FENOMENA MAHASISWA
FENOMENA MAHASISWA
Menjadi pedagang asongan memberikan pengalaman yang
sangat berharga. Meskipun ada pengalaman terburuk. Setidaknya, dengan menjadi
pedagang asongan yang selalu berada di jalanan dan kampus-kampus, aku jadi tahu
apa yang dilakukan mahasiswa zaman sekarang.
Saat menjadi pedagang asongan, aku sering melihat pemandangan yang menurutku salah. Mereka lebih mementingkan kesenangan mereka
saja tanpa pernah berfikir bahwa tindakan yang mereka lakukan akan
menghancurkan masa depan mereka sendiri. Ya, meskipun tidak semua. Tapi
kebanyakan begitu. Tidak kah mereka berfikir, bahwa kuliah itu mahal? Kuliah
itu penting? Pernahkah mereka memikirkan masa depan
mereka kelak? Hal semacam itu nampaknya tidak pernah terlintas difikiran mereka.
Padahal, diluar sana sangat banyak orang-orang yang ingin melanjutkan kuliah namun tak
bisa karena tidak punya biaya. Contoh nyata yang sangat dekat adalah Aku.
Seorang remaja yang kurang beruntung dalam perekonomiannya dan harus bekerja
keras melawan kejamnya kehidupan hanya demi bisa melanjutkan kuliah. Tapi,
kenapa mereka yang bisa kuliah justru tidak memanfaatkan
semua itu?
Aku seneng banget saat jualan di kampus. Selain ramai,
ceweknya juga cantik-cantik, makannya aku betah jika jualan disana. Saat jualan
di depan kampus, banyak banget mahasiswa yang beli rokok (ketengan) kepada-ku.
Dan parahnya, yang beli bukan hanya laki-laki. Tapi banyak juga kaum perempuan
yang ikut beli untuk mereka rokok sendiri.
Apa Ini? Perempuan merokok? Mahasiswa lagi.
Dunia memang telah berubah, banyak mahasiswa bahkan
remaja Indonesia yang salah dalam memilih pergaulan. Mereka telah
terkontaminasi dengan tegnologi-tegnologi atau trent-tren serta
budaya-budaya yang sifatnya negatif.
Kampus mereka gunakan sebagai tempat senang-senang, pacaran, bahkan aku pernah
melihat berita disalah satu stasion tivi yang memberitakan tentang Narkoba di
dalam kampus. Itu membuktikan bahwa kampus bukan hanya sarang ilmu,
tapi kampus juga sudah menjadi sarang Narkoba. Melihat semua itu
kita bisa tahu, bagaimana hancurnya masa depan
Indonesia. jika terus begini, bisa dipastikan, generasi muda Indonesia akan terus
mengalami kemunduran dan kehancuran.
Mahasiswa : sebuah kata sarat makna, bahkan sudah
banyak kalangan yang berusaha mengartikan kata tersebut, begitu banyaknya arti
pada kata mahasiswa sehingga menimbulkan banyak pandangan dan
semua itu benar. Akan tetapi, kadang kita lupa darimana kata mahasiswa tersebut
terbentuk. Mahasiswa terbentuk dari dua kata yakni kata maha dan siswa, yang
jika diartikan maha artinya yang dan siswa artinya pelajar. Jadi mahasiswa sama
saja ‘yang terpelajar.’
Kampus dan mahasiswa merupakan entitas yang tidak bisa
dipisahkan. Kampus merupakan rumah atau tempat tinggal kedua bagi mahasiswa.
Namun, pernyataan itu tidak terlalu tepat bagi mahasiswa yang hanya memikirkan
egonya dan kesenangannya sendiri. Bagi mereka, kampus merupakan tempat
hura-hura, pacaran, tempat bersenang-senang bagi mereka yang tidak tertarik
dengan hingar bingar dinamika kampus.
Sebagai contoh yang nyata adalah kemajuan tegnologi.
Berkembang pesatnya tegnologi di era globalisai ini semakin memudahkan kita
untuk mengakses apa saja. Baik itu negatif atau pun positif. Nampaknya
mahasiswa sekarang kurang paham dengan kemajuan ini. Semakin memudahkan mereka
Justru mereka akan semakin manja dan malas-malasan.
Tugas dari kampus yang diberikan oleh Dosen akan dengan
santai mereka kerjakan tanpa harus bersusah payah dan banyak mikir. Kemajuan
tegnologi membantu mereka untuk mengerjakan tugas sekaligus mengajarkan mereka
manja. Butuh waktu beberapa menit untuk mahasiswa mengerjakan tugas. Cukup buka
google, kemudian kopy paste. Maka tugas selesai dan tinggal dikumpul. Tak perlu
mikir, Tak perlu bingung. Hanya perlu sedikit kuota untuk browsing.
Fenomena selanjutnya yang berkaitan dengan dunia maya
tepatnya media sosial (Sosmed). Kemajuan tegnologi informasi juga memudahkan
mahasiswa untuk berteman atau komunikasi melalui media sosial. Sebenarnya bukan
hanya mahasiswa, masyarakat biasa pun juga mengalaminya. Namun, untuk mahasiswa
banyak disalah gunakan. Banyak sekali kasus penculikan, pemerkosaan, dan
pembunuhan hanya karena media sosial khususnya FACEBOOK. Ada pun media sosial
lainnya seperti BBM (Blackberry Massenger), Twitter, dan sejenisnya. Namun,
yang paling terjadi kejahatan pada facebook. Media sosial ini yang paling
disorot.
Mahasiswa adalah pengguna media sosial yang sangat aktif
saat ini. Mungkin 3 sampai 5 jam dalam satu hari waktu yang mereka gunakan
hanya untuk media sosial. Waktu tersebut pasti bisa lebih, mengingat kalangan
mahasiswa yang cenderung memiliki Hape atau barang elektronik yang
canggih-canggih.
Media sosial juga dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk
mengumpulkan masa atau organisasi. Mereka membuat sebuah group berdasarkan
tujuan atau pun nasib. Dengan demikian, mahasiswa akan lebih aktif bahkan
sampai hiperaktif semerti melakukan tindakan-tindakan kriminal. Demonstrasi
yang dilakukan mahasiswa. Awalnya tujuan mereka baik, yaitu untuk
mengapresiasikan keinginan mereka dan harapan mereka. Namun, terkadang dalam
demonnya mereka sering berbuat anarki. Itu yang menyebabkan nama mereka buruk
di mata pemerintah maupun lembaga lainnya.
Fenomena pada mahasiswa yang lain seperti: PROKRASTINASI. Biasanya fenomena ini
menimpa mahasiswa semester akhir. Namun tidak sedikit mahasiswa tingkat tengah
juga mengalami masalah ini. Akibat keseringan bermain internet dan media sosial
membuat mereka malas untuk menyelesaikan tugasnya dan memilih yang
instan-instan.
Kemalasan dan penundaan menyebabkan ketidak suksesan
mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akademik yang sudah menjadi kewajiban
mereka. Prokrastinasi adalah suatu
kecenderungan untuk menunda dalam memulai maupun menyelesaikan kinerja secara
keseluruhan untuk melakukan aktivitas lain yang tidak berguna. Sehingga kinerja
menjadi terhambat, tidak pernah menyelesaikan tugas tepat waktu, serta sering
terlambat dalam menghadiri setiap pertemuan-pertemuan.
BULLY. Itulah fenomena yang sangat ramai dibicarakan
dikalangan mahasiswa. Mereka yang berkuasa. Mereka yang tingkatannya lebih
tinggi. Mereka yang memiliki uang banyak. Serta mereka yang merasa populer di
kampus akan membuly mahasiswa yang mereka anggap lemah. Pada saat Masa
Orientasi atau dikenal dengan OSPEK, tak jarang banyak mahasiswa baru yang di
Bully maupun di-ejek atau malah dikerjain habis-habisan oleh sesama teman atau
kakak tingkat (SENIOR).
Kejadian seperti ini mungkin bisa dibilang biasa
dikalangan mahasiswa. Bahkan bukan hanya di indonesia, tapi di luar negeri pun
kasus ini juga ramai dibicarakan. Karena ini sudah menjadi sifat manusia yang
tidak pernah puas. Apalagi mereka yang berkuasa. Maka mereka akan seenaknya
saja nge-Bully mahasiswa lain.
Selanjutnya mahasiswa Apatis. Institut Tegnologi Bandung (ITB) adalah salah satu
kampus yang memiliki tokoh mahasiswa yang turut mengubah wajah Negeri ini lewat
gerakannya. Namun, tidak semua mahasiswa memiliki motivasi
yang sama sewaktu mereka menginjakkan kaki mereka di kampus. Tentunya
kita tidak bisa menyalahkan mereka yang memilih untuk berkonsentrasi kuliah dan
meninggalkan organisasi di kampus sebagai bentuk konsekuensinya. Itu tidak
salah. Ada beberapa hal yang menyebabkan kenapa mahasiswa menjadi apatis.
Pertama hedonisme (hura-hura) yang kental dikehidupan
kota-kota besar. Seperti di bandung ini. Mahasiswa kini tidak bisa lagi secara
universal disebaut kaum intelektual atau pembawa perubahan. Hedonisme telah
merubah banyak diantara mereka dari yang awalnya kutu buku kini menjadi pecinta
club malam, narkoba, miras, atau bahkan yang sedang banyak diperbincangkan
adalah sex bebas.
Pergeseran perilaku ini tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh arus globalisasi sehingga cenderung sangat sulit untuk dibendung.
Organisasi seharusnya mampu memberikan kesibukan kepada mereka sehingga tidak
ada waktu untuk terjebak pada perilaku menyimpang ini. Gelarlah
kegiatan-kegiatan sosial seperti baksos atau kegiatan yang kompetitif seperti
lomba menulis dan sebagainya. Buatlah kegiatan yang tidak bisa didapat di
bangku kuliah.
Kedua, kesibukan organisasi dipercaya dapat menurunkan
perstasi akademik mahasiswa. Pernyataan ini ada benarnya, namun tentunya tidak
berlaku secara umum bagi seluruh mahasiswa. Kuncinya adalah manajemen waktu.
Apakah mahasiswa bisa mengatur waktu yang proporsional antara kuliah dan
berorganisasi. Mahasiswaa apatis melihat rekannya yang ikut disebuah organisasi
memiliki IPK yang lebih rendah dari rata-rata. Sekali lagi ini tidak bersifat
general. Mahasiswa apatis tentu tidak ingin nasibnya seperti aktivis kampus
tersebut. Terlebih lagi apabila melihat komposisi mahasiswa ITB yang kebanyakan
dari luar Bandung. Mereka pasti memiliki tanggung jawab besar agar nilai
akademik mereka selalu bagus.
Ketiga, banyak dianntara mahasiswa menganggap tidak
ada insentif sama sekali untuk masuk organisasi mahasiswa. Merek tidak tertarik
untuk masuk karena mereka memiliki suaatu hal yang mereka anggap lebih menarik
daripada organisasi kemahasiswaan, misalnya bermain games, tidur
dirumah atau kosan, dan lain-lain. Menurut mereka, mengikuti organisasi kampus
sama halnya seperti membuang waktu. Di samping itu aktivis biasanya di cap
sebagai pendemo, sering turun ke jalan. Hal ini tentu saja merisaukan orang tua
mahasiswa yang tidak ingin anaknya ikut-ikutan sebagai pendemo. Ketakutan
inilah yang membuat orang tua melarang anaknya mengikuti oraganisasi dikampus.
Dilihat dari social kultural, tentunya dapat dilihat
bahwa ada pergeseran yang telah terjadi dikalangan mahasiswa. Era globalisasi dan keterbukaan menjadi pemicu utama dari apatisme mahasiswa.
Saat ini bukan zaman dimana buku-buku,
dengan perpustakaan sebagai tempat nongkrong dan diskusi. Mahasiswa saat ini
berada pada generasi internet (facebook/twitter) yang
menjadiakan warkop (warung kopi) sebagai tempat menghabiskan waktu. Di sisi
lain, disayangkan bahwa tak jarang gerakan mahasiswa tak mengundang simpati melainkan
antipasti dari masyarakat lantaran gerakan mereka tak independen lagi.
Beberapa aksi yang
digelar cenderung berbau politis alias ditunggangi oleh pihak yang mempunyai
kepentingan-kepentingan. Banyak yang ikut demonstrasi tidak menguasasi wacana
sehingga kesannya hanya ikut-ikutan. Di samping itu, mereka aliran tertentu
yang menguasai beberapa organisasi kampus, baik ditingkat fakultas maupun
universitas membuat beberapa mahasiswa menjadi jengah untuk ikut organisasi
kampus.
Beberapa solusi dapat dilakukan untuk menanggulangi
apatisme. Pertama, urgensi ospek mahasiswa baru sangatlah penting. Mahasiswa
baru merupakan mahaiswa yang masih berada dalam tahap labil, dimana mereka
masih berada dalam tahap transisi dari siswa sekolah ke seorang yang lebih
terpelajar.
Mahasiswa baru (maba) tentunya berasal dari SMA yang
berbeda-beda dan setiap SMA memiliki kultur organisasi yang berbeda pula. Di
satu sisi, banyak organisasi baik ditingkat fakultas maupun universitas mengeluh
tentang sulitnya kaderisasi di organisasi mereka, terutama organisasi politik. Banyak mahasiswa baru yang tidak tertarik untuk
menjadi politikus kampus.
Solusi selanjutnya adalah menjaring mahasiswaa apatis
langsung ke tempat dimana mereka biasa nongkrong. Poitisi kampus biasanya
mereka anggap
tidak memperhatikan kepentingan mereka atau tidak satu pemikiran dengan mereka.
Dengan cara jemput secara langsung, mereka merasa diperhatikan dan aspirasi
mereka bisa disalurkan. Bukan tidak mungkin apabila keinginan mereka
tersalurkan, respek dan sikap acuh tak acauh mereka hilang terhadap organisasi
kampus.
Kemudian pendidikan politik dan kenegaraan sangat
perlu untuk menumbuhkan rasa perhatian mereka terhadap Negara ini. Di ITB, rasanya
gerakan untuk menumbuhkan pendidikan politik seperti ini kurang gencar
dilakukan. Mungkin hanya beberapa kalangan saja seperti Mapres, para ketua BEM
fakultas atau pejabat organisasi di kampus lainnya yang dapat mengunjungi wakil
dewan di PEMDA setempat untuk belajar berpolitikan langsung.
Tak mudah untuk mewujudkan solusi-solusi di atas.
Dampaknya tidak instan dizaman yang kebanyakan manusianya menginginkan hal
serba instan ini. Perlu waktu untuk melihat hasilnya.indonesia tidak memerlukan
politisi-politisi yang hanya memikirkan kepentingan pribadi semata. Indinesia
butuk seorang negarawan sejati. Untuk mewujudkan sifat kenegaraan ini dimulai
dari kehidupan di kampus. Dari
kehidupan kampus itu dimulai dari oeganisme-organisme yang ada didalamnya
Aku yakin mahasiswa ITB adalah mahasiswa yang memiliki
tingkat intelejensi di atas rata-rata. Mereka ingin bekerja diperusahaan
mulltinasional ketika mereka sudah lulus dari kuliahnya dan memiliki kehidupan.
Itu impian semua orang, termasuk aku. Jarang ada mahasiswa yang memiliki impian
eksplisit untuk menjadi politisi, kecuali mahasiswa ilmu politik mungkin. Tak
heran manakala mahasiswa sekarang lebih memilih senang-senang dan cenderung
mengabaikan kuliahnya ketimbang mengikuti organisasi-organisasi yang sifatnya
mendidik dan membangun, sebab mereka memandang organisasi tak lagi menjadi alat
kebanggaan. Bahkan
organisasi tidak meemberikan jaminan kehidupan yang layak di hari tua.
Sayangnya, beberapa
politikus di Indonesia saat ini “maaf” kurang cerdas. Hati nurani mereka membatu, gendang
telinga mereka mengeras sehingga tidak mampu mendengar jeritan rakyat kecil
seperti aku dan banyak lainnya. Politisi zaman sekarang sudah hampir sama
seperti ret seeker (pencari keuntungan). Mahasisa-mahasiswa pintar ITB yang
seharusnya mengisi tempat politisi tersebut.
Namun, tidak sedikit orang-orang yang pintar malah
memintari yang bodoh. Mereka menindas yang bodo atau rakyat kecil melalui
ke-egoisan mereka yang hanya mementingkan keuntungan dari sebuah kedudukan.
Nampaknya, kedudukan akan merubah semua orang. Kedudukan sangat berbahaya bagi
manusia yang serakah. Haruskah bangsa kita yang tercinta ini sengsara?
Tidak-kah ada etikat baik dari mereka yang memiliki kedudukan untuk memperbaiki
negeri yang semakin menghawatirkan ini?
Komentar
Posting Komentar