingin membantu kami, namun
dengan syarat yang tidak wajar layaknya seorang adik terhadap kakak kandungnya.
Paman sarto beberapa kali datang kerumah menawarkan pinjaman uang untuk
keluarga kami. Namun dengan satu syara. Paman sarto meminta sertifikat tanah
sebagai jaminannya. Paman memang orang yang tidak punya hati, untuk membantu
kakaknya saja pakek syarat. Padahal dia tau, kakaknya sedang sekarat di rumah
sakit. Seharusnya dia juga tau bahwa sertifikat tanah harta satu-satunya keluarga
kami.
Awalnya bapak ingin memberikan sertifikat itu kepada
paman sarto. Namun ibu melarang. Ibu tidak mau sertifikatnya malah disalah
gunakan oleh paman sarto, karena memang paman adalah lintah darat. ibu sangat
kecewa dengan paman sarto, kebencian keluarga kami terhadap paman sarto semakin
besar.
‘Mbak. Saya bisa memberikan pinjaman untuk berobat. Tapi
dengan syarat.’ Kata paman sarto.
‘Kamu tega sekali, sama kakakmu sendiri saja pakek
syarat-syarat. Apa hati kamu sudah hilang?’ ibu kesel.
‘Hahahaa…. Hati saya memang hilang mbak. Tapi buat
orang-orang susah seperti kalian.’
‘Kamu bener-bener sudah gila. Saya tidak akan memberikan
sertifikat rumah ini hanya buat orang seperti kamu.’ Ibu tegas.
Dengan muka kesel paman sarto pergi. ‘dasar, keluarga
miskin yang sombong.’ Kata paman sarto sambil keluar rumah.
Ibu tertunduk sedih. Beliau tidak percaya jika adiknya tega berbuat seperti itu
pada saat keluarga kami sedang tertimpa musibah.
Satu hari kemudian kondisi bapak semakin memburuk.
Pernafasannya mulai tersendak-sendak, tubuhnyapun semakin kurus, yang terlihat
hanya tianggal tulang dan kulit. Ingin rasanya ibu membawa ke-rumh sakit, namun
uang hasil menjual dua ekor kambing tidak cukup untuk membayar biaya rumah
sakit. Uangnya hanya cukup buat beli obat dan makan
sehari-hari. Itu saja masih kekurangan.
Melihat keluarga kami yang membutuhkan bantuan.
Terlebih bapak-ku. Kepala desa berbaik hati untuk membawa bapak ke rumah sakit
agar bisa dirawat secara intensif. Pak lurah memang baik banget, sebut saja namanya
Pak Ratman. Beliau adalah kepala desa di kampung kami, beliau juga seorang
darmawan yang selalu membantu orang-orang yang kesusahan. Pak ratman tidak
memandang apakah itu sodara atau bukan, yang pak ratman utamakan adalah
kesejahteraan masyarakatnya. Berbeda dengan paman sarto. Padahal adik kandung
sendiri, tapi tidak mau membantu.
Memang benar kata orang. Sodara adalah musuh yang
tertunda. Hati orang lain
akan lebih baik daripada hati sodara sendiri.
Bukan hanya pak lurah yang membantu kami. Namun, Sedikit-sedikit
warga menyumbangkan uangnya untuk biaya rumah sakit bapak. Warga juga merasa
simpati dengan musibah yang menimpa kami, sehingga menggugah hati mereka untuk
berbuat baik.
Aku di bandung tidak bisa tenang. Aku terus saja
kepikiran bapak dan keluarga di rumah. Semua tabunganku sudah aku kirimkan
untuk biaya rumah sakit. Aku sudah tidak punya tabungan lagi, aku juga sudah
kehilangan pekerjaanku. Karena
kemarin aku baru saja menandatangani surat pengunduran diriku. Ya, sekarang aku
menjadi pengangguran lagi. Aku sudah tidak lagi memikirkan kuliah, yang aku
pikirkan saat itu hanya kesembuhan bapak. Dan bagaimana caranya aku bisa
mendapatkan pekerjaan lagi.
Pagi itu, dibalik ramainnya pasar dayeuhkolot, dan
dibawah dinginnya embun pagi, aku berangkat ke bank untuk mengirimkan uang ke
lampung. Aku berangkat ke pasar naik angkot. Angkot adalah transportasi darat
yang selalu aku gunakan kemanapun aku pergi. ‘’kecuali keluar kota’’ bagiku,
angkot sangat berharga, dialah saksi wal mula aku di bandung, melamar kerja,
sampai harus masuk ke dalam perusahaan yang salah. Angkot adalah saksi bisu
dimana perjuanganku tujuh bulan silam.
Begitu sampai di bank, ternyata sudah banyak yang
mengantri, akhirnya aku harus sabar mengantri dengan nomor urut 023. Di dalam
banyak sekali bapak-bapak yang hendak mengirimkan uang. Dan saat itu, ada
bapak-bapak yang mencuri perhatianku. Aku melihat wajah bapak itu seperti sudah
tidak asing lagi. Aku sangat mengenali wajahnya. Namun, saat aku hendak
menghampiri beliau. Malah beliau sudah keluar, karena urusannya telah selesai.
Namun aku yakin, aku pasti kenal dengan orang itu.
Setelah aku selesai mentransfer uang. Aku duduk di depan
teras bank sambil menikmati ramainya pasar di pagi hari. Aku duduk dengan dagu
aku tompangkan di tangan kiriku, mata melihat ke kanan dan kiri. Memastikan
yang aku lihat adalah perempuan cantik yang mau jadi pacar aku.
Semakin lama aku duduk, semakin terasa pula rasa laparku.
Perut keruncungan, mata berat, leher gak enak rasanya, serta tenaga yang
semakin melemah. Daripada aku pinsan di bank malah jadi masalah. Akhirnya aku
mampir dulu ke warung nasi yang ada di kaki lima (nasi kuning) yang sangat aku
gemari.
Aku suka banget dengan nasi kuning, selain pulen, gurih,
harganya juga sangat murah. Makannya aku memilih nasi kuning daripada nasi
padang untuk sarapanku. Lapar membuat aku gak sabar untuk buru-buru menghabiskan nasinya. Begitu
nasi dihidangkan, aku langssung melahapnya meskipun sesekali mulutku kepanasan
karena nasinya masih panas.
‘Pelan-pelan atuh dek.’ Seru penjual nasi sambil goreng
tempe.
Aku Cuma nyengir dengan mulut penuh nasi.
Dalam waktu yang sama. Di ATM deket bank ada pak
ridwan beserta istrinya yang sedang
mengambil uang untuk biaya putrinya ke jogja. Putrinya hendak mendaftar kuliah
di jogja, jadi pak ridwaan ngambil uang untuk beli tiket kereta dan biaya makan
di perjalanan. Istri pak ridwan hanya di dalam mobil dan yang ngambil uang di
mesin ATM pak ridwan. istrinya menunggu di dalam sambil menelvon putrinya yang
sedang di sekolah.
Setelah beliau menarik uang yang baru keluar dari mesin.
Tiba tiba hapenya bunyi. Kemudian pak
ridwan mengangkan telvon dan keluar. tanpa sengaja kartu ATM beliu tertinggal
di samping mesin. Setelah selesai menerima telvon, pak ridwan langsung masuk ke
mobil dan langsung pulang.
EEKKHEEKKKGGG….. Nasi kuning satu piring cukup untuk membuat aku cendawa. saat itu aku mau
bayar nasi kuning, namun aku baru ingat, ternyata aku gak punya uang tunai. Aku
lupa jika uangku masih di ATM. Aku kebingungan, aku malu karena sudah makan
kenyang tapi gak bayar. Akhirnya aku
memberikan hapeku ke pedagangnya sebagaai jaminan. Karena aku mau ngambil uang
dulu di ATM.
Aku buru-buru ngambil uang, karena aku sudah malu banget.
Di warung banyak orang yang ngeliatin aku karena gak
bayar. Sampai ada yang bilang aku Cuma mau gratisan aja. Begitu aku sampi di
ATM, aku langsung menggesekan kartu-ku. Sambil nunggu mesin memproses, aku
lirik-lirik kanan kiri. Saat aku hendak menarik uang yang keluar. aku melihat
ada kartu ATM yang tergeletak di sampingg mesin. Dengan muka bingung, aku ambil
kartu itu kemudian aku bawa keluar.
Ditengah jalan, pak ridwan baru sadar jika kartu
ATM-nya ketinggalan. Dengan panik pak ridwan langsung memutar balikan mobilnya
dan kembali ke pasar untuk ngambil kartu yang tertinggal. Begitu sampai di
pasar, pak ridwan langsung masuk kedalam bilik mesin, namun ternyata kartunya
sudah tidak ada. Dengan kecewa dan menyesal, pak ridwan keluar.
Melihat muka suaminya yang sedih, membuat istri pak
ridwan penasaran. Beliau turun dari mobil dan langsung menanyakan bagaimana
dengan kartunya. ‘pah. Gimana pah? Ada egak kartunya?’
Dengan muka sedih pak ridwan menjawab. ‘gak ada mah.
Sepertinya sudah ada yang ngambil.’
Wajah istri pak ridwan langsung berubah, beliau marah
kepada pak ridwan karena teledor. ‘PAPAH SI, TELEDOR. KARTU KOK SAMPAI
KETINGGALAN. TELVON TERUS YANG DI URUS.’ Dengan muka kesel.
‘Mah, jangan nyalahin papah dong. Kan ini musibah, papah
juga gak tau kalo bakalan kayak gini.’
‘TERUS GIMANA INI? SEMUA UANG KITA ADA DI DALAM KARTU
ITU. KALO KARTUNYA ILANG, KITA MAU BAYAR UANG SEKOLAH LINA PAKEK APA, PAH?’
istrinyaa masih sewot.
‘Ya tapi mamah jangan nyalahin papah dong. Papah juga lagi mikir, ni.’ Pak ridwan kebingungan.
Setelah bayar makan. Aku kembali ke mesin ATM untuk
melihat siapa tau ada orang yang mencari kartunya yang tertinggal. Dengan
santai aaku jalan sambil makan gorengan. Dari jauhan, aku melihat pak ridwan
dengan megang kepalanya karena pusing, sedangkan istrinya mondar mandir di
depan ATM dengan muka sedikit sewot.
‘Kenapa pak ridwan ada disini?’ kataku dalam hati.
Dengan tenang aku menghampiri pak ridwan dan bertanya.
‘Pak ridwan?’ Kataku sambil menunjuk beliau.
‘Kamu,
kok kamu disini?’ Tanya pak ridwan heran.
‘Saya tadi habis dari bank, pak. Terus makan disebelah
sana.’
‘Pak ridwan sendiri ngapain disini?’ tanyaku.
Kemudian beliau menjelaskan semuanya. Aku tidak langsung
memberikan kartunya kepada beliau, karena aku masih belum percaya. Namun,
setelah beliau menjelaskan semuanya, dengan muka sedih, bahkan sampai beliau
meneteskan air mata karena betapa pentingnya kartu itu buat mereka baru aku percaya. Kemudian dengan muka santai aku menunjukan kartunya
kepada pak ridwan.
‘Maksut pak ridwan kartu ini?’ aku menunjukan kartunya.
Istrinya langsung kaget melihat kartunya aku pegang. ‘kok kartu ini bisa sama kamu?’ tanya istrinya.
‘Iya,
tadi saya ngambil uang di-ATM
buat bayar nasi, terus saya melihat kartu ini di sebelah mesin, kemudian saya
ambil aja daripada ada yang ngambil terus gak bener.’ Aku santai.
‘Alhamdulilah, terimakasih ya-nak. Untung saja kamu
temukan, kalo egak, entah gimana jadinya kami.’ Pak ridwan megang pundakku.
Aku hanya tersenyum.
Kemudian mereka nawarin aku untuk maen kerumahnya. Namun aku menolak karena aku harus pulang untuk
membantu mbak ani ngerehap rumahnya. Dirumah mbak ani dan keluarga sedang
merehap rumahnya, mbak ani akan memperbesar rumahnya, jadi aku harus membantu
disana.
Hari itu aku serasa menjadi dewa penolong buat orang.
Se-enggaknya aku masih bisa membantu orang lain meskipun tidak ada yang bisa
membantu aku dan keluargaku. Andai saja aku
gunakan uang yang di dalam ATM, pasti aku bukan hanya bisa membayar
biaya rumah sakit bapak, tapi aku juga bisa kuliah dengan mudah. Pikirku.
Namun, allah masih sayang terhadapku sehingga beliu memintaku untuk
mengembalikan kartu itu.
Aku tau banget, gimana pentingnya ATM itu bagi mereka.
Terlihat dari wajah mereka yang panik, ketakutan, gelisah, bercampur jadi satu
saat ATM itu hilang. Namun, setelah mereka menemukan ATM-nya, wajah merekapun
seketika langsung berubah, bak mendapat tiket masuk surga. Rauk wajah
bahagia terpancar dari wajah mereka. Segitu pentingnya kah, uang bagi mereka?
Setelah sampai di kosan aku Cuma diam saja. Ingin
rasanya aku membantu beres-beres di rumah mbak ani, namun rasa malas dan sedih
membuat aku untuk memilih istirahat saja di kamar. Aku hanya bisa berbaring di
kamar sambil merenungi masa depanku dan keluargaku. Aku terus kepikiran dengan
bapak. Aku tak henti-hentinya berdoa untuk kesembuhan bapak, aku juga meminta
Allah untuk memberi ketabahan bagiku dan keluargaku.
Bapak bagiku adalah orang yang paling berharga dalam
hidupku. Aku teringat saat dulu masih berusia delapan tahun, saat kami sedang
memancing ikan di rawa, dapat ikan banyak, kebahagiaan terasa sekali. Ingin rasanya aku mengulangi masa-masa itu lagi bersama
bapak dan rina. Namun, sekarang
bapak berbaring dirumah sakit tanpa daya, dan tanpa tenaga. Kasian sekali
melihat kondisi bapak yang seperti ini, berbaring dirmah sakit dengan alat
bantu pernapasan. Aku sebagai anak laki-lakinya malah tidak bisa menemani bapak di rumah sakit. Anak
macam apa aku saat itu? Pikirku.
Namun aku baru sadar, aku tidak ada di samping bapak
bukan karena aku tidak perduli. Namun, justru aku sangat perduli. Aku mencari uang
banting tulang untuk membantu biaya rumah sakit, dengan aku bekerja, secara
otomatis akan mengurangi beban dirumah dan aku juga bisa membantu urusan
dirumah.
Namun, harus di ingat: Usahakan kalian selalu berada
di samping ayah kalian. Apalaagi saat beliau sedang sakit atau koma di rumah
sakit. Jangan sampai kalian meninggalkan beliau, jika tidak ingin menyesal
karena ditinggalkan dengan orang yang kalian sanyangi untuk selamanya.
Dua hari kemudian operasi bapak telah berhasil.
Sedikit demi sedikit bapak sudah bisa jalan, nafasnya pun sudah tidak berat
lagi. sekarang wajah bapak tampak lebih segar ketimbang bulan lalu. Aku sangat
senang mendengarnya, aku bahagia akhirnya bapak sembuh. Namun, aku juga sedih,
karena aku gagal melanjutkan kuliah.
BAB 34
Dapatkah Waktu?
Satu hari berlalu aku menerima kabar jika bapak sudah
bisa jalan seperti biasa. Aku cukup senang mendengarnya, aku juga berharap
semoga bapak diberi kesehatan. Dan bisa melakukan aktivitasnya seperti
biasanya.
Namun, sekarang masalahnya ada pada diriku sendiri. aku
ingat baget saat-saat aku gak punya uang, saat aku gak punya pekerjaan, saat
aku jauh dari orang tua, dan saat aku
mulai putus asa. Aku tidak punya apa-apa, aku tidak punya pekerjaan, aku juga
sudah tidak punya lagi harapan untuk kuliah tahun ini. Semua serasa musnah dari
hidupku, yang aku bisa hanya berdoa memohon kepada sang maha kuasa agar
memberikanku ketabahan dalam menjalani hidup ini.
Untuk menyambung hidup. Aku ikut bantu-bantu suaminya
mbak ani yaitu mang Ajat. Aku membantu mengambil limbah dari pabrik ke pabrik.
Meskipun panas dan kotor, aku tidak perduli, yang aku pikirkan yang penting
bisa makan.
‘Sayang? Kamu apa kabar?’ tiba-tiba lina sms saat aku
sedang menaikan limbah ke dalam bak mobil. Bahagianya hatiku saat itu menerima
sms dari lina. Lalu aku buru-buru balas sms lina, karena aku gak mau lina
kelamaan nunggu balasan sms dariku.
‘Aku baik-baik aja sayang. Kamu sendiri gimana?’ tanyaku
balik.
‘Aku baik kok. Oya, aku mau cerita sama kamu. Sekarang
aku udah di jogja, doain aku ya, semoga lancar, terus bisa keterima.’ Aku
merasa iri. ‘kamu kapan? Sebentar lagi pendaftaran udah di tutup, lo.’ Tambah
lina, aku semakin sedih.
Ingin rasanya saat itu juga aku bilang ke lina. Jika aku
gak bakalan bisa kuliah, aku juga gak bakalan bisa jadi orang sukses, aku gak
bakalan bisa bahagiain dia seperti apa yang telah kita khayalkan dulu. Namun,
aku tidak sanggup untuk berkata jujur kepada lina. Aku takut! Aku takut
kehilangan lina jika harus jujur. Aku takut, setelah aku menceritakan semuanya,
lina akan menjauh dariku dan pergi meninggalkanku seperti suci meninggalkan-ku.
‘Iya sayang. Doain aku, ya? Semoga aku bisa nyusul kamu.’
Jawabku dengan smailis senyum, padahal dalam hati sangat sedih banget.
‘Ed, kunaon atuh?’ seru mang ajat dengan buku catatan
ditangannya.
‘Gak-pa-pa, mang.’ Aku kembali melanjutkan pekerjaanku.
Setelah pekerjaan selesai, aku langsung pulang ke kosan.
Dengan muka sedikit murung aku jalan perlahan melewati gang-gang kecil kampung
gempol, serta anak-anak kecil yang berlarian dengan cerianya, dan ibu-ibu yang
sedang astik memanen uban di teras rumah.
‘Baru pulang, jang?’ sapa ibu-ibu dengan bahasa sunda.
Jang yang artinya Nak.
‘Muhun, bu.’ Jawabku sambil menundukan kepala.
Kemudian aku masuk kedalam kamar. Aku langsung merebakan
badanku yang sangat lelah itu ke atas kasur tipis, yang baunya sudah tidak enak
lagi. Sedangkan diluar, ibu-ibu membiacarakan aku sambil terus panen uban.
‘Karunya pisan, nyak, si edi. Sudah mau kuliah, malah gak
jadi.’
‘He’eh, karunya pisan. Amun abdi loba duit mah, abdi
bayarin.’ Tambah ibu-ibu yang lain.
‘Hahhh... Amun maneh loba duit, mah, lupa daratan, Jubaidah!’
seru ibu-ibu dari belakang. Kemudian yang lain hanya tertawa mendengarnya.
Gak lama kemudian mbak ani lewat. Mbak ani baru saja
pulang dari warungnya ‘eh, mbak ani.’
Kata ibu jubaidah. ‘darimana, atuh?’ tanyanya.
‘Dari warung ibu-ibu.’ Jawab mbak ani senyum.
‘Eh mbak. Eta si edi kunaon? Mani mukanya murung kitu.
Karunya pisan abdi mah, coba di hibur atuh mbah ani. Bisi nekat kitu, siga anu
di tipi-tipi.’
‘Hus, ibu. Ulah ngomong kitu atuh, pamali!’ kata mbak
ani. Sedangkan ibu-ibu yang lain manggut-manggut, membenarkan kata mbak ani.
Malam sebelum lina akan melaksanakan tes di UGM, dia
nelvon aku. Dia meminta doa dan dukungan dari aku. Dia juga gak lupa mendoakan
aku agar bisa cepat nyusulin dia ke jogja. Aku gak tau apa yang harus aku
katakan ke lina, yang jelas, lidah dan mulutku sulit untuk digerakan. Air mata
menderai dari mata melintasi pipi yang semakin kusam diterpa panasnya matahari
dan kasarnya debu limbah pabrik.
Pagi itu, lina akan mengikuti tes. Dia sudaah berada di
gedung baleroom UGM dengan teman-teman yang juga akan melakukan tes disana. Dia
duduk dibawah sebuah pohon dekat dengan perpustakaan, belakang baleroom. 10
menit menjelang tes, lina menyampatkan untuk sms aku. Sekali lagi dia minta dia
agar dilancarkan dalam tesnya, dia ngerasa kurang pede, karena disana banyak
sekali anak sebaya dia yang jugaa akan mengikuti tes.
Sedangkan aku, yang tengah bergumul dengan kardus-kardus
limbah yang sudah tidak terpakai, hanya bisa berdoa dalam hati untuk kelancaran
lina. Andai saja aku bisa berada disana menemani lina, pasti dia akan tambah
semangat dan semakin pede. Gak lama kemudian lina mengeluarkan sebuah botol
berukuran lima senti yang di dalamnya berisi kapsul warna putih, lalu lina
mengambil satu kapsul dan menelannya dibarengi dengan menenggak setenggak air
aqua untuk membantu mendorong kapsul tersebut kedalam perutnya.
‘pah. Semoga lina gak apa-apa, ya?’ kata mamanya sambil
duduk didekat balairoom, menyaksikan lina masuk kedalam ruangan tes.
‘pasti mah, kan lina kuat. Papah yakin dia gak akan
kenapa-napa.’ Papanya lina sambil tersenyum. Sesekali lina menoleh kearah papah
dan mamahnya sambil tersenyum.
Setelah kardus-kardus dimasukan kedalam mobil, maka siap
di kirim ke pengepul yang ada di daerah Cileunyi untuk kemudian di daur ulang.
Aku duduk di bak belakang mobil, sedangkan mang ajat dan satu sopirnya duduk di
depan. Panas matahari menembus pori-pori-ku siang itu. Kaos hitam dekil, serta
topi bulat dan celana panjang tak mampu menahan panasnya ciptan Allah yaitu
Matahari.
Siang itu matahari sangat terik sekali, membuat aku
lemas, dan merasa haus terus. Aku berharap siang itu turun hujan, agar badanku
yang lemes bisa semangat lagi. Akibat sinar matahari yang sangat panas, dan
kondisi badan yang memang sedang tidak sehat, membuat kepalaku pusing, serta
mata yang berkunang-kunang.
Di UGM, lina berhasil mengikuti tes dengan lancar. Dia
sudah keluar dari ruang tes, dia berpelukan dengan keuda orang tuanya. Rauk
wajah bahagia pun terpanjar dari mamah dan papahnya lina, mereka sangat bangga
dengan putri semata wayangnya itu. Setelah selesai, mereka langsung menuju
rumah makan.
‘pak, nasi ayam ya, tiga.’ Papahnya pesen. Sedangkan lina
menelvon ke nomor hapeku, namun gagal terus, karena memang hapeku batreinya
habis. Lina ingin sekali memberitahuku jika dia telah sukses mengikuti tes, dan
dia juga ingin cerita kalo dia diterima di UGM fakultas KEDOKTERAN. Namun
beberapa kali dia menghubungi aku, tetep gak bisa-bisa. Papah dan mamahnya lina
hanya melihat lina dengan rasa bingung, karena muka lina yang tiba-tiba
ditekuk.
‘Pah, lina kenapa?’ mamah membisiki papah.
‘Papah juga gak tau, mah. Mungkin ada masalah?’
Mamah hanya manggut-manggut.
Gak lama kemudian pesanan mereka datang. ‘ayo sayang,
dimakan nasinya.’ Perintah mamah ke lina. Lina hanya memandang mamah dengan
tatapan dingin, lalu mereka bertiga makan dengan lahap.
Sedangkan aku, yang tengah sibuk bekerja, tenagaku
semakin berkurang. Rasa pusing dikepala cukup untuk membuat aku keleyengan.
Ingin sekali rasanya aku bilang ke mang ajat dan ijin untuk pulang, namun aku
gak enak karena mang ajat gak ada karyawan lain. Karyawan yang biasanya ijin
dari pagi karena ada keperluan keluarga.
Saat aku hendak naik ke atas bak mobil untuk mengambil
tali, tiba-tiba kaki pijakan aku terpeleset, sehingga aku harus terjatuh dari
atas mobil, lalu kepalaku terbentur ketanah dan aku langsung pingsan.
Mang ajat yang melihat aku tergeletak ditanah, dia
langsung lari dan membawaku kerumah sakit. ‘Astafituwlahh.... ‘ mang ajat lari
mendekati aku. ‘Edi..? Edi..? Ed...’ mang ajat mencoba membangunkanku dengan
mengoya-goyakan badanku.
Lalu aku dibawa kerumah sakit. Semua keluarga mang ajat
panik, mereka khawatir aku kenapa-napa. Mbak ani, yang sangat sayang dengan
aku, ia tak henti-hentinya berdoa untuk kesembuhanku. Aku terbaring di ranjang
rumah sakit tanpa daya.
Satu hari di dalam rumah sakit, membuat aku tidak pernah
membuka hape. Beberapa kali lina menelvon dan sms aku namun tak aku jawab. Ya,
karena aku sedang di rumah sakit dan hape dalam kondisi mati.
Dalam perjalan pulangnya menuju bandung, lina terus saja
cemberut. Dia kecewa dengan aku yang seharian gak ngasih kabar kepada dia. Dia
juga mencoba menghubungi namun gak bisa-bisa. Dia juga menaruh rasa khawatir,
dia takut aku kenapa-napa. Namun, dia juga kecewa karena aku gak ada kabar.
‘Sayang, kaamu kenapa si, kok mamah perhatikan dari
semalam manyun terus? Kamu ada masalah?’ kata mamahnya. Papah hanya
manggut-manggut membenarkan mamah.
‘Lina gak papa kok, mah. Mungkin lina Cuma kecapean aja.’
Jawab lina.
‘Kalo misalnya ada masalah, cerita saja sama mamah. Siapa
tau, mamah bisa bantu.’
‘Iya, mah.’
Dokter bilang, jika kepalaku mengalami sedikit masalah
akibat benturan yang cukup keras. Kata dokter aku mengalami Amnesia Ringan.
Dokter bilang, aku akan lupa dengan sebagian masaluku, atau hal-hal yang pernah
aku rasakan sebelumnya. Aku tidak tau, tapi yang jelas aku terbaring dirumah
sakit, dengan perban dikepala, jarum inpus di urat nadiku, serta leher yang
sangat kaku aku rasakan.
Dokter juga bilang ke mbak ani. Mungkin aku butuh waktu
satu minggu untuk bisa keluar dari rumah sakit. Karena ku harus mengikuti
beberapa pemeriksakan untuk memastikan tidak ada masalah lain dalam kepalaku.
Sudah satu minggu lina menghubungi aku namun tak bisa.
Dia menganggap jika aku meninggalkan dia, dia juga menganggap jika aku sama
dengan laki-laki lain, yang akan pergi begitu saja jika sudah merasa bosan.
Padahal dia mau pamit, jika besok dia akan berangkat lai ke jogja untuk
mengikuti OSPEK.
Satu minggu berada dirumah sakit, membuat aku merasa
bosan berada dalam ranjang putih dengan bau obat yang membuat hidungku
tersumbat. Aku keluar, untuk mencari udara segar. Saat aku jalan menyisiri
koridor, aku bertemu dengan pak ridwan. Beliau membawa sebuah plastik putih
yang didalamnya berisi obat-obatan yang aku juga belum tau itu obat buat siapa.
Aku langsung menghampiri beliu.
‘Pak ridwan?’ kataku dri belakang.
Pak ridwan menoleh ‘kamu. Kamu ngapain disini? Kok kepala
kamu diperban?’ tanyanya.
‘iya pak, habis kecelakaan.’ Jawabku nyengir, ‘kok kita
ketemunya serba kebetulan, ya?’ kataku.
Lalu kami berdua duduk di bangku taman. Aku tanya ke pak
ridwan, obat apa yang tengah ia bawa itu. Lalu beliu menjelaskan, bahwaa obat
itu: itu adalah obat kanker untuk putry semata wayangnya. Sejak umur 10 tahun
putrinya sudah menderita saakit kanker. Itu adalah putri satu-satunya dan anak
satu-satunya yang dimiliki pak ridwan. Istrinya sudah tidak bisa hamil lagi.
Pak ridwan juga cerita, jika putrinya akan kuliah di
jogja dan akan ngambil jurusan kedokteran. Saat aku mendengar jika putrinya
kuliah di jogja, langsung aku teringat kepada lina.
‘Anak bapak kuliah di universitas mana?’ tanyaku.
‘Di UGM.’
‘Apa?’ aku kaget, ‘kamu kenapa? Kok kaget gitu?’ tanya
pak ridwan.
‘Egak pak. Aku Cuma inget aja sama pacar saya yang juga
akan kuliah di ugm, dan sama, ngambil jurusan kedokteran juga.’ Kataku liri.
‘tapi-....???’ Aku lemes.
‘Tapi kenapa?’ tanya pak ridwan penasaran. ‘Tapi kami
sudah satu minggu ini gak ada komunikasi. Gara-gara hape saya mati dan ditambah
lagi saya masuk rumah sakit. Jadi gak pernah kontak lagi.’
‘Dia tau, kalo kamu masuk rumah sakit?’ tanya pak ridwan.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Lalu aku menceritakan semuanya. Dari mulai aku ketemu
dengan perempuan yang sangat baik dan yang sangat aku cintai, dari aku pusing
sampai jatuh dari atas mobil dan dari aku menabung dikit demi sedikit sampai
harus Allah menunda keinginanku untuk kuliah.
Aku juga cerita kepada pak ridwan, jika aku sudah sangat
siap saat itu untuk mengikuti tes. Namun, karena Allah belum mengijinkanku
untuk kuliah, sehingga beliau memberikan cobaan yang mengharuskan aku untuk
menggunakan uang tabunganku untuk hal yang lebih penting lagi.
Mendengar ceritaku, pak ridwan merasa sangat simpati.
Karena sudah terlalu lamaa ngobrol, akhirnya pak ridwan pamit pulang, karena
beliu harus mengantarkan anaknya ke bandara besok pagi. Jadi, beliau harus
mempersiapkan semua kebutuhan untuk putri semata wayangnya itu.
Ke-seokan harinya, aku sudah boleh pulang dari rumah
sakit. Seiring kepergian lina ke jogja, aku juga keluar dari rumah sakit.
Bahagia rasanya bisa keluar dari rumah sakit, meskipun masih tersisa sedikit
pusing, namun itu bukan masalah. Yang terpenting saat ini aku harus menghubungi
lina, dan menceritakan apa yang telah terjadi seminggu belakangan ini sehingga
aku gak ada kabar. Aku juga mau bilang jika aku gak jadi kuliah di jogja.
Begitu sampai kosan, aku langsung ngecas hape lalu aku
hidupkan. Lina yang sedang berada di dalam burung besi yaitu pesawat merasa
sangat kecewa terhadapku. Dia akan melupakan aku, dia tidak akan perna lagi
mengharapkan aku lagi, dia juga tidak akan pernah percaya lagi dengan
laki-laki.
Di kosan, aku masih terus mencoba menghubungi lina namun
gagal terus. Nomornya sudah tidak aktif lagi, sms pun tidak ada balasan. Aku
terus saja mencoba masih sama “gagal” ya, karena lina di dalam pesawat jadi
hapenya di nonaktifkan.
Dengan perasaan sedih, aku masih terus saja menghubungi
lina. Namun, semakin banyak aku mencoba dan gagal. Semakin membuat hatiku
sedih, membuat aku sakit, membuat aku kecewa. Saat itu, aku juga berpikiran;
jika lina pasti meninggalkan aku, pasti dia malu punya pacar miskin seperti
aku, apalagi dia anak kedokteran. Akhirnya aku memutuskan untuk merelakan lina
pergi meninggalkan aku seperti suci meninggalkan aku demi laki-laki lain.
Dua hari mengikuti ospek, kesehatan lina mulai terganggu.
Beberapa kali dia harus ijin kebelakang untuk istirahat karena kepalanya sanga
sakit saat dia harus kecapean. Fisik dia sangat lemah, semakin dia banyak
berdiri, maka semakin cepat pula tenaga dia habis.
‘Kamu kenapa, lin?’ tanya siti, teman satu fakultasnya.
Lina masih terus megangin kepalanya, ‘aku gak papa kok.’
Masih meringis kesakitan.
‘Beneran?’
Lina mengangguk.
‘Kamu istirahat dulu aja. Aku ijinin sama seniornya, yo?’
kata siti.
Lalu tiba-tiba lina jatuh pingsan. Siti yang berada di
samping lna langsung panik, dia teriak-teriak minta tolong.
‘TOLONG... TOLOONG.... ‘ siti terus teriak. Lalu kakak
seniornya datang menghampiri mereka.
‘Kak, cepat tolong dia kak. Dia lagi sakit kak!’ siti
panik.
‘Iya, iya. Cepat kamu pergi ke UKS lalu minta ambulan
untuk membawanya kerumah sakit.’ Perintah seniornya kepada siti.
Seketika lalu siti lari ke kantor UKS untuk minta
ambulan. Orang tuanya lina langsung berangkat ke jogja setelah mendengar
putrinya masuk ke rumah sakit. Suci di
rawat di rumah sakit yang sangat dekat dengan UGM yaiutu rumah sakit DR. Sarjito
yang letaknya tepat disamping fakultas kedokteran UGM.
Begitu sampai di rumah sakit. Papah dan mamahnya langsung
mencoba untuk masuk keruang i-cu, namun suster melarangnya karena dokter sedang
meriksa lina. Siti yang sangat ketakutan mendekati kedua orang tua lina dan
memberikan tasnya lina.
‘maaf, pak. Saya siti, saya temennya lina. Saya mau
memberikan tasnya lina.’ Siti memberikan tasnya ke papahnya.
Lalu papahnya lina langsung mengambil tas itu. Dan saat
tas itu tengah di pegang, tiba-tiba dompetnya lina terjatuh dari dalam tas.
Melihat dompet putrinya jatuh, mamah langsung mengambilnya. Dan secara tidak
sengaja mamah melihat di dalam dompet ada foto lina dengan laki-laki yaitu Aku
yang tengah asyik makan es krim di taman.
‘Pah?’ kata mamah sambil memandangi foto itu.
‘Kenapa, mah?’ tanya papah. ‘liat ini pah.’ Mamah
menunjukan fotonya ke papah.
‘Ini pasti laki-laki yang sudah membuat lina sakit hati, pasti dia yang sudah
membuat lina cemberut terus, pasti dia yang sudah membuat putri kita sakit,
pah!’ seru mamah, marah saat melihat foto itu.
‘Bukan mah. Mamah salah.’ Papa lirih, ‘SALAH GIMANA, PAH?
JELAS-JELAS LINA SERING SEDIH, NANGIS SELAMA SEMINGGU TERAKHIR INI! KENAPA
PAPAH MEMBELA LAKI-LAKI YANG SUDAH MEMBUAT ANAK KITA SAKIT!’ mamah semakin
meledak-ledak, karena mengira papah membelaku.
‘Bukan mah, papah kenal dengan laki-laki itu. Papah malah
sangat kenal degannya, papah juga tau latar belakang dia dan bagaimana
kepribadian dia. Papah kemarin baru saja bertemu dengan dia di rumah sakit saat
membeli obat untuk lina. Papak ngobrol dengan dia, dan dia cerita kalo dia
seminggu yang lalu mengalami kecalakaan dan sempat amneia ringan. Waktu papah
ketemu saja tangannya masih di inpus, serta kepalanya masih di perban.’ Papah
menjelaskan.
‘ALAH, PALING ITU AKAL-AKALAN DIA SAJA.’ Mamah masih gak
percaya.
‘Dia juga cerita kepada papah. Dia ingin sekali
menghubungi lina, namun karena hapenya mati, jadi dia gak bisa. Selama di rumah
sakit yang dia fikirkan hanya lina, dalam kondisinya yang sedang amnesia pun
dia masih ingat dengan lina. Dia sangat sayang dengan lina. Dia tulus. bahkan
papah juga kagum dengan dia atas usahanya demi kuliah.’
‘Alah, mungkin karena dia tau kalo papah adalah papahnya
lina.’ Mamah masih marah.
‘Egak mah, dia tidak tau kalo papah ini ternyata papahnya
lina. Dia juga tidak tau, kalo ternyata lina menderita penyakit kanker. Papah
akan membuat kejutan untuk lina dan pria tangguh itu.’ Kata papah mantap.
Mamah hanya terdiam.
Saat aku sedang istirahat di kamar. Tiba-tiba datang dua
orang berdasi yang meminta aku untuk siap-siap. Mereka menyuruhku untuk
memasukan semua pakaianku kedalam koper.
‘Tapi kita mau kemana? Tanyaku bingung. ‘kan saya gak
kenal dengan kalian?’ lanjutku.
‘Kita akan ke jogja sore ini juga.’
‘APA? JOGJA?!’ aku kaget. ‘ngapain, emang kalian siapa
se-enaknya bawa orang?!
Akhirnya aku berangkat ke jogja menggunakan pesawat.
Setelah sampai di jogja aku dibawa ke hotel, dan disanalah aku tidur. Dengan
perasaan masih bingung, hati yang takut aku disuruh makan dengan menu makan yang
tidak seperti biasa. Jika di kosan aku hanya makan dengan gorengan, di hotel
aku disugui makan dengan berbagai lauk, tinggal pilih mana yang aku suka. Saat
itu aku tidak tau, apa yang menyebabkan aku berada di jogja. Yang jelas, saat
itu aku seperti mimpi. Aku nginap di hotel GRAND AMBARUKMO yang sangat mewah
dan tepat di sampingnya berdiri mewah AMBARUKMO PLAZA.
Pagi itu, aku dijemput oleh kedua orang yang berdasi,
yang kemarin membawaku ke jogja. Aku masih saja bingung. Aku masuk kedalam
mobil dan aku dibawa ke sebuah universitas yang sangat besar. Terlihat dari
halamannya yang sangat luas sekali.
‘Kita ngapain kesini?’ tanyaku masih bingung.
‘Sudah. Kamu masuk saja lalu ikut tes, setelah selesai
kamu ikut kami. Kami akan membawamu kepada seseorang yang telah membawamu
kemari.’
‘TES? TES APA?’ aku semakin bingung.
‘Tes untuk masuk kuliah di universitas ini.’
‘APA? Berati saya kuliah?’ aku kaget setengah bahagia.
‘Iya.’ Jawab laki-laki itu. ‘emang ini universitas apa?’
tanyaku polos.
‘Ini Universitas Gajah Mada (UGM).’
‘Apa? Ini gak mimpi kan? Ini beneran kan?’ aku histeris
bahagia.
Kedua orang itu hanya tersenyum.
Lalu aku mengikuti tes dengan berbagai macam anak yang
juga akan mengikuti tes tentunya dari elemen yang berbeda. Setelah soal
dibagikan, aku tidak mendapat kesulitan untuk menjawabnya karena aku memang
sudah sangat siap. Aku sudah mempersiapkan semuanya jauh-jauh hari sebelum tes
dilaksanakan.
Sedangkan di rumah sakit, lina sudah siuman. Papah dan
Mamahnya pun sudah bisa ngobrol dikit-dikit dengan lina. Namun, masih sama,
lina masih memasang muka murung. Dia sangat mengharapkan aku berada
disampingnya saat itu.
‘Sayang, gimana keadaan kamu?’ Tanya mamanya.
‘Sudah agak mendingan, mah.’ Jawabnya lemes.
‘Pah, mah, aku mau pulang aja, aku udah gak betah dirumah
sakit.’ Lina tiba-tiba.
‘Sayang... Dengerin mamah. Kamu itu baru sembuh, harus
banyak istirahat. Sabar dulu dong.’
‘Tapi ma-....’ belum selesai lina ngomong papahnya sudah
memotong. ‘bener kata mamah kamu. Kamu harus banyak istirahat. Jangan bandel!’
Lina hanya terdiam dan membuang muka.
Tes berjalan dengan lancar. Semua soal aku jawab dengan
penuh keyakinan. Dan hal yang paling penting adalah aku diterima di Universitas
Gajah Mada Di Fakultas Ekonomi. Fakultas yang selama ini aku idam-idamkan.
Namun, sampai aku keluar dari ruangan tes. Aku masih belum percaya jika aku
diterima di UGM, bahkan aku juga gak percaya jika aku di jogja. Namun, setelah
beberapa kali aku tampar pipiku sendiri dan rasanya sakit, semakin membuktikan
jika aku memang tidak sedang bermimpi.
‘Ayo ikut kami.’ Kata dua orang berdasi itu sambil
membukakan pintu mobil. Hari itu, aku serasa menjadi bos. Semua keperluan dan
kebutuhan aku sudah ada yang menyiapkan. Bahkan masuk mobil sajapintunya ada
yang membukakan.
‘Kita mau kemana lagi?’ Tanyaku duduk dibangku belakang.
‘Sudah, ikut kami saja.’
Aku gak perduli mereka mau membawaku kemana, namun yang
jelas aku sangat bahagia sekali karena sudah diterima di UGM. Dengan begitu,
aku sudah menjadi mahasiswa UGM dan aku akan kuliah. Gak perduli siapa yang
telah membuat aku bisa kuliah, yang jelas aku akan berbuat apa saja sebagai tanda
terima kasihku karena sudah membantuku untuk bisa kuliah.
Sekitar lima menit perjalan, akhirnya kami tiba di sebuah
rumah sakit. Aku semakin gak paham, kejutan apalagi yang akan aku dapat. Kenapa
di rumah sakit? Pikirku bingung. Aku turun dari mobil dan aku membaca nama
rumah sakit itu yang berada di depan air mancur. Nama rumah sakit itu adalah
Rumah Sakit DR. SARJITO.
Aku dibawa masuk ke dalam. Aku ingat sekalai, saat itu
aku dibawa masuk di dalam kamar dengan nomor 15. Ruangan demi ruangan aku
lewati dengan rasa masih kebingungan sampai akhirnya aku sampai di kamar nomor
15. Di sanalah aku masuk. Di dalam, aku melihat ada Pak Ridwan dan Istrinya
serta ada satu perempuan yang tengah tidur di ranjang dengan muka membelakangi
kami.
‘Lho, bapak? Kok disini?’
Aku kaget.
Pak ridwan dan istrinya hanya tersenyum. Kemudian aku
melihat perempuan yang sedang berbaring diranjang, sepeti aku mengenaliya. Aku
mendekat, aku memastikan jika apa yang aku pikirkan itu salah. Baru dua langkah
aku jalan, perempuan itu menoleh ke-arahku. Rasa kaget dan perasaan bahagia aku
rasakan siang itu. Aku tidak percaya, jika akhirnya aku bisa bertemu lagi
dengan lina.
Ternyata, orang yang selama ini aku kenal, orang yang
selama ini bersedia mendengarkan keluhanku, orang yang selama ini memberi motivasi
terhadapku tidak lain adalah papahnya Lina, perempuan yang sangat aku cintai.
Lina adalah putri satu-satunya pak ridwan yang pernah ia ceritakan kepadaku.
Rasa kangen berat membuat aku lupa, sehingga aku langsung
saja memeluk lina dengan eratnya. Dalam pelukan aku berkata, ‘maafkan aku
sayang. Aku bukannya mau meninggalkan kamu, tapi selama seminggu yang lalu aku
kecalakaan dan aku masuk rumah sakit. Dirumah sakit orang yang ada di pikiranku
hanya kamu, gak ada yang lain lagi. Ingin rasanya aku menghubungi kamu, tapi
hapeku mati, dan saat aku pulang dari rumah sakit, aku langsung menghubungi
kamu, namun gak bisa, nomor kamu gak aktif. Sekali lagi aku minta maaf.’ Air
mata bahagia keluar dari mataku.
‘Aku juga minta maaf. Aku sudah berfikiran yang egak-egak
tentang kamu. Ternyata kamu pria yang baik, gak salah aku memilih kamu jadi
cowokku. Aku sayang kamu.’ Lina mencium pipiku.
Suasana menjadi haru. Kebahagiaanku berlipat ganda siang
itu, aku tidak bisa mengucapkannya dengan kata-kata, namun yang pasti itu
adalah rencana tuhan. Rencana tuhan pasti lebih indah dari yang kita inginkan. Tuhan
pasti mempersiapkan kejutan yang paling indah dibalik cobaan yang telah
diberikan kepada hambanya. Aku adalah orang yang sangat percaya dengan semua
itu.
Akhirnya, di hari ke 176 perjuanganku demi bisa kuliah di
Yogyakarta dapat terwujud. Bukan itu saja, tuhan juga memberikan aku bonus
dengan adanya lina sebagai perempuan yang bersedia menerima aku apa adanya. Aku
berjanji, aku tidak akan mengecewakan orang-orang yang ada dalam kehidupanku,
orang-orang yang mensuport aku, orang-orang yang aku sayangi, orang-orang yang
menaruh harapan kepaku serta untuk orang-orang kurang beruntung.
Kami berdua kuliah di UGM bersama dengan jurusan yang
berbeda. Dan setiap waktu, aku selalu mengingatkan lina untuk minum obatnya,
aku juga selalu memanjakan lina. Apa yang lina mita pasti aku turutin. Kami
kemana-mana bareng, sebelum tidur aku selalu memainkan gitar untuknya, kadang
aku juga nyanyi lagu kesukaannya. Kami menjalani hari-hari penuh keceriaan.
Namun, kami tetep mengutamakan kuliah dan tetap fokus dengan cita-cita kita
masing-masing.
Komentar
Posting Komentar